Sekolah Menengah Kejuruan (SMK) adalah salah satu alternatif tempat belajar yang mencetak lulusan siap kerja. Namun malang, sebanyak 20 orang lulusan SMK menjadi korban perdagangan manusia oleh PT Sofia Sukses Sejati (PT SSS).
PT SSS disinyalir bekerjasama dengan SMK tempat para korban bersekolah. Mereka mengiming-iming korban akan mendapatkan bonus, intensif, uang lembur, kerja delapan jam, fasilitas kamar dan dapur apabila bekerja bersama mereka. Selain sekolah korban, PT SSS juga mendatangi banyak SMK lainnya dan menyampaikan success story bekerja di luar negeri. PT SSS banyak menyasar siswa-siswi SMK di Jawa Tengah dan Jawa Barat. Tanpa curiga, siswa-siswi SMK ini pun tertarik untuk bekerja di Malaysia semata-mata untuk dapat hidup berkecukupan dan memutus rantai kemiskinan di keluarga mereka.
Proses pemberangkatan pun dilalui oleh para korban, mulai dari mengurus paspor, medical check-up hingga membayar uang jaminan sebesar satu juta rupiah kepada PT SSS. Mereka menandatangani kontrak kerja yang menyebutkan nama PT Kiss Produce.
Pada kenyataannya, begitu tiba di Bandara KLIA Malaysia, para korban tidak ditempatkan di perusahaan yang tertera pada kontrak kerja melainkan di PT Maxim Birdnest. “Sontak saya kaget, kenapa saya ditempatkan di PT Maxim Birdnest padahal di Kontrak Kerja dan Permit Kerja tercantum bekerja di PT Kiss Produce”, ungkap salah satu korban.
Bekerja di PT Maxim Birdnest pun tak berjalan mulus seperti yang mereka duga. Korban mengalami penderitaan dan eksploitasi. Korban harus bekerja lebih dari delapan jam per hari dengan insentif hanya 50 sen, padahal dalam kontrak tertulis RM 1 (Ringgit Malaysia). Korban juga tidak diberi jaminan kesehatan. Sehingga ketika sakit, korban harus berobat dengan biaya mereka sendiri. Jika tidak berangkat kerja, dengan alasan apapun, maka mereka harus membayar denda RM 50. Kamar yang dijanjikan gratis juga harus mereka bayar sejumlah RM 50 per bulan.
Kondisi kamar yang sangat padat membuat para pekerja sulit beristirahat. “Saya sering tidak bisa tidur, karena satu kamar diisi 17 orang sehingga kondisi kamar selalu ramai. Kami juga pulangnya larut malam bahkan hingga pukul dua dini hari karena mengejar target. Jika tidak sesuai target, kami diancam akan dipotong gaji,” aku salah satu korban.
Para korban sempat menanyakan nasibnya kepada PT yang memberangkatkan mereka namun tidak diguris. “Saya sebenarnya sudah tanya ke staf PT Sofia. Kenapa kami malah kerja di PT Maxim padahal seharusnya bekerja di PT Kiss Produce? Kenapa kami bekerja lebih dari 8 jam? Namun pertanyaan-pertanyaan itu tidak ditindaklanjuti oleh PT Sofia,” ucap salah satu korban.
Korban berada dalam keadaaan yang sangat tersiksa, hingga kondisi psikologinya tertekan. “Waktu itu saya tidak kuat, saya hanya ingin pulang. Ingin pulang,” tutur korban dengan miris. Di tengah kondisi kerja yang demikian eksploitatif, korban mencari bantuan kepada Alex Ong, representatif Migrant CARE di Kuala Lumpur, Malaysia. “Saat itu kami mencari bantuan dan ada salah satu dari kami yang menyimpan nomer Pak Alex, kami pun menghubungi beliau untuk meminta bantuan. Awalnya, kami takut jika nanti kami diminta untuk membayar. Tapi syukurlah Pak Alex membantu dengan sukarela. Kami sempat bertemu lima kali secara diam-diam agar penjaga asrama tidak curiga”, ungkap korban.
Bekerja di luar negeri ternyata tak seperti yang mereka impikan dulu saat masih duduk di bangku SMK, seperti success story yang dituturkan PT SSS. Mereka hanya mengharapkan upah yang lebih tinggi agar dapat memutus rantai kemiskinan, hidup sejahtera dan berkecukupan. “Selama 8 bulan saya bekerja, saya hanya dapat mengirim uang empat juta rupiah ke keluarga karena banyak potongan gaji,” ungkap salah satu korban. Derita korban sudah naik seleher!
Detik-detik Penggerebekan
Pada tanggal 28 Maret 2017 pukul 11 siang waktu Malaysia, Polisi Diraja Malaysia dan Pihak Imigrasi Malaysia menggerebek Pabrik Maxim Birdnest. “Kalian hari ini bekerja? Kalian tau tak kalau hari ini cuti? Kita datang disini untuk penyelamatan!”, tutur korban yang coba menirukan kata-kata Polisi Diraja Malaysia dan Pihak Imigrasi Malaysia.
