Artikel ini ditulis bertepatan saat International Labour Conference pada tanggal 16 Juni 2011 menyetujui Konvensi ILO 189/2011 tentang Kerja Layak Bagi Pekerja Rumah Tangga. Ternyata kondisinya tidak banyak berubah, pekerja rumah tangga masih mengalami penindasan sementara RUU Perlindungan Pekerja Rumah Tangga mangkrak 2 periode di rak DPR.
Jaminan Perlindungan Pekerja Rumah Tangga
Wahyu Susilo (artikel dimuat di Harian Kompas, 16 Juni 2011)
Konferensi Ke-100 Organisasi Buruh Internasional berlangsung di Geneva, Swiss, 1-17 Juni, selain membahas agenda rutin, yaitu monitoring pelaksanaan konvensi ILO, sidang juga mengangkat dua agenda perburuhan kontemporer: kerja layak untuk pekerja rumah tangga dan keadilan sosial bagi perburuhan pada era globalisasi.
Agenda pembahasan kerja layak untuk pekerja rumah tangga (PRT) merupakan agenda lanjutan yang sudah dimulai sejak Sidang Ke-99 Konferensi Perburuhan Internasional tahun lalu. Hasil yang konkret adalah usulan adanya Konvensi Organisasi Buruh Internasional (ILO) untuk Perlindungan PRT. Prosesnya tidak berlangsung begitu mulus. Meski didukung sebagian besar anggota ILO, beberapa negara kunci menolak usulan itu. Saat itu Indonesia juga dalam posisi tidak mendukung pembentukan Konvensi ILO untuk Perlindungan PRT. Sikap ini makin kelihatan dari keengganan Pemerintah RI dan DPR menuntaskan RUU Perlindungan PRT yang sebenarnya telah menjadi usulan legislasi prioritas.
Inisiatif pembentukan instrumen internasional bagi perlindungan PRT kemudian jadi gerakan global, didukung semua serikat buruh tingkat internasional. Gerakan global inilah yang menggerakkan adanya diskusi-diskusi dari tingkat nasional, regional, hingga internasional sehingga rancangan substansi pembentukan Konvensi ILO untuk Perlindungan PRT menjadi semakin matang.Harus diakui, dalam pembahasan dan penyempurnaan draf Konvensi ILO untuk Perlindungan PRT di Indonesia, pemerintah terlihat sangat pasif.
Hingga draf ini kembali dibahas dalam Sidang Ke-100 Konferensi Perburuhan Internasional pada awal Juni 2011, Pemerintah Indonesia tidak pernah mengadakan pembahasan terbuka dan melibatkan publik untuk menentukan posisi terhadap draf konvensi ini.
Pidato yang menggelikan
Karena itu, sangat menggelikan bahwa pidato Presiden SBY dalam Konferensi Ke-100 ILO (Selasa, 14/6/2011) menggambarkan Indonesia seolah-olah terlibat penuh dalam pembentukan Konvensi ILO untuk Perlindungan PRT. Klaim Indonesia sebagai negara terdepan dalam mengimplementasikan konvensi-konvensi perburuhan di kawasan Asia bisa dianggap sebagai kebohongan. Sebab, hingga sekarang Pemerintah RI belum punya kehendak politik untuk meratifikasi Konvensi PBB untuk Perlindungan Buruh Migran.
Indonesia bahkan satu-satunya negara pengirim buruh migran terbesar di Asia yang belum meratifikasi konvensi ini. Negara-negara pengirim lain, seperti Filipina, Sri Lanka, Banglades, bahkan Timor Leste, telah meratifikasi konvensi ini. Hal lain yang patut dipertanyakan dari isi pidato SBY, diuraikan panjang lebar bahwa Indonesia telah memberikan teladan yang baik dalam upaya perlindungan buruh migran Indonesia.
Tentu saja publik bisa menilai realitas apa yang dihadapi oleh buruh migran Indonesia, yang sebagian besar bekerja sebagai PRT. Dalam pidato tersebut SBY menyatakan Indonesia telah memiliki kelengkapan institusional, administrasi, dan payung hukum dalam perlindungan buruh migran. Fakta ini dapat dengan mudah dipatahkan hasil audit kinerja Badan Pemeriksa Keuangan atas penyelenggaraan pelayanan penempatan tenaga kerja Indonesia. Jika hasil audit kinerja BPK ini dibaca cermat, terlihat seluruh siklus mata rantai penempatan TKI ke luar negeri bermasalah dan memburuhkan reformasi secara fundamental. Survei pelayanan publik yang dilakukan Komisi Pemberantasan Korupsi juga menemukan fakta, pelayanan pemulangan tenaga kerja Indonesia sangat buruk.
Dalam perspektif keadilan jender, pidato SBY di ILO juga terasa buta jender. Melihat realitas perburuhan Indonesia yang didominasi angkatan kerja perempuan, juga pada demografi buruh migran kita yang mayoritas perempuan PRT migran, pidato ini tak menunjukkan keprihatinan bahwa realitas diskriminasi masih dialami perempuan pekerja.
Tanpa perspektif keadilan jender, SBY juga gagal melihat bahwa konstruksi patriarkis merupakan akar struktural terjadinya kekerasan pada buruh migran Indonesia yang berwajah perempuan. Kita boleh bangga SBY adalah satu-satunya presiden Indonesia yang berpidato dalam Konferensi ILO. Namun, kita juga patut bersedih isi pidato tersebut tak lebih dari kalimat-kalimat indah di atas kertas, tetapi tidak sesuai dengan realitas.