26 April 2024 18:29
Search
Close this search box.

Memperingati Hari Kartini: Kartini Masa Kini Adalah Pekerja Migran

Kartini adalah sosok yang cerdas, muda dan berani. Ia mulai menulis sejak usia yang sangat belia, yakni ketika menjalani masa pingitan pada umur 12 tahun sampai menjelang 20 tahun. Ibunya digolongkan kelompok the subaltern, kelompok yang tidak didengar. Latar belakang tersebut membuat Kartini memiliki ide-ide mengenai emansipasi. Ia merasakan saat di mana ia bahkan tidak bisa tidur bersama ibunya karena ibunya berada di kelas yang berbeda dengannya. Ia hidup dalam lingkungan aristokrat yang memiliki banyak aturan dan tidak adil terhadap perempuan. Perempuan tidak boleh bersekolah, mereka mengalami kawin paksa dan kerap di poligami.

Salah satu teman bersuratnya adalah Stella, seorang feminist di Belanda. Dalam kutipan suratnya kepada Stella tahun 1899, ia mengatakan, “Sejak saya masih kanak-kanak, pada saat kata emansipasi belum punya arti apa-apa bagi saya dan tulisan mengenai itu masih di luar jangkauan saya, dalam hati saya sudah timbul keinginan yang kian lama kian besar; keinginan kepada kemerdekaan, kebebasan dan untuk berdiri sendiri”. Media Belanda pernah suatu kali memuat tulisannya namun karena dianggap tidak lazim menerbitkan tulisan seorang perempuan, maka mereka menggunakan nama ayahnya. Kata-kata seperti hak, emansipasi, feminisme, dan sebagainya sudah digunakan Kartini dalam surat-suratnya. Pemikirannya ini juga dipengaruhi bacaan-bacaannya yang sangat bagus. Sebagai kaum bangsawan ia memiliki priviledge untuk mendapatkan akses literasi yang lebih berkualitas, seperti jurnal dan majalah terbitan eropa. Serta pergaulan elit yang menuntunnya kepada teman-teman bertukar suratnya.

Sosok Kartini kerap kali diperdebatkan, dari sekian pejuang wanita, mengapa sosoknya yang dipilih diperingati setiap tahun sebagai simbol emansipasi? Karena tulisannya, maka dia abadi. Kartini mendokumentasikan seluruh pemikirannya dalam surat-suratnya, yang kemudian diterbitkan menjadi buku yang kita kenali saat in Habis Gelap Terbitlah Terang.  Kata-kata itu adalah visi yang diperjuangkan oleh kartini sepanjang hidupnya. Selain mendirikan sekolah di Jepara, Rembang, dan kota-kota lainnya, Kartini juga lah yang memajukan industri ukiran Jepara. Terlepas dari keistimewaan dari status bangsawan yang ia punya, Kartini menjadi sosok yang sangat peduli akan ketimpangan yang terjadi di sekitarnya.

Kartini merupakan sosok yang berprinsip dan tidak takut menjadi berbeda. Pemikirannya sudah berumur lebih dari 100 tahun, namun persoalan-persoalan yang diutarakannya masih terasa relevan sampai saat ini.

Dari data statistik BNP2TKI, penempatan Pekerja Migran Indonesia (PMI) didominasi oleh perempuan. Pada tahun 2017 angkanya mencapai 70 persen. Ironisnya adalah, pada tahun yang sama, data kasus yang didampingi oleh Migrant CARE menunjukkan 84 persen korban adalah perempuan. Mereka terjebak kasus perdagangan manusia, pelanggaran kontrak kerja, gaji tidak layak, asuransi dan dokumen bermasalah. Sebut saja Wilfrida Soik, Satinah, Suyanti, Siti Aisyah, Dwi Wulandari, Siti Zaenab, Adelina Sou, Dolfina, Nirmala Bonnat, Merri Utami dan masih banyak lagi. PMI masih rentan berhadapan dengan praktik-praktik diskriminatif dan eksploitatif. Tidak tanggung-tanggung, nyawa adalah taruhannya.

Berbeda dengan priviledge yang dirasakan oleh Kartini, kebanyakan pekerja migran Indonesia tidak memiliki akses kepada hal-hal tersebut. Survey yang dilakukan menunjukkan sebanyak 40 persen dari PMI hanya berlatar belakang pendidikan Sekolah Dasar (SD). Mereka bermigrasi karena tidak adanya pekerjaan, mengharapkan upah yang lebih tinggi agar dapat menabung dan hidup lebih sejahtera, terjebak dalam ketimpangan-ketimpangan yang membudaya. Dari situasi ini, kita bisa berefleksi bahwa perjuangan Kartini dalam mencapai kesetaraan belumlah usai.

Dengan semangat yang sama, para pekerja migran juga adalah pejuang layaknya Kartini. Berani merenggang nasib di negeri orang, bukan tanpa resiko. Terbatasnya akses pengetahuan dan pelindungan kepada mereka, apabila dapat diibaratkan gelap, maka kapan terang akan datang? Seperti falsafah yang selalu di cita-cita kan oleh Kartini, Habis Gelap Terbitlah Terang. Terbitlah terang untuk nasib Pekerja Migran Indonesia! 

 

TERBARU