16 April 2024 18:55
Search
Close this search box.

Melindungi Pekerja Migran, dari Kampung Halaman hingga Forum Internasional

Pada Konferensi Tingkat Tinggi ASEAN ke-28 di Vientiane, Laos, Selasa 6 September lalu, Presiden Joko Widodo mengingatkan kepada negara-negara ASEAN untuk melindungi hak-hak para pekerja migran. Tak hanya kepada para pekerja, tapi juga keluarganya.

“ASEAN harus memastikan bahwa hak-hak pekerja dan keluarganya dilindungi dengan baik,” demikian salah satu nukilan pidato Presiden Jokowi.

Pidato tersebut menunjukkan, betapa Indonesia berkomitmen kuat melindungi hak pekerja migran. Isu ini sama pentingnya dengan komitmen menjaga stabilitas politik, keamanan dan pertumbuhan ekonomi kawasan yang juga disampaikan presiden pada kesempatan tersebut.

Komitmen Indonesia tidak sekadar didasarkan pada kepentingan subyektif, bahwa negara ini memiliki 6 juta lebih pekerja migran yang sebagian di antaranya bekerja di beberapa negara ASEAN. Lebih dari itu, pembelaan terhadap pekerja migran juga didasarkan pada ketulusan menjunjung tinggi prinsip-prinsip Hak Asasi Manusia. Memang, tingginya angka pekerja migran serta kompleksitas masalah yang melingkupinya, menyisakan kisah buruk yang menimpa pekerja migran Indonesia. Namun negara berkomitmen kuat untuk senantiasa hadir memberikan perlindungan. Tak hanya kepada pekerja, tapi juga keluarganya.

Ajakan Presiden Jokowi tersebut, sesungguhnya sebagai respon atas lemahnya komitmen sebagian negara ASEAN, terutama negara-negara penerima pekerja migran seperti Malaysia, Singapura dan Brunei Darussalam, dalam melindungi keberadaan pekerja migran.

Lemahnya komitmen sebagian negara ASEAN terbaca jelas pada pertemuan tingkat pejabat senior Kementerian Ketenagakerjaan negara ASEAN di Jakarta, saat membahas finalisasi draft perlindungan dan promosi pekerja migran. Dalam pertemuan yang berlangsung sepekan sebelum KTT ASEAN itu, sikap dan posisi Indonesia sangat jelas, bahwa upaya perlindungan terhadap pekerja migran harus menjadi legally binding (hukum yang mengikat) seluruh anggota ASEAN. Tak hanya kepada pekerja migran, tapi juga kepada keluarga serta pekerja migran yang undocumented (bermasalah dalam dokumen).

Pekerja migran undocumented bukan dimaknai sebagai pekerja ilegal, tapi pekerja migran yang proses awalnya legal, namun pada perjalannya mengalami masalah dokumen. Misalnya kontrak kerja habis tapi oleh majikan diperpanjang secara ‘kekeluargaan’. Atau pekerja yang izin tinggalnya habis, namun perusahaan mempersulit untuk memperbarui dokumen.

Dengan menjadikan legally binding, para pekerja migran memiliki hak dan perlakuan hukum yang sama dengan warga negara tempat ia bekerja. Dengan demikian, tak ada lagi cerita polisi tidak memproses aduan atau tidak memberi perlindungan hukum kepada pekerja migran. Karena ia memiliki hak perlindungan hukum yang sejajar dengan warga negara setempat.

Tegasnya sikap Indonesia tersebut didasarkan pada nilai-nilai HAM serta dokumen-dokumen kesepakatan ASEAN sebelumnya. Namun sikap Indonesia mendapat tentangan keras dari Malaysia, Singapura, Brunei dan Laos. Semoga peringatan yang disampaikan Presiden Jokowi mendapat respon positif dari para pemimpin ASEAN.

