27 April 2024 19:16
Search
Close this search box.

ASEAN, Pekerja Migran dan Perdagangan Manusia

ASEAN, Pekerja Migran dan Perdagangan Manusia

Oleh: Wahyu Susilo

“Tak ada pertumbuhan ekonomi di ASEAN tanpa peluh keringat pekerja migran, tetapi ironinya mereka belum terlindungi dengan baik. Sebagai Ketua ASEAN 2023, Indonesia harus memprioritaskan agenda pelindungan pekerja migran.”

Setelah menuntaskan presidensi G20 di ujung tahun 2022 dan menyerahkan tampuk kepemimpinan G20 ke India untuk tahun 2023, tak lama kemudian Indonesia menerima tampuk kepemimpinan ASEAN di tahun 2023 dari Kamboja yang tuntas mengakhiri Keketuaan ASEAN di tahun 2022.

Seperti dalam presidensi Indonesia di G20 tahun 2022, posisi keketuaan Indonesia di ASEAN tahun 2023 tentu tidak sekadar menjadi tuan rumah dan pelaksana kegiatan (event organizer) yang hanya memastikan kegiatan-kegiatan terlaksana. Lebih dari itu, dalam Keketuaan ASEAN tahun 2023, Indonesia harus memastikan arah kemudi ASEAN tetap berada di jalur yang tepat tatkala kecamuk pandemi Covid-19 telah membawa dampak signifikan terhadap kemerosotan kualitas hidup manusia, ancaman krisis global akibat perang Rusia-Ukraina yang tak kunjung berdamai, dan juga krisis Myanmar yang terus menjadi utang kemanusiaan di kawasan Asia Tenggara ini.

Dalam Keketuaan Indonesia di ASEAN tahun 2023, tema yang diusung adalah ”ASEAN Matters: Epicentrum of Growth”. Dilihat dari pilihan katanya, tema ini sangat kentara dengan nuansa ekonomi dan optimistis bahkan cenderung overconfidence pada saat semua negara di muka bumi ini sedang masuk era pemulihan kala pandemi Covid-19 mulai mereda.

Dengan tema tersebut, Indonesia harus tetap memastikan bahwa agenda keketuaan ASEAN di tahun 2023 tetap inklusif dan tidak didominasi hal-ihwal pertumbuhan ekonomi semata. Pilar penyangga komunitas ASEAN adalah pilar ekonomi, pilar politik keamanan, dan pilar sosial-budaya. Keketuaan Indonesia di ASEAN harus memberi porsi yang seimbang dan signifikan pada setiap pilar meski selama ini pilar ekonomilah yang lebih banyak mendapat prioritas. Dalam perspektif interseksionalitas pun sebenarnya tiga pilar ini tak bisa dipisahkan, saling memiliki keterkaitan.

Terkait hal tersebut, masalah pekerja migran di kawasan ASEAN memiliki dimensi ekonomi, politik keamanan, dan sosial budaya. Namun, dalam tata kelola ASEAN, perkara ini secara parsial dimasukkan ke dalam pilar sosial budaya. Kondisi ini menyebabkan ASEAN tidak akan pernah tuntas menyelesaikan masalah-masalah krusial yang dihadapi oleh pekerja migran. Negara-negara anggota ASEAN terbelah posisinya sebagai negara asal dan negara tujuan dan keterbelahan ini yang menyebabkan posisi mereka pada agenda pelindungan pekerja migran tidak satu suara.

Namun, siapa bisa menyangkal bahwa tidak ada pertumbuhan ekonomi di kawasan ASEAN tanpa peluh keringat pekerja migran? Sebagai misal, salah satu pendongkrak pertumbuhan ekonomi di Malaysia adalah komoditas sawit dan karet yang dihasilkan dari jutaan hektar perkebunan kelapa sawit dan karet. Sebagian besar pekerja di sektor ini adalah pekerja migran.

Pada 2009, UNDP menerbitkan Human Development Report tema migrasi tenaga kerja yang berjudul ”Overcoming Barriers: Human Mobility and Development”. Laporan ini menyebut bahwa migrasi tenaga kerja telah berkontribusi signifikan terhadap peningkatan kualitas hidup manusia, baik di negara asal maupun negara tujuan. Tata kelola migrasi yang baik akan meningkatkan indeks pembangunan manusia, dan sebaliknya tata kelola migrasi yang buruk akan menurunkan indeks pembangunan manusia.

Masalah pekerja migran di kawasan ASEAN memiliki dimensi ekonomi, politik keamanan, dan sosial budaya. Namun, dalam tata kelola ASEAN, perkara ini secara parsial dimasukkan ke dalam pilar sosial budaya.

Dalam masa kecamuk pandemi Covid-19, laporan tersebut diperbarui dengan assessment dampak pandemi Covid-19 terhadap migrasi tenaga kerja yang berjudul ”Human Mobility: Share Opportunities”. Kaji cepat ini memastikan bahwa pandemi Covid-19 telah melambankan migrasi tenaga kerja dan secara signifikan berkontribusi terhadap kemerosotan kualitas hidup manusia. Konfirmasi atas kemerosotan kualitas hidup manusia inilah yang kemudian menjadi tema utama dari Human Development Report 2021/2022 yang berjudul ”Uncertain Times, Unsettled Lives: Shaping Our Future in Transforming World”.

