Pastikan UU Pelindungan Pekerja Migran Indonesia Tidak Dibajak Oleh Kepentingan-Kepentingan Yang Anti-Buruh Migran

Siaran Pers Migrant CARE
Menyambut Pengesahan RUU Pelindungan Pekerja Migran Indonesia

Pastikan UU Pelindungan Pekerja Migran Indonesia
Tidak Dibajak Oleh Kepentingan-Kepentingan Yang Anti-Buruh Migran

Setelah gagal terselesaikan dalam masa kerja DPR-RI periode 2009-2014 dan berproses secara lamban di awal periode 2014-2019, akhirnya legislasi untuk perubahan/penggantian UU No. 39/2004 tentang Penempatan dan Perlindungan Tenaga Kerja Indonesia di Luar Negeri bisa diselesaikan. Dijadwalkan pada hari ini Rabu tanggal 25 Oktober 2017, di ujung masa persidangan I tahun 2017-2018, akan dilaksanakan Rapat Paripurna DPR-RI untuk pengesahan RUU Pelindungan Pekerja Migran Indonesia menjadi UU Pelindungan Pekerja Migran Indonesia.

Mencermati perjalanan panjang legislasi ini Migrant CARE memberikan beberapa catatan dan pandangan menyangkut proses dan substansi pembahasan RUU Pelindungan Pekerja Migran Indonesia. Dari sisi proses, pembahasan RUU yang sangat lamban ini masih memperlihatkan bahwa persoalan buruh migran Indonesia belum dianggap prioritas sehingga tidak ada political will untuk menuntaskan proses legislasi ini. Proses yang lamban ini mengakibatkan adanya kemandekan inisiatif-inisiatif perlindungan buruh migran oleh pemerintah pusat dan pemerintah daerah dengan dalih bahwa tidak boleh ada kreasi kebijakan yang tidak berdasar pada UU No.39/2004 tentang Penempatan dan Perlindungan Tenaga Kerja Indonesia Di Luar Negeri.

Proses legislasi ini juga belum sepenuhnya bersifat inklusif dan transparan dengan pelibatan seluas mungkin pemangku kepentingan dalam soal perlindungan buruh migran Indonesia. Durasi waktu yang panjang dari pembahasan legislasi ini seharusnya bisa dimaksimalkan dengan menggali masukan dari berbagai pihak, terutama subyek utama buruh migran Indonesia yang tersebar merata di berbagai belahan dunia, terutama di kawasan Asia Tenggara, Asia Timur dan Pacifik serta Timur Tengah. Namun ternyata, durasi waktu yang panjang tersebut sebagian besar hanya dihabiskan untuk debat kusir tak berujung yang tidak menghasilkan output yang substantif.

Setelah ada desakan kuat dari masyarakat sipil yang ingin memantau dan memastikan proses legislasi RUU ini berada di jalur yang benar, jalannya siding-sidang Komisi dan Panja RUU di Gedung DPR dapat dipantau oleh publik, meski demikian ada beberapa rapat Panja di luar gedung DPR bersifat tertutup. Migrant CARE mengapreasiasi adanya inisiatif proaktif dari pimpinan Komisi untuk membuka akses public pada proses persidangan pembahasan RUU dan mendorong untuk kelembagaan parlemen sebagai bentuk ketebukaan dan transparansi dalam proses legislasi.

Dari sisi substansi, sebagai produk politik, UU Pelindungan Pekerja Migran Indonesia tentu lahir dari proses dan negoisasi politik sehingga produk finalnya tentu bukan produk ideal dan sempurna. Namun demikian, Migrant CARE menegaskan bahwa seharusnya UU ini bisa dimaksimalkan sebagai instrumen perlindungan buruh migran Indonesia sebagai bentuk komitmen Indonesia menjadi negara peratifikasi Konvensi PBB Tahun 1990 tentang Perlindungan Hak-Hak Seluruh Buruh Migran dan Anggota Keluarganya (yang telah diundangkan dalam UU No. 6 Tahun 2012).

Dari pembacaan kritis terhadap draft akhir RUU Perlindungan Pekerja Migran Indonesia, Migrant CARE melihat ada kemajuan-kemajuan berarti dibanding dengan UU No. 39 Tahun 2004 tentang Penempatan dan Perlindungan Tenaga Kerja Indonesia Di Luar Negeri. Kemajuan tersebut dapat dilihat dari adanya Bab dan Pasal-Pasal spesifik mengenai Pelindungan Buruh Migran, Hak-hak Buruh Migran, Jaminan Sosial, Tugas dan Tanggungjawab Pemerintah Pusat dan Pemerintah Daerah, Layanan Terpadu Satu Atap Penempatan dan Pelindungan Pekerja Migran Indonesia.

Di dalam RUU ini, pasal-pasal mengenai perlindungan hak-hak buruh migran serta jaminan sosial buruh migran berpedoman pada Konvensi ini meskipun belum secara keseluruhan. Beberapa substansi penting dalam Konvensi yang belum mendapatkan tempat di RUU ini adalah perlindungan pada anggota keluarga buruh migran serta memastikan buruh migran yang tidak berdokumen dikriminalisasi. patut disayangkan masih ada pasal yang mengingkari tanggungjawab negara terkait dengan buruh migran Indonesia yang bekerja secara mandiri. Pasal ini membuka ruang adanya (pembiaran) kriminalisasi buruh migran.