Sikap Indonesia dalam melindungi dan meningkatkan kesejahteraan pekerja migran juga disampakan pada forum Colombo Process di Sri Lanka akhir Agustus lalu. Di forum konsultasi regional para menteri negara pengirim tenaga kerja se Asia itu, Indonesia mengusulkan dua hal penting: perlunya membangun jejaring dalam membangun sistem informasi pasar kerja (labour market information), serta jejaring pengawasan pekerja migran (labour inspector networking).

Jejaring informasi pasar kerja akan mempermudah pekerja migran mendapat informasi pasar kerja seperti skill yang dibutuhkan, perusahaan tempat bekerja, kontrak kerja, hak yang akan didapatkan dan sebagainya. Sedangkan jejaring pengawasan pekerja akan mempermudah mengawasi dan mengadvokasi pekerja migran.

Kedua usulan Indonesia itu melengkapi pembahasan agenda yang telah disepakati forum, antara lain skill and qualification recognition (ketrampilan dan pengakuan kualifikasi), promoting ethical recruitment (etika promosi perekrutan), pre departure orientation and empowerment (orientasi sebelum keberangkatan dan pemberdayaan), serta remitansi.

Tentu saja, komitmen tersebut tak sebatas pada “kampanye udara” di forum internasional. Di dalam negeri, upaya melindungi pekerja migran terus dilakukan dengan mendesak Rancangan Undang Undang Perlindungan Pekerja Migran Indonesia (RUU PPMI) sebagai penyempurna UU Nomor 39 Tahun 2004 tentang Penempatan dan Perlindungan Tenaga Kerja Indonesia di Luar Negeri. RUU PPMI diyakini mampu menjamin terpenuhinya hak-hak pekerja migran lebih baik.

Selain regulasi, pemerintah juga mengupayakan perlindungan dan meningkatkan kesejahteraan pekerja migran dari kampung halaman. Akhir Agustus lalu, saya meresmikan enam desa di Kabupaten Lembata, Nusa Tenggara Timur sebagai Desa Peduli Buruh Migran (Desbumi). Keenam desa tersebut adalah Tagawiti, Beutaran, Dulitukan yang berada di Kecamatan Ili Ape, serta Desa Lamatokan, Lamawolo dan Bao Lali Duli di Kecamatan Iliape Timur. Program ini diprakarsai oleh Migrant Care, Yayasan Kesehatan untuk Semua (YKS), MAMPU (Maju Perempuan Indonesia untuk Penanggulangan Kemiskinan) dan pemerintah setempat.

Sebelumnya, Desbumi juga dicanangkan di Lombok Tengah NTB (6 desa), Wonosobo Jawa Tengah (10 desa), Kebumen Jawa Tengah (2 desa), Cilacap Jawa Tengah (1 desa), Jember Jawa Timur (2 desa), dan Banyuwangi Jawa Timur (6 desa).

Desbumi memiliki skema perlindungan dan meningkatkan kesejahteraan buruh migran dan keluarganya. Beberapa syarat yang harus dipenuhi sebuah desa peduli buruh migran, antara lain, memiliki Peraturan Desa tentang buruh migran, memiliki data buruh migran, sistem informasi buruh migran berbasis internet, informasi pengaduan dan penyelesaian, menyediakan paralegal, pelayanan dokumen calon buruh migran, program pemberdayaan masyarakat serta pelatihan remitansi.

Desbumi juga memiliki skema sistem rujukan jika ada warganya yang mengalami masalah di negeri tempat bekerja. Ada pula skema rehabilitasi bagi TKI yang tersangkut masalah. Keberadaan Desbumi menjadi pagar pelindung bagi warga desa dari percaloan dan sindikat perdagangan manusia.

Intinya, pemerintah akan terus hadir dalam upara perlindungan dan meningkatkan kesejahteraan buruh migran dan keluarganya.

Jakarta, 9 September 2016

*) M Hanif Dhakiri, Menteri Ketenagakerjaan RI

sumber: detik.com

TERBARU