Setelah penggerebekan tersebut, Polisi Diraja Malaysia dan Pihak Imigrasi Malaysia tak serta merta memberikan penyelamatan. Korban dibawa ke Rumah Perlindungan, mengikuti sidang Mahkamah kemudian ditempatkan di Pusat Tahanan Imigrasi Malaysia yang kondisinya sangat tidak layak. “Saat kami di bawa ke Pusat Tahanan Imigrasi, barang-barang kami dibuang oleh petugas bahkan ada hape teman kami yang ikut terbuang. Kami hanya boleh membawa dua pasang pakaian dan dua pasang pakaian dalam”, ungkap korban.
Tak hanya itu, korban juga mengungkapkan bahwa satu sel terdiri dari 17 orang, WC didalam sel hanya ditutup setengah tembok tanpa pintu, tempat tidur yang minim sehingga korban harus tidur bersama dengan kaki terlipat, tidak adanya jaminan kesehatan sehingga korban banyak yang sakit sampai sakitnya sembuh sendiri dan makanan yang diberikan hampir busuk dan tidak diberi air putih. “Saat ditahan, kami juga tidak diberi air putih. Saya sendiri sampai tidak bisa bicara karena tenggorokan saya sakit akibat saya sering minum air kran berkaporit”.
Pada tanggal 24 Mei 2017 hingga 26 Mei 2017, PT Sofia memulangkan secara bertahap 153 korban yang ditempatkan bekerja di PT Maxim Birdnest. Pihak Imigrasi mengantar korban sampai ke Bandara Internasional KLIA dengan keadaan tangan masih diborgol, sedangkan korban membawa koper dan tas besar. Di saat check in, borgol korban dilepas.
Lalu, siapakah yang sebenarnya bersalah hingga pekerja migran harus ditahan dengan kondisi sel yang tidak layak dan tidak memanusiakan manusia? Bahkan hak migrasi korban pun dihilangkan. Mereka di blacklist oleh Imigrasi Malaysia, yang berarti korban tidak diperbolehkan masuk ke Malaysia selama 5 tahun. Padahal mereka hanya ingin bekerja, mencari uang untuk kehidupan bahkan untuk masa depan mereka. Mereka yang terjebak menjadi korban perdagangan manusia pun sebelumnya menyampaikan mengapa tempat kerja berbeda dengan yang di kontrak kerja dan permit kerja, tapi hal itu tidak ditanggapi oleh PT Sofia.
Saat ini kasus perdagangan manusia tersebut sedang diproses melalui jalur hukum di Pengadilan Negeri Semarang. Direktur PT Sofia Sukses Sejati, yakni Windi Hiqma Ardni didakwa melakukan Tindak Pidana Perdagangan Orang. Selama proses hukum sedang berlangsung, korban juga masih mengalami trauma atas kejadian yang dialaminya saat di Malaysia. Kepiluan mereka harus ditambah saat Hakim yang mengadili kasus tersebut juga tidak pro terhadap korban karena hakim tidak mempertimbangkan aspek psikologi/trauma yang dialami korban. Korban yang sedang trauma sangat sensitif sehingga korban menangis ketika Hakim meminta keterangan korban dengan nada keras dan kalimat yang menyudutkan korban. Situasi semakin memilukan, ketika adanya indikasi intervensi atas hubungan kekerabatan antara terdakwa pemilik PT Sofia dengan dengan oknum Pegawai Negeri Sipil di salah satu Kementerian.
Korban sangatlah membutuhkan pemulihan psikologi. “Kalau keinget di penjara kadang suka pengen nangis. Saya masih kepikiran itu, kadang pengen marah sendiri, pengen nangis sendiri, rasanya depresi banget, ketambahan kasus gak selesai-selesai. Saya susah tidur apalagi kalau ada sidang, malamnya gak bisa tidur, stress sendiri”, tutur korban yang masih trauma dan tersiksa secara psikis.
Sudah terlalu banyak kita membaca dan mendengar lagi dan lagi pekeja migran menjadi korban perdagangan manusia, diekploitasi hingga tidak diberi gaji dan asuransi kesehatan, pun sampai kehilangan nyawanya di negeri orang lain.
Kasus ini harusnya menjadi evaluasi bagi berbagai pihak, terutama pemerintah. Pemerintah seharusnya tidak abai terhadap permasalahan yang menimpa pekerja migran, serta menidak tegas tanpa membeda-bedakan kasus atas pertimbangan kekerabatan. Pemerintah harus serius melindungi hak-hak pekerja migran. Mereka manusia, warga negara Indonesia yang berhak mendapatkan perlindungan penuh tanpa diskriminasi!