29 March 2024 02:36

Pekerja Rumah Tangga Tak Berhak Mudik

Lebaran merupakan momentum tahunan yang identik dengan tradisi mudik. Mudik tak sekedar pulang kampung, tapi menjadi bagian dari spiritualitas setiap manusia yang memiliki akar sejarahnya. Lebaran juga selalu mengingatkan pada betapa pentingnya sebuah profesi yang selama ini jarang disadari, yaitu pekerjaan rumah tangga. Diakui atau tidak, ketergantungan masyarakat Indonesia terhadap peran Pekerja Rumah Tangga (PRT) sangat tinggi. Karenanya, PRT baik di dalam maupun di luar negeri, selalu memiliki peran penting dalam kehidupan keluarga. Bahkan kehidupan berbangsa dan bernegara pun tak luput dari peran PRT.

Di hari lebaran, tatkala sebagaian besar orang berbondong-bondong mudik ke kampung halaman memungut sebagian kebahagiaan hidup, kebanyakan PRT tak dapat merasakan hal yang sama. Bagi mereka, hari lebaran menjadi kesempatan untuk menjadi pekerja yang sesungguhnya dan dihargai. Maka muncullah istilah Infal, atau PRT musiman untuk lebaran. Infal memiliki bargaining position yang lebih dibanding PRT pada hari-hari biasa. Infal digaji lebih layak, memiliki jam kerja yang jelas, dan bekerja berbasis kontrak kerja yang jelas pula.

Sayangnya, ketika itu terjadi banyak anak-anak yang terjebak dan dieksploitasi menjadi PRT infal. Perempuan dan anak-anak selalu rentan dalam praktek trafficking dalam kedok PRT infal. Hal ini hanya bisa terjadi ketika Negara cenderung diam dan seakan memberi ruang kepada setiap keluarga, terutama agen penyalur PRT untuk menjadi subyek kejahatan.

Realitas yang demikian mestinya menjadi cermin bagi kita semua untuk mau merubah kedudukan PRT, yang selama ini tak diakui keberadannya, tak dilindungi, dan tak dihormati sebagai pekerja. Keberadaan mereka yang bekerja, memiliki kontribusi penting dalam kehidupan rumah tangga, berbangsa, dan bernegara, bahkan dunia, tidak ada yang dapat membantahnya. Data ILO menunjukkan di seluruh dunia ada 50 juta PRT. Di Indonesia, hampir sepuluh juta penduduknya bekerja sebagai PRT. Lima juta di antara mereka bekerja sebagai PRT migran, dan sekitar 4,5 juta lainnya menjadi PRT di dalam negeri.

Sehingga tak aneh bila pada tahun 2015 misalnya, bila 89 persen lebih dari 8,4 Milyar USD remitansi buruh migran Indonesia adalah hasil keringat PRT migran di berbagai belahan dunia. Pada lebaran tahun 2016 remitansi dari buruh migran melonjak drastis. Di Kediri Jawa Timur misalnya, kiriman buruh migran pada bulan Juni 2016 mencapai Rp 21,60 Milyar, atau meningkat 30 persen dari Rp 15,27 Milyar pada bulan sebelumnya. Hal ini jelas menunjukkan bahwa gerak perekonomian lebaran di kampung-kampung juga ditentukan oleh PRT migran di luar negeri. Ini semua hanya menjadi fenomena mudik remitansi, karena sebagian besar PRT migran tak banyak yang punya kesempatan untuk benar-benar mudik.

Lebaran dalam Duka

Selain tak banyak PRT Migran yang bisa mudik saat lebaran, tak sedikit di antara mereka juga mesti berlebaran dalam suasana duka. Rita Krisdianti, PRT Migran asal Ponorogo Jawa Timur, lebaran tahun ini justru dalam kecemasan menghadapi Sidang Banding setelah Mahkamah Tinggi Penang menjatuhkan vonis hukuman mati kepadanya pada 30 Mei 2016. Suasana yang sama pasti juga dirasakan keluarganya di Ponorogo Jawa Timur. Demikian pula halnya dengan 272 buruh migran dan PRT migran lainnya yang saat ini tengah menghadapi ancaman hukuman mati di Malaysia, Arab Saudi, dan China.

