28 April 2024 03:01
Search
Close this search box.

Ironi Hari Kerja Layak Sedunia di Indonesia, Jangan Produksi Kebijakan yang Membuat Kondisi Tidak Layak bagi Pekerja!

Hari ini tanggal 7 Oktober 2020, ketika dunia merayakan Hari Kerja Layak Pekerja Sedunia (World Day of Decent Work) terjadi ironi di Indonesia. Penetapan Omnibus Law Undang-Undang Cipta Kerja memicu perlawanan kaum pekerja di Indonesia. Secara prosedural, legislasi ini diproses secara terburu-buru, tidak melibatkan partisipasi publik secara signifikan dan mengenyampingkan persyaratan penyusunan perundangan yang berlaku. Secara substansi, isi dari legislasi ini mengancam jaminan perlindungan yang ada dalam berbagai UU yang selama ini menjadi payung perlindungan.

Perwujudan kerja layak bagi kaum pekerja membutuhkan payung hukum perburuhan, kebijakan perlindungan sosial yang komprehensif dan penghormatan terhadap hak asasi manusia. Namun syarat-syarat tersebut terancam hilang apabila semua aturan terkait perburuhan disubordinasikan pada UU sapu jagat yang mengabdi pada kepentingan ekonomi semata.

Ada banyak agenda perwujudan kerja layak bagi pekerja yang menjadi tanggungjawab konstitusi negara Republik Indonesia dan juga bagian dari komitmen global perwujudan tujuan dan target sebagaimana yang ada dalam Goal 8 Tujuan Pembangunan Berkelanjutan. Tidak ada pertumbuhan ekonomi yang inklusif tanpa perwujudan kerja layak bagi pekerja.

Di masa pandemik, kaum pekerja baik di sektor formal maupun informal sudah banyak yang kehilangan pekerjaan dan tidak dapat mengakses jaring pengaman sosial. Akibat tidak adanya pengakuan sebagai pekerja, para pekerja rumah tangga hingga saat ini juga belum bisa menikmati kerja layak sementara usulan adanya UU Perlindungan Pekerja Rumah Tangga yang sudah belasan tahun didesakkan selalu dikesampingkan dan tak pernah diprioritaskan untuk dibahas.

Situasi pekerja migran Indonesia pun masih jauh dari kondisi kerja layak. Mereka masih harus berhadapan dengan sindikat perdagangan manusia, negara-negara yang tak aman bagi pekerja migran, kebijakan yang diskriminatif dan kekerasan berbasis gender. UU No. 18 tahun 2017 tentang Pelindungan Pekerja Migran Indonesia juga belum diimplementasikan secara konkrit hingga ke daerah.

Alih-alih mengimplementasikan aturan turunan untuk menjadi landasan bagi perwujudan tata kelola pelindungan pekerja migran dari pusat hingga daerah, UU No. 18 tahun 2017 tentang Pelindungan Pekerja Migran Indonesia ini terancam kehilangan tajinya sebagai alat kontrol dan evaluasi bagi perusahaan perekrut pekerja migran Indonesia dengan pasal 89A di kluster ketenagakerjaan UU Cipta Kerja yang berpotensi merelaksasi pengetatan aturan P3MI (Perusahaan Penempatan Pekerja Migran Indonesia atas nama kemudahan berusaha dan investasi.

Bagi Migrant CARE, pasal 89A sangat berpotensi untuk melumpuhkan spirit pasal-pasal  pengawasan ketat bagi operasional perusahaan swasta yang selama ini melakukan proses perekrutan secara ugal-ugalan demi keuntungan bisnisnya tanpa memperhatikan keselamatan dan perlindungan pekerja migran Indonesia.

Untuk hal tersebut, di Hari Kerja Layak Bagi Pekerja Sedunia ini, Migrant CARE menyerukan kepada Pemerintah Indonesia dan DPR-RI untuk menghentikan produksi kebijakan-kebijakan yang mengancam kondisi kerja layak bagi kaum pekerja Indonesia.

Jakarta, 7 Oktober 2020

Wahyu Susilo
Direktur Eksekutif Migrant CARE

TERBARU