Migrant CARE mengapresiasi adanya perubahan-perubahan yang signifikan dalam RUU ini terkait tata kelola migrasi tenaga kerja terutama dengan adanya penguatan peran negara, tidak hanya di tingkat pusat, tetapi juga pengakuan yang signifikan atas peran pemerintah di tingkat daerah (mulai propinsi, kabupaten/kota hingga tingkat desa). Hal ini memperlihatkan adanya komitmen untuk menghadirkan negara (di semua tingkatan) dalam memberikan perlindungan pada buruh migran, mengakhiri proses sentralisasi tata kelola migrasi tenaga kerja yang eksploitatif serta mendorong tanggung jawab dan rasa kepemilikan (ownership) dari pemerintah daerah mengenai perlindungan buruh migran Indonesia.

Hal lain yang patut mendapat apresiasi adalah RUU ini mengamanatkan bahwa tidak boleh ada pembebanan biaya penempatan terhadap buruh migran Indonesia. Amanat ini harus benar-benar terwujud dalam implementasi kebijakan dan tidak boleh disabotase pada peraturan-peraturan pelaksananya.

Namun demikian, RUU ini juga masih menyimpan beberapa kelemahan. Kelemahan itu terlihat dari Bab dan pasal tentang pelaksana penempatan, kelembagaan serta pasal-pasal yang memiliki potensi sebagai pasal karet yang bisa dibajak sehingga berpotensi melahirkan peraturan pelaksana yang merugikan buruh migran Indonesia.

RUU masih menyimpan potensi konflik kelembagaan mengenai kewenangan Kementerian dan Institusi/Badan Non Kementerian dalam tata kelola perlindungan buruh migran. Ini disebabkan masih belum tuntasnya pembahasan mengenai pembagian kerja dan kewenangan kelembagaan. Pasal-pasal yang dihasilkan adalah hasil kompromi. Oleh karena itu Migrant CARE mendesak kepada Presiden RI untuk bisa menuntaskannya dalam penerbitan peraturan pelaksananya.

RUU ini juga masih membuka celah dari sektor swasta untuk menjalankan bisnis penempatan buruh migran Indonesia bahkan diatur dalam Bab tersendiri. Masih ada belasan pasal yang mengatur rinci pengenai Pelaksana Penempatan Pekerja Migran Indonesia. Sebagai RUU yang fokusnya (domain hukumnya) pada Perlindungan Buruh Migran, adanya pengaturan rinci mengenai operasional pelaksana penempatan pekerja migran bukan pada tempatnya.

Pasal-pasal didalam RUU ini mengenai pembinaan dan pengawasan juga berpotensi sebagai pasal karet katrena tidak mengelaborasi mengenai bentuk pembinaan dan pengawasan apa yang seharusnya dilakukan untuk memastikan terselenggaranya tata kelola perlindungan buruh migran Indonesia. Ini juga berpotensi menimbulkan konflik kelembagaan terkait kewenangan dan tanggungjawab pembinaan dan pengawasan.

Kelemahan lain yang terkandung dalam RUU ini adalah belum adanya pasal khusus yang mengafirmasi kebutuhan khusus perlindungan buruh migran Indonesia (terutama perempuan) yang bekerja di sektor pekerja rumah tangga. Kebutuhan ini penting mengingat mayoritas buruh migran Indonesia bekerja di sektor ini dan menghadapi situasi kerentanan yang berkepanjangan.

Berdasar pada catatan dan pandangan Migrant CARE dari sisi proses dan substansi perjalanan pembahasan RUU Pelindungan Pekerja Migran Indonesia serta pembacaan kritis atas draft akhir RUU Pelindungan Pekerja Migran Indonesia, maka atas pengambilan keputusan mengenai pengesahan RUU Pelindungan Pekerja Migran Indonesia Migrant CARE menyambut dan mengapresiasi atas adanya perubahan dan penggantian UU No.39/2004 tentang Penempatan dan Perlindungan Tenaga Kerja Indonesia Di Luar Negeri menjadi UU Pelindungan Pekerja Migran Indonesia.

Migrant CARE mengingatkan bahwa pengesahan RUU Pelindungan Pekerja Migran Indonesia menjadi UU Pelindungan Pekerja Migran Indonesia tentu bukan jawaban satu-satunya atas tuntutan kehadiran negara dalam perlindungan buruh migran Indonesia tetapi harus disertai dengan langkah-langkah konkrit mencabut kebijakan-kebijakan lama yang sudah usang dan menyegerakan adanya transisi perubahan tata kelola migrasi tenaga kerja yang berbasis pada tanggungjawab negara atas perlindungan warganya dan penghormatan atas hak asasi manusia.

Migrant CARE mendesak komitmen Pemerintah Indonesia untuk memastikan UU Pelindungan Pekerja Migran Indonesia tidak dibajak oleh kepentingan-kepentingan anti buruh migran yang memanfaatkan potensi kelemahan-kelemahan yang masih terkandung didalam UU tersebut.

Migrant CARE juga mendesak DPR-RI dan Pemerintah Indonesia untuk segera meratifikasi Konvensi ILO 189 dan menuntaskan legislasi RUU Perlindungan Pekerja Rumah Tangga untuk memastikan terselenggaranya perlindungan terhadap buruh migran Indonesia yang bekerja di sektor pekerja rumah tangga.

Jakarta, 25 Oktober 2017

Wahyu Susilo
Direktur Eksekutif Migrant CARE
08129307964

Kontak:
Anis Hidayah (Kepala Pusat Studi Migrasi Migrant CARE, 081578722874)
Siti Bariyah (Divisi Advokasi kebijakan Migrant CARE, 081280588341)

TERBARU