Atas situasi ketidakpastian dan ketidakmenentuan inilah, Perserikatan Bangsa-Bangsa melalui Sekretaris Jenderal Antonio Gutteres menyerukan agar komitmen Global Compact for Safe, Orderly, and Regular Migration yang diadopsi sebagian besar negara anggota PBB benar-benar menjadi panduan bagi pembentukan tata kelola migrasi tenaga kerja baik di tingkat negara, bilateral, maupun global. Resonansi seruan ini juga ditegaskan kembali dalam Bali Leaders Statement G20 16 November 2022, khususnya di paragraf 40.

Dalam konteks ASEAN, dinamika migrasi tenaga kerja pada masa pandemi Covid-19 sangat terasa dampaknya. Pada November 2022, Bank Dunia mengeluarkan laporan rutin mengenai migrasi dan pembangunan yang berjudul ”Remittance Braves Global Headwinds”. Laporan ini merilis perkembangan arus volume remitansi di masing-masing kawasan benua dan terlihat kawasan Asia Tenggara (yang masuk kategori Asia Timur dan Pasifik) merosot drastis pada 2020 dan 2021, dan baru kembali merangkak pada 2022, dan diperkirakan stagnan pada 2023.

Oleh karena itu, tidak mengherankan jika pada 2016 tiga negara di kawasan Asia Tenggara (Filipina, Vietnam, dan Indonesia) menjadi 10 besar negara penerima remitansi terbanyak di dunia. Pada 2022, hanya Filipina yang masih bertahan sebagai satu-satunya negara di kawasan ASEAN yang termasuk sepuluh besar negara penerima remitansi jerih payah pekerja migran.

Namun, dalam konteks pertumbuhan ekonomi, remitansi makin menjadi andalan untuk penggerak pembangunan. Dalam satu setengah dekade terakhir, kurva remitansi terus meninggi sementara kurva investasi asing langsung (foreign direct investment) dan bantuan internasional (official development assistance) cenderung stagnan.

Dalam konteks pertumbuhan ekonomi, remitansi makin menjadi andalan untuk penggerak pembangunan. Dalam satu setengah dekade terakhir, kurva remitansi terus meninggi.

Gambaran tersebut memperlihatkan betapa signifikan kontribusi pekerja migran untuk kemajuan dan pertumbuhan kawasan ASEAN, tetapi kontribusi tersebut belum diimbangi upaya signifikan untuk mewujudkan ASEAN sebagai kawasan yang ramah bagi pekerja migran. Sebaliknya, ASEAN kini menjadi kawasan yang rentan bagi pekerja migran.

Dalam laporan tahunan situasi perdagangan manusia yang diterbitkan Kementerian Luar Negeri Amerika Serikat berjudul ”Trafficking In Person Report 2022”, semakin banyak negara di kawasan Asia Tenggara menjadi ladang bagi praktik perdagangan manusia akibat lemahnya penegakan hukum dan korupsi yang masih merajalela. Laporan ini menyebut dari sepuluh negara anggota ASEAN, setengahnya berada dalam kategori terburuk untuk penanganan kasus perdagangan manusia (tier 2). Negara-negara tersebut adalah Brunei Darussalam, Kamboja, Malaysia, Myanmar, dan Vietnam.

Indonesia masuk kategori negara yang lemah penegakan hukumnya dan terus memburuk (tier 2-watchlist). Peringkat ini memperlihatkan kemerosotan kinerja Indonesia dalam memerangi perdagangan manusia. Selanjutnya pada peringkat negara yang lemah penegakan hukum (tier 2) adalah Laos dan Thailand. Sementara Filipina dan Singapura dianggap sebagai negara yang meningkat kinerjanya dalam memerangi perdagangan manusia (tier 1).

Kondisi tersebut juga memperlihatkan ironi ASEAN yang sebenarnya telah memiliki modalitas memerangi perdagangan manusia. Sejak tahun 2015, ASEAN telah memiliki instrumen hukum yang mengingat untuk memerangi perdagangan manusia, yaitu ASEAN Convention Against Trafficking in Person Especially Women and Children.

Sebagai Ketua ASEAN di tahun 2023, Indonesia sebagai negara yang warga negaranya banyak menjadi pekerja migran dan terperangkap dalam praktik perdagangan manusia harus benar-benar memprioritaskan agenda pelindungan pekerja migran dan perang melawan perdagangan manusia. Tidak ada gunanya mengupayakan ASEAN sebagai pusat pertumbuhan ketika kawasan ASEAN menjadi pusat perdagangan manusia.

Wahyu Susilo, Direktur Eksekutif Migrant CARE (Artikel ini pertama kali dimuat di Kompas.id tanggal 7 Januari 2023)

TERBARU