Statement Migrant CARE untuk Hari Buruh Sedunia (May Day) 1 Mei 2016
Perlindungan Hak-Hak Buruh Migran Indonesia Adalah TanggungJawab Konstitusional Negara
Sudah dua tahun ini peringatan Hari Buruh Sedunia di Indonesia ditetapkan sebagai hari libur resmi oleh pemerintah Indonesia, sehingga seharusnya kaum buruh memiliki keleluasaan untuk memperingati May Day ini tanpa halangan siapapun. Namun dalam kenyataannya, masih ada pembatasan dan upaya menghalang-halangi dari berbagai pihak (terutama aparat keamanan dan elemen anti-buruh) terhadap kaum buruh untuk mengekspresikan aspirasinya di Hari Buruh Sedunia atas kondisi kerentanan dan ketertindasan yang dialami kaum buruh Indonesia baik di dalam maupun di luar negeri.
Pemerintah Indonesia, melalui statemen yang disampaikan oleh berbagai pejabatnya, juga cenderung menyempitkan pemaknaan Hari Buruh Sedunia hanya sekedar semeronial belaka. Padahal sejatinya, peringatan Hari Buruh Sedunia harus dimaknai sebagai pernyataan sikap politik kaum buruh atas situasi yang dihadapinya.
Pengakuan pemerintah Indonesia atas peringatan Hari Buruh Sedunia pada setiap tanggal 1 Mei (sejak tahun 2015) tidak otomatis disertai adanya pengakuan dan pemenuhan atas hak-hak buruh Indonesia baik didalam maupun di luar negeri. Sebaliknya, hingga saat ini, masih banyak diproduksi kebijakan-kebijakan yang anti buruh, misalnya soal pengupahan yang tidak adil, pembatasan aktivitas serikat buruh dan kriminalisasi atas daya upaya kaum buruh saat melakukan aksi melawan kebijakan yang anti-buruh.
Pemerintah Indonesia, walau telah meratifikasi Konvensi Internasional Tahun 1990 tentang Perlindungan Hak-Hak Buruh Migran dan Anggota Keluarganya sejak tahun 2012 juga tak kunjung merubah paradigma kebijakan tata kelola migrasi tenaga kerja yang eksploitatif. Hingga saat ini, pemerintah Indonesia masih terus memproduksi kebijakan-kebijakan tentang penempatan buruh migran Indonesia yang wataknya diskriminatif (terutama terhadap perempuan yang bekerja sebagai PRT migran), memberikan monopoli terhadap pihak swasta (yang abai pada hak-hak buruh migran dan terus mengeduk keuntungan semata) dan berisiko terjadinya kriminalisasi terhadap buruh migran (karena tidak memberi pengakuan eksistensi adanya migrasi kultural). Kultur birokrasi yang mengoperasikan tata kelola migrasi tenaga kerja yang korup juga memberi andil adanya migrasi berbiaya tinggi yang berpotensi atas terjadinya human trafficking.
Perangai buruk pengingkaran hak-hak buruh migran Indonesia ini juga terlihat atas keengganan Kementerian Ketenagakerjaan memaksimalkan peran-peran perlindungan dalam proses legislasi penggantian UU No. 39/2004 melalui RUU PPILN (Perlindungan Pekerja Indonesia di Luar Negeri). Alih-alih mengimplementasikan segala instrumen internasional yang telah diratifikasi pemerintah Indonesia yang berkaitan dengan perlindungan buruh migran, sikap Kemenaker masih sangat konservatif menyikapi RUU PPILN. Hal ini ditunjukkan dengan penolakan mereka untuk memasukkan seluruh prinsip non-diskriminasi dan seluruh hak-hak buruh migran yang tertera dalam Konvensi Buruh Migran (yang telah diratifikasi melalui UU No.6 Tahun 2012). Watak diskriminatif juga terlihat atas kenekadannya menerapkan Road Map Zero PRT Migran yang nyata-nyata bias gender, diskriminatif dan melanggar HAM dan konstitusi. Road Map ini memperlihatkan keengganan pemerintah Indonesia menjalankan tanggungjawab melindungi warga negeranya (terutama perempuan) yang bekerja ke luar negeri sebagai PRT migran.
Jika konservatisme pemerintah Indonesia mengenai inisiatif perlindungan terus berlangsung sementara tata kelola migrasi tenaga kerja tidak ada perubahan (business as usual) maka realitas ketertindasan dan kerentanan buruh migran Indonesia akan terus terjadi bahkan akan semakin mengerikan. Hingga saat ini masih ada ratusan buruh migran Indonesia yang terancam hukuman mati, ratusan ribu bekerja dalam situasi perbudakan (baik di sektor PRT, manufaktur, perkebunan dan kelautan) di berbagai negara dan kriminalisasi terus berlangsung. Kelengahan pemerintah yang selama ini abai terhadap buruh migran di sektor kelautan yang tanpa aturan yang signifikan, mengakibatkan banyak kasus menimba ABK tanpa penyelesaian tuntas. Kasus penyanderaan 10 ABK Indonesia oleh kelompok Abu Sayyaf di perbatasan Indonesia-Philipina yang hingga kini belum terselesaikan adalah satu contoh kegagapan dan gegalan pemerintah Indonesia menanganai kasus-kasus buruh migran di sektor kelautan.
Atas situasi tersebut, Migrant CARE di hari buruh sedunia 1 Mei 2016 ini menyatakan sikap:
- Menuntut pemerintah Indonesia untuk menghargai semua ekspresi kaum buruh Indonesia dalam memperingati Hari Buruh Sedunia 1 Mei 2016 yang damai tanpa ancaman kriminalisasi dan pembatasan kebebasan berekpresi.
- Menuntut pemerintah Indonesia untuk menghentikan kebijakan-kebijakan yang anti-buruh dan mendorong perwujudan kebijakan kerja dan upah layak
- Menuntut pemerintah Indonesia mengakhiri kebijakan tata kelola migrasi tenaga kerja yang eksploitatif, berorientasi bisnis dan berpotensi terjadinya human trafficking
- Menuntut pemerintah Indonesia dan DPR-RI menuntaskan pembahasan legislasi penggantian UU No. 39/2004 dengan UU Perlindungan Buruh Migran Indonesia yang benar-benar berorientasi pada perlindungan, memaksimalkan tanggungjawab konstitusional negara yang menjamin keselamatan warganya, mengakhiri era monopoli penempatan buruh migran oleh sektor swasta, mendesentralisasi tatakelola migrasi tenaga kerja sebagai bentuk pelayanan publik negara
Jakarta, 1 Mei 2016