Pekerja migran Indonesia tidak terlepas dari figur perempuan. Pernyataan ini mungkin sesuai dengan data statistik penempatan tenaga kerja Indonesia yang dirilis Badan Nasional Penempatan dan Perlindungan Tenaga Kerja Indonesia (BNP2TKI). Data tersebut mendokumentasikan lebih dari 53 persen pekerja migran Indonesia yang ditempatkan adalah perempuan pada tiap tahunnya dalam rentang tahun 2011-2016. Data BNP2TKI per Oktober 2017 bahkan menunjukkan pekerja migran perempuan berjumlah 67 persen dari jumlah keseluruhan pekerja migran yang ditempatkan. Fakta lainnya yang mungkin lebih dekat dengan kita adalah pemberitaan pekerja migran perempuan asal Indonesia yang tersangkut permasalahan hukum di luar negeri, menjadi korban sindikat perdagangan narkoba, bahkan menjadi korban perdagangan orang.
Merujuk pada data statistik dan realitas yang ada, kita bisa merumuskan sebuah hipotesa bahwa persoalan perkerja migran lekat dengan persoalan perempuan. Berbicara tentang wacana perempuan dalam ranah sosiologi, kita mungkin akan bertemu pada kritik tentang relasi yang timpang bagi perempuan dalam struktur sosial masyarakat. Dalam konstruksi gender contohnya, perempuan sering dihadapkan pada situasi-situasi yang tidak menguntungkan atas identitas maupun peranannya sebagai perempuan. Tulisan ini mencoba merunut secara kritis tentang kerentanan yang dihadapi oleh pekerja migran perempuan dalam kerangka perspektif analisis gender yang kemudian membentuk sebuah siklus yang saling berkelindan.
Feminisasi Kemiskinan
Dalam pendekatan studi migrasi, berpindahnya seseorang dari satu wilayah ke wilayah lainnya merupakan satu cara untuk bertahan hidup. Di Indonesia, migrasi tenaga kerja ke luar negeri tidak terlepas dari situasi kemiskinan yang terus menjadi ancaman. Pemanfaatan lahan untuk kawasan industri dan pertambangan yang meluas, pada kenyataanya tidak mampu menciptakan kesempatan kerja yang juga luas, khususnya bagi perempuan. Banyak dari kegiatan industri hanya mempekerjakan perempuan pada level buruh dengan upah yang rendah, karena kuatnya stereotip perempuan sebagai figur yang telaten namun dapat digaji rendah. Hal ini diperburuk dengan rendahnya aksesibilitas perempuan terhadap kerangka layanan publik meliputi; pendidikan, pemberdayaan ekonomi, kesehatan, maupun dalam kerangka partisipasi politik. Situasi ini menjadi sebuah fenomena ‘pemiskinan’ bagi perempuan, atau yang kemudian disebut sebagai feminisasi kemiskinan. Perempuan menjadi tidak berdaya untuk mendapatkan akses akan sumber daya ekonomi di tengah tuntutan kebutuhan ekonomi serta kebijakan pasar yang terus berjalan di dalam negeri, dan kemudian memilih bekerja di luar negeri dengan imajinasi sumber daya ekonomi yang lebih besar. Banyak dari mereka yang memutuskan untuk bekerja di luar negeri dengan kemampuan/keahlian yang minim dan akhirnya hanya bisa ditempatkan sebagai pekerja di sektor domestik atau pekerja rumah tangga, bahkan melalui proses migrasi yang tidak aman. Dalam kerangka manifestasi ketidakadilan gender, perempuan dalam hal ini mengalami marginalisasi atau peminggiran yang menyebabkan kemiskinan.
Struktur yang (Masih) Cenderung Patriarki
Rendahnya akses perempuan terhadap layanan publik dan partisipasi dalam politik menjadi salah satu indikator pemiskinan terhadap perempuan di era desentralisasi. Pembangunan mayoritas terkonsentrasi pada pembangunan infrastruktur fisik, dan mengabaikan kebijakan dan upaya perlindungan sosial masyarakat, khususnya pendidikan dan kesehatan bagi perempuan. Hal ini juga tidak terlepas dari instrumen kebijakan publik dalam tataran perumusan hingga implementasinya. Dalam tataran perumusan, perempuan harusnya menjadi subjek kebijakan. Sementara dalam tataran implementasi, perempuan harusnya memiliki peran partisipatif untuk mengontrol jalannya kebijakan publik. Merujuk manifestasi ketidakadilan gender, dalam hal ini perempuan menghadapi sebuah subordinasi atau pereduksian dalam struktur sosial.
