19 March 2024 09:40

Perempuan Memimpin, Perempuan Berdaulat: Kesetaraan Gender Sebagai Kunci Tujuan Pembangunan Berkelanjutan 2030

Sejak ruang publik dikuasai laki-laki, sejak itu pula perempuan didomestifikasi dalam kehidupan sosial yang mengamini cara pikir bias gender. Kini kehidupan sosial dituntut untuk bisa berpikir setara sejak dalam pikiran, guna mencapai taraf humanisasi yang lebih baik dari waktu ke waktu. Yakni, taraf yang adil dan beradab sensitif gender. Menyoal kesetaraan, satu hal yang penting untuk dijadikan basis adalah kesetaraan yang bukan menjadi taraf untuk menyamakan esensi. Tetapi lebih menyoal pada hak untuk bereksistensi. Maksudnya, kesetaraan yang berdiri atas keragaman. Sehingga No one left behind yang menjadi jargon SDGs, dapat bergerak lebih substantif, mengakar, dan menghargai subjek perempuan untuk bisa menggapai hak-hak universalnya untuk mengakses kehidupan yang layak.

Kesetaraan akan mengangkat suara per suara yang diyakini akan berbeda pada tiap subjek individu perempuan. Suara per perempuan ini adalah suara yang selama ini diredam pasif dalam kultur patriarkis. Untuk itu, dibutuhkan dukungan agar suara perempuan terdengar di ruang publik. Mengapa ruang publik? Karena hanya di ruang publik suatu isu bisa diperdebatkan untuk mencapai akhir yang adil. Dalam usaha ini, suara perempuan tak menginginkan diwakilkan. Perempuan perlu mewakili dirinya sendiri. Membuat perempuan bersuara untuk dirinya dan kelompoknya tentu tak mudah di hari-hari ini yang semakin konservatif dan represif. Namun begitu, bentuk pemberdayaan (empowering) untuk membuat perempuan bersuara tak bisa ditunda. “Woman of empowered, empower woman.” Tautan pula hal ini di dalam SDGs gol 5, Kesetaraan Gender, yang berkunci pada perempuan memimpin. Agar perempuan berdaulat atas dirinya sendiri, yang berproses pada setidaknya tiga transformasi sosial.

Pertama, penyebaran pengetahuan soal kesetaraan gender. Pengetahuan adalah kunci pencerahan. Dengan begitu, penyamarataan konsep tentang kesetaraan gender yang perlu untuk selalu digalakkan dan berlanjut pada penerapannya. Tak jenak ditemui, konsep kesetaraan ini menuai hambatan. Membuat kabur pandangan ke depan di saat konsep tentang kesetaraan belum menemui kesamaan. Karena menjadi setara adalah basis penghubung kehidupan sosial dalam membangun keadilan. Dan satu-satunya cara adalah pengetahuan tentang kesetaraan dan keadilan yang tadinya sporadis, disusun rata.

Kedua, sadar akan pentingnya pengarus-utamaan gender, baik untuk politik diri sendiri maupun politik kebijakan. Setelah berpengetahuan, berkesadaran untuk berkontribusi menjadi agen perubahan adalah keluaran dari konsekuensi etik berpengetahuan. Kekerasan berdasarkan gender, adalah tolok ukur utama tentang cara lingkungan sosial menghargai perempuan. Dimulai dari pembacaan kasus atau catatan tahunan oleh Komnas Perempuan, dapat dilakukan untuk pendekatan lebih nyata. Kekerasan yang tak jenak seperti perdagangan perempuan, eksploitasi pekerja perempuan, pernikahan anak di bawah umur, mutilasi genital, pelecehan hingga perkosaan.

Ketiga, perempuan harus mampu terlibat dalam perencanaan pembangunan dari tingkat daerah. Kontribusi perempuan dalam pembangunan daerah dari tahun ke tahun harus berhenti menjadi sekadar wacana. Perubahan kepemimpinan memang terjadi pada beberapa wilayah, namun perubahan dalam skala kecil. Progresivitas perkembangan lingkup sosial tentu tak jauh dari catatan tahunan tersebut, di mana politik global juga telah mencanangkan perempuan sebagai pemimpin terbaik bagi perempuan. Ataupun dari bagaimana kultur membangun perempuan untuk berdaya dengan kasih ketimbang kekerasan. Hingga perempuan, secara natural mampu melawan berbagai bentuk ancaman.

Ketiga transformasi sosial yang lekat dengan jalannya SDGs Gol 5 Kesetaraan Gender tersebut, menujukkan urgensi untuk merekognisi kepemimpinan perempuan. Sebagai subjek yang tak habis bertumbuh, perempuan akan terus berupaya bahkan dengan peluh untuk mampu menjaga keharmonisan dirinya sendiri dan lingkungan sosialnya. Wacana semacam ini sebetulnya sudah muncul jauh sebelum rekognisi tentang perempuan, anti-kekerasan dan anti kekerasan terhadap perempuan, seperti yang dideklarasikan PBB dalam CEDAW untuk mengenalkan hak perempuan dalam rangka menangkal tindak dehumanisasi. Baik dalam menyoal hak kesetaraan, keamanan, kebebasan, integritas dan martabat. Rekognisi historis perlawanan untuk pembebasan, kemudian dirumuskan kembali dan terus diperbarui oleh PBB untuk menegaskan perempuan harus terbebas dari eksploitasi dan perbudakan modern.

Migrant CARE yang berkomitmen mendukung perwujudan Tujuan Pembangunan Berkelanjutan atau SDGs, juga menyadari Kesetaraan Gender (gol 5) adalah jalan utama untuk mencapai Kerja Layak (gol 8) bagi pekerja migran yang didominasi perempuan. Dalam komandemen universal untuk mencapai pembangunan 2030 tersebut, perempuan menjadi subjek yang harus diangkat untuk bisa menjadi pemimpin dalam pembangunan berkelanjutan dunia, dimulai dari lingkungan sekitar. Sampai pada tujuan tentang kemanusiaan dan progresnya tercapai di kehidupan sosial yang non-diskriminatif dan setara. Kemudian merujuk pada arti subtil: bahwa hal yang tidak setara adalah bentuk kekerasan.

TERBARU