Perdagangan manusia adalah kejahatan mengerikan yang sulit untuk didefinisikan. Perpindahan manusia secara lintas baik transnasional dan domestik, baik legal dan ilegal untuk tujuan eksploitasi adalah definisi yang luas dan dilakukan karena beragam motivasi.
Motivasi ini tidak hanya dilakukan oleh pelaku kejahatan, bahkan kejahatan terjadi tidak atas dasar keinginan si pelaku. Di Indonesia, perdagangan manusia lahir akibat faktor kemiskinan, kehilangan pekerjaan, ketidaksetaraan gender, tekanan keluarga dan lingkungan untuk mempekerjakan anak-anak mereka. Akibatnya, manusia bermigrasi mencari pekerjaan, mungkin secara legal dan illegal dan diawal tidak bertujuan untuk terjerat eksploitasi perdagangan manusia.
Untuk waktu yang lama, Indonesia menjadi negara transit untuk pencari suaka kewarganegaraan, mulai dari Negara Asia Selatan menuju ke Australia, situasi ini menjadi lahan subur bagi pelaku perdagangan manusia. Sejak tahun 2009 sampai 2011, dilaporkan 373 kasus perdagangan manusia di Indonesia meliputi 440 orang korban dewasa dan 192 korban anak-anak.
Lalu bagaimana pemerintah Indonesia dan Pemerintah Australia menyikapi situasi kasus tersebut? Pada satu waktu, Perdana Menteri Australia Tony Abbott mengeluarkan aturan untuk melarang pencari suaka datang ke Australia (Januari, 2014) dan mengirim mereka kembali ke Indonesia. Situasi ini menyebabkan ketengan antara dua negara tetangga tersebut seperti dikabarkan bahwa mata-mata Australia menyadap handphone Presiden Indonesia dan eksekusi dua warga negara Australia untuk kasus narkotika.
Namun, ketika Perdana Menteri Australia yang baru Malcolm Turnball mengunjungi Jakarta akhir tahun 2015 dan bertemu dengan Presiden Indonesia Joko Widodo, Ia datang dengan tujuan membahas hubungan Indonesia-Australia. Indonesia pernah menyelesaikan kasus penyelundupan manusia dan perdagangan manusia di Afghanistan dan Australia.
Pada Februari 2009, Indonesia meratifikasi konvensi PBB tentang menentang kejahatan transnasional terorganisir. Selama 2010, Pemerintah Indonesia meluaskan kerjasama dengan NGO dan mitra asing, termasuk Australia untuk melaksanakan pelatihan penegakan hukum tentang perdagangan manusia. Beberapa kerjasama yang dihasilkan antara lain penetapan bali process untuk penyelundupan manusia, perdagangan manusia dan kejahatan transnasional, kerjasama diharapkan mendorong masalah menjadi fokus kerjasama hubungan Indonesia-Australia mendatang.
Seperti yang diungkapkan dalam konvensi internasional PBB tentang perlindungan hak-hak pekerja migran dan anggota keluarganya, eksploitasi pekerja migran dan korban perdagangan manusia “…..upaya perlindungan tidak menjadi sia-sia seandainya dasar-dasar hak azasi manusia pekerja migran lebih diakui secara luas.”, seandainya kesadaran untuk masalah perdagangan manusia lebih ditingkatkan, maka kesempatan dua negara tersebut untuk menyelesaikan masalah lebih efektif. Semua ini tergantung kepada masyarakat dan pemerintah untuk terus mengambil langkah-langkah penyelesaian.
Kate Fletcher, ACICIS Intern for MigrantCare