Refleksi Kasus TPPO PT Sofia Sukses Sejati (2): Korban Terombang-Ambing Ketidakadilan!

lustrasi: Suasana Persidangan Kasus PT Sofia Sukses Sejati

Semarang (Rabu, 6/6/18) – Sidang agenda Putusan terhadap perkara Tindak Pidana Perdagangan Orang (TPPO) No. 49/Pid.Sus/2018/PN Semarang dengan terdakwa dari PT Sofia Sukses Sejati, Windi Hiqma Ardani, terpaksa ditunda hingga 25 Juni mendatang.

Sidang hanya berlangsung sekitar lima menit di Pengadilan Negeri (PN) Semarang. Hakim Anggota, Suparno, menjelaskan bahwa penundaan dilakukan karena Ketua Majelis Hakim, Pudjiastuti Handayani, sedang berada di Banda Aceh.

Windi sempat ditahan di Lembaga Pemasyarakatan (Lapas) Wanita, Bulu, Semarang. Namun saat ini ia hanya menjadi tahanan kota setelah permohonan perubahan status tahanan yang diajukan kuasa hukumnya dikabulkan.

Sedangkan Jaksa Penuntut Umum (JPU) menuntut terdakwa Windi Hiqma Ardani, secara sah dan meyakinkan bersalah sesuai dengan Pasal 4 Jo 48 Undang-Undang Nomor 21 Tahun 2007 tentang Pemberantasan Tindak Pidana Perdagangan Orang. Terdakwa dituntut dengan hukuman penjara selama 6 tahun dan denda 120.000.000.

Selain itu, JPU juga menuntut terdakwa untuk membayar restitusi dengan total 1.176.000.000 kepada keempat korban. Sayangnya JPU menuliskan dengan subsider dua bulan, artinya apabila restitusi tersebut tidak dipenuhi oleh terdakwa maka terdakwa dikenai pidana kurungan pengganti selama dua bulan.

Kejanggalan Proses Persidangan

Selama proses persidangan berlangsung, terutama saat agenda pemberian keterangan saksi, korban mengaku kerap merasa disudutkan dan diintimidasi oleh hakim. “Dalam pertanyaan dan pernyataan hakim kepada kami (korban), hakim menanyakan dengan pertanyaan yang menyudutkan dan dengan nada yang keras. Sehingga kami menangis terisak-isak karena trauma,” ungkap Tyas, salah satu korban PT SSS.

Hal ini memperlihatkan adanya ketimpangan dalam melaksanakan perlindungan terhadap korban perempuan. Hakim tidak memiliki perspektif kesetaraan gender dan tidak melaksanakan terobosan hukum yang ditetapkan oleh Mahkamah Agung yakni Perma Nomor 3 tahun 2017 tentang Pedoman Mengadili Perkara Perempuan Berhadapan Dengan Hukum.

Menurut Dino Ardiyana, Ketua Harian Gugus Tugas TPPO Kementerian Pemberdayaan Perempuan dan Perlindungan Anak (KPPPA) komitmen Aparat Penegak Hukum (APH) masih lemah dalam perkara TPPO. “Kementerian kami sudah melakukan pelatihan bersama dengan APH dan sudah ada satu komitmen. Namun karena pelatihannya terbatas, belum bisa menjangkau seluruh Indonesia terkait pemahaman TPPO kepada para APH,” ujarnya.

Kekecewaan harus ditelan korban, pasalnya bukan hanya jadwal sidang yang sering berubah-ubah, tetapi status terdakwa yang menjadi tahanan kota. Padahal demi mengikuti proses persidangan, tidak jarang mereka mendapat teguran dari perusahaan tempat mereka bekerja saat ini. Bahkan Tyas Weningsih Putri mengaku di PHK oleh salah satu perusahaan garmen di Kendal, karena dirinya sering izin bekerja guna memantau proses peradilan. Sedangkan Siti Lestari Sayekti mengundurkan diri dari tempat kerjanya karena tersinggung atas perlakuan bosnya yang menertawakannya ketika tahu bahwa dirinya sedang memantau kasusnya di PN Semarang.

Pada sisi yang lain, para korban adalah para perempuan muda yang seharusnya aktif, produktif dan mandiri dalam perekonomian. Mereka harus memutar otak untuk dapat bekerja dan bertahan hidup. Mencoba pantang menyerah, beberapa diantara korban tersebut ada yang memanfaatkan waktu luangnya untuk berjualan online, menjahit dan kursus tata rias.

Putusan yang akan dibacakan pada tanggal 25 Juni nanti harus memenuhi keadilan bagi korban. Para korban adalah perempuan-perempuan muda yang harus berperan membangun kemajuan bangsa dan negara. Mereka tak mungkin dapat berdiri tegak dan berperan aktif untuk kemajuan bangsa dan negara apabila pemerintah dan aparat penegak hukum tidak mempedulikannya.

Baca juga: Refleksi Kasus TPPO PT Sofia Sukses Sejati (1): Lulusan SMK Jadi Korban Perdagangan Manusia

TERBARU