Jakarta, Kompas – Komitmen pemerintah memperkuat perlindungan tenaga kerja Indonesia di mana pun berada kembali dipertanyakan. Draf Rancangan Undang-Undang Perlindungan Pekerja Indonesia di Luar Negeri versi pemerintah justru mengedepankan peranan swasta dalam perekrutan, penempatan, dan perlindungan tenaga kerja Indonesia.
Direktur Eksekutif Migrant Care Anis Hidayah, analis kebijakan Migrant Care Wahyu Susilo, serta aktivis Migrant Care mengungkapkan hal itu di Jakarta, Kamis (4/4). Migrant Care adalah organisasi nonpemerintah yang aktif membela hak buruh migran.
Anis menyesalkan hal itu. Ia menilai, draf versi pemerintah lebih buruk daripada draf Dewan Perwakilan Rakyat. ”Kalau pemerintah memang punya komitmen yang benar untuk melindungi buruh migran, kenapa harus mengedepankan peran swasta? Pakai saja Undang-Undang Nomor 6 Tahun 2012 tentang Ratifikasi Konvensi Internasional 1990 tentang Perlindungan Buruh Migran dan Keluarganya,” ujarnya.
DPR dan pemerintah sedang membahas RUU Perlindungan Pekerja Indonesia di Luar Negeri yang merupakan hak inisiatif DPR untuk menggantikan Undang-Undang Nomor 39 Tahun 2004 tentang Penempatan dan Perlindungan Tenaga Kerja Indonesia di Luar Negeri. Migrant Care mengapresiasi inisiatif DPR tersebut karena hampir 80 persen isi UU No 39/2004 mengatur tentang pelaksana penempatan tenaga kerja Indonesia swasta.
Sedikitnya 6,5 juta TKI bekerja di luar negeri. Malaysia dan Arab Saudi merupakan negara tujuan utama penempatan TKI. Sebagian besar TKI bekerja di sektor informal yang minim perlindungan dan rentan dieksploitasi. Mereka mengirimkan uang sedikitnya Rp 70 triliun per tahun langsung kepada keluarga, yang menggerakkan sektor riil di desa.
Menurut Anis, draf revisi UU No 39/2004 harus mencantumkan 35 hak TKI dan keluarga sesuai dengan konvensi, sanksi pidana untuk swasta dan aparat negara yang mengabaikan perlindungan TKI, serta desentralisasi pelayanan TKI gratis.
”Asuransi TKI juga harus menjadi trust fund (dana amanah) sehingga TKI tanpa masalah pun bisa mengklaim uang mereka kembali saat pulang ke Tanah Air,” ujar Anis.
Wahyu mengatakan, publik dapat melihat pemerintah belum serius membangun sistem penempatan dan perlindungan TKI yang komprehensif. Hal ini terlihat dari masih berjalannya praktik-praktik pungutan liar berkaitan dengan pelayanan bagi TKI.
”Paspor yang jelas-jelas Rp 255.000, khusus TKI bisa Rp 1,5 juta. Belum lagi biaya-biaya lain yang pada akhirnya dibebankan kepada TKI untuk dibayar dengan cara dipotong gaji 7 bulan sampai 16 bulan,” kata Wahyu.
Pemerintah harus serius memberantas praktik-praktik yang merugikan buruh migran, seperti kartu tanda kerja luar negeri (KTKLN), paspor, pelatihan, dan penempatan yang berujung pembengkakan biaya yang harus ditanggung TKI.
Aktivis hak buruh migran di Hongkong, Sring Atin, meminta pemerintah mengedepankan pembelaan dan perlindungan TKI. Sring mengeluhkan, banyak TKI yang gagal terbang akibat ditahan petugas di bandara yang menuntut harus ada KTKLN.
”KTKLN yang jelas-jelas ditolak malah semakin diperkuat dalam RUU. Padahal, KTKLN sangat merugikan TKI,” kata Sring. (ham)