Di sisi lain, Malaysia yang notabene negara tetangga dan mengaku selalu serumpun justru lebih aktif melakukan deportasi terhadap buruh migran dan PRT migran tidak berdokumen jelang lebaran tahun ini. Pada 23 Juni 2016 (dua minggu sebelum lebaran) Malaysia mendeportasi 900 orang melalui pelabuhan Tanjung Pinang. Enam di mereka yang dideportasi ibu-ibu dengan bayinya yang berumur dua minggu. Banyak di antara mereka yang masih menahan perih akibat luka bekas rotan/cambuk, dan bahkan masih mengeluarkan darah.

Kemudian tiga hari menjelang lebaran, (3 Juli 2016) pemerintah Malaysia juga kembali mendeportasi 600 orang buruh migran dan PRT migran tidak berdokumen melalui pelabuhan Tanjung Priok. Di antara mereka juga terdapat ibu bersama bayinya yang sangat tak layak untuk melakukan perjalanan jauh.

Sementara itu di berbagai shelter perwakilan Republik Indonesia di berbagai Negara tujuan, di hari lebaran ini terdapat ribuan PRT Migran tengah menanti proses penyelesaian masalah yang mereka hadapi, seperti gaji yang tidak dibayarkan, mengalami perlakuan tidak manusiawi selama bekerja, dan tengah menghadapi proses hukum.

Istiqomah dan Juanda, yang bekerja di Arab Saudi, tiba di Bandara Soekarno Hatta pada 3 Juli 2016, tiga hari sebelum lebaran, dalam kondisi tak bernyawa. Mereka berkesempatan mudik ke kampung halamannya dalam kondisi sudah tidak bernyawa. Paling tidak, 5 peti jenazah buruh migran tiba di kargo Bandara Soekarno Hatta. Karenanya, takbir yang berkumandang untuk menandai kebahagiaan merayakan lebaran, jutru mengiringi duka bagi mereka.

Lebaran dalam suasana duka pun saya yakin dialami keluarga Siti Zaenab dan Karni PRT Migran yang keduanya dieksekusi mati di Arab Saudi tahun lalu atas tuduhan pembunuhan yang sejatinya terpaksa mereka lakukan karena membela diri dari perilaku brutal majikannya.

Berpihak pada PRT

Persoalan PRT tidak akan selesai hanya dengan menghentikan mereka yang ingin memenuhi kebutuhan hidupnya untuk bekerja ke luar negeri. Kita tidak bisa menunda apalagi menghalangi seseorang untuk memenuhi kebutuhan hidupnya. Apalagi, Negara juga tidak bisa menjamin kehidupan layak bagi setiap warga negaranya, meskipun negeri ini katanya kaya raya.

Harus diakui bahwa kultur feodalistik yang merendahkan PRT di Indonesia telah dimulai sejak tradisi ngenger atau hidup bersama saudara, kerabat, maupun orang lain yang lebih mapan secara ekonomi untuk sekedar menyambung hidup. Tak ada perhitungan upah dan bentuk pekerjaan dalam hal ini. Cukup dengan memberi makan dan tempat tinggal sekedarnya, terbuka peluang memperbudak orang lain atau bahkan saudara sendiri. Kenyataan ini memiliki kontribusi signifikan terhadap konstruk sosial yang memandang bahwa PRT itu bukan pekerja. Mereka hanya numpang hidup, dan dengan demikian mereka tak memiliki hak untuk menerima upah.

Lebaran sebagai salah satu momentum tahunan semestinya juga bisa dinikmati oleh PRT baik di dalam maupun di luar negeri yang merayakannya. Kondisi itu akan terjadi bilamana pemerintah Indonesia tidak menunda lagi perwujudan perlindungan bagi PRT dan PRT migran baik di pusat maupun di daerah yang selaras dan harmonis dengan Konvensi 189 tentang kerja layak bagi PRT dan RUU Perlindungan PRT yang semoga segera disahkan. Bukan malah berpikir tentang penghentian pengiriman PRT Migran tanpa memberikan solusi bagaimana mereka dapat memenuhi kebutuhan hidupnya.

Dan semoga lebaran yang melahirkan fenomena PRT infal di dalam negeri, menyadarkan masyarakat dan Negara ini untuk lebih melindungi PRT secara nyata. Dan karenanya mereka pun berhak untuk mudik berlebaran.

TERBARU