Di sisi lainnya, praktik-praktik diskriminasi terjadi secara sistematis dalam struktur kultural masyarakat. Banyak pendekatan budaya dan agama dalam masyarakat patriarkal yang menempatkan figur perempuan sebagai individu yang lemah dan hanya lekat pada urusan-urusan domestik. Beberapa pelabelan (stereotipe) yang sering terjadi adalah perempuan tidak perlu mendapat akses pendidikan yang baik, harus tunduk pada laki-laki, dan tidak perlu mengembangkan kapasitas/kemampuan dirinya. Pendekatan-pendekatan ini menambah beban kultural bagi perempuan, serta melekatkan perempuan pada praktik-praktik kekerasan secara fisik maupun psikis. Kerangka kebijakan dan lingkungan sosial yang masih cenderung patriarki dan diskriminatif ini, membentuk sebuah struktur mengarahkan perempuan pada situasi yang timpang dalam aspek pendidikan maupun kesehatan ketika menghadapi kondisi ekonomi yang tidak stabil. Pilihan yang dapat diambil pun hanya sedikit, salah satunya menjadi pekerja migran dengan segala ‘keterpaksaan” atas situasi yang terjadi.
Perkawinan Anak
Fenomena lain yang berpotensi besar menciptakan situasi timpang bagi perempuan adalah perkawinan usia anak. Data laporan UNICEF bersama BPS tentang perkawinan usia anak di Indonesia menunjukan seperenam (340.000) anak perempuan Indonesia menikah sebelum mencapai usia dewasa setiap tahunnya. Laporan ini kemudian mengungkapkan adanya hubungan erat antara pendidikan dan kemiskinan dengan perkawinan usia anak. Perempuan yang menikah pada usia anak juga berisiko pada akibat buruk dari aspek sosial, ekonomi, dan kesehatan reproduksi.
Dalam aspek ekonomi, perempuan yang menikah pada usia anak dihadapkan pada risiko-risiko ketidaksiapan diri dalam mengelola perekonomian rumah tangga, dan berisiko menjadi faktor pendorong bagi perempuan untuk bekerja menjadi pekerja migran melalui proses yang tidak aman. Analisa ini sebanding lurus dengan maraknya kasus perdagangan orang dengan modus memalsukan usia calon pekerja migran yang masih di bawah umur.
Kekerasan dalam Rumah Tangga
Selain perkawinan usia anak, salah satu fenomena yang kerap menjadi hulu sekaligus hilir kerentanan pekerja migran perempuan adalah Kekerasan Dalam Rumah Tangga (KDRT). Bedasarkan Catatan Tahunan (CATAHU) Komisi Nasional Anti Kekerasan Terhadap Perempuan (Komnas Perempuan), kasus kekerasan terhadap perempuan yang paling menonjol adalah KDRT yang mencapai angka 75% (10.205 kasus).
Survey yang dilakukan Migrant CARE tentang mobilitas buruh migran juga menunjukkan sebanyak 51% buruh migran berperan sebagai istri dalam struktur keluarga, dan 85% pekerja migran telah memiliki anak. Sampai pada bahasan ini, kita bisa menganalisa situasi ‘beban ganda’ sebagai manifestasi ketidakadilan gender terhadap pekerja migran perempuan. Karena selain berperan sebagai istri, pekerja migran perempuan harus menjadi seorang ibu, selain bekerja untuk menghidupi keluarga.
Migrasi Tidak Aman
Serangkaian fenomena di atas kerap menghadapkan perempuan pada pilihan yang sempit, salah satunya dengan menjadi pekerja migran melalui proses atau prosedur yang tidak aman. Situasi ini diperburuk dengan meluasnya industri penempatan buruh migran (PJTKI) yang kerap mengabaikan unsur-unsur perlindungan bagi calon pekerja migran dalam proses migrasi yang dilakukan. Maraknya kasus penipuan, pemalsuan identitas dan beragam pelanggaran yang dilakukan oleh perusahaan pengiriman pekerja migran menghadapkan pekerja migran (khususnya perempuan) pada situasi yang sulit ketika berhadapan dengan persoalan hukum di negara penempatan. Tidak adanya instrumen perlindungan hukum yang disebabkan oleh malfungsi oknum perusahaan swasta ini, menghadapkan pekerja migran pada hukuman-hukuman berat, bahkan hingga hukuman mati. Situasi ini diperburuk dengan ketidakmampuan pekerja migran, khususnya perempuan dalam melakukan negosiasi yang baik dan pembelaan diri ketika menghadapi situasi-situasi yang merugikan. Selain keterbatasan dalam hal pengalaman dan pendidikan, konstruksi kultural tentang peran domestik yang melekat pada perempuan mengakibatkan banyak pekerja migran perempuan harus kembali terjebak dalam tindak diskriminasi dan kekerasan.
Dari rentetan fenomena di atas, juga dapat disimpulkan sebuah siklus pemiskinan terhadap perempuan yang mengarahkan pada situasi-situasi yang rumit. Salah satunya adalah proses migrasi tenaga kerja yang tidak aman. Dalam kerangka manifestasi ketidakadilan gender, rentetan fenomena di atas juga dapat menjadi kerangka analisis bahwa terjadi marginalisasi, subordinasi, stereotip, kekerasan, dan beban ganda yang rentan dialami oleh pekerja migran perempuan.
Sampai di sini, kepada semua, aku mengajakmu untuk dapat membuka cara pandang dan cara pikir yang lebih luas dalam melihat kerentanan persoalan yang terjadi pada saudara-saudara kita yang menjadi pekerja migran.