Bitung, 30 Juli 2024
Setiap tanggal 30 Juli, diperingati sebagai Hari Anti Perdagangan Orang Sedunia. Bertepatan dengan Festival Hak Asasi Manusia 2024 yang bertempat di Bitung, Sulawesi Utara, kami Organisasi Masyarakat Sipil bersama seluruh masyarakat sipil menyatakan sikap di tengah minimnya keseriusan pemerintah dalam upaya penghapusan perdagangan orang yang terus meningkat. Pada 24 Juni 2024 lalu, laporan tahunan Trafficking in Person Report yang diterbitkan oleh Department of State Amerika menyatakan Indonesia masih terperangkap pada level Tier 2. Pada laporan itu juga disebutkan bahwa di Indonesia terjadi masifnya kasus perdagangan orang khususnya online scamming dan kasus perikanan yang terus berlangsung lama dan meluas. Bahkan pada tahun 2022, Indonesia terperosok di Tier 2 Watchlist karena eskalasi kasus perdagangan orang di masa pandemi COVID-19.
Instrumen-instrumen hukum nasional maupun internasional yang telah diadopsi Indonesia tidak diterapkan secara efektif dan memadai. Kegagalan mengatasi kasus perdagangan orang berjalan di tiap lini. Dalam beberapa kasus perdagangan orang di tingkat peradilan, aparat penegak hukum gagal memberikan akses keadilan pada korban dalam dalam putusannya. Ratusan kasus perdagangan orang yang telah ditangani Kepolisian hingga saat ini belum di proses di tingkat Pengadilan. Putusan pengadilan yang mewajibkan adanya restitusi bagi korban masih banyak yang tidak dilaksanakan. Restitusi bagi korban juga minim diaplikasikan dalam penegakan kasus. Sejak bulan Agustus 2023 lalu, terjadi perombakan struktur Gugus Tugas Tindak Pidana Perdagangan Orang dengan Kepolisian sebagai Ketua Hariannya. Pada prosesnya, perombakan tersebut menyisakan banyak tugas yang belum dikerjakan seperti, penataan tanggung jawab lintas kementerian, koordinasi dengan pemerintah daerah, serta minimnya pelaksanaan Rencana Aksi Nasional TPPO hingga Rencana Aksi Daerah masing-masing. TPPO seperti hanya dianggap sebagai isu musiman dan upaya penghapusannya hanya dilakukan secara populis dan serampangan. Meski Kepolisian menjadi Ketua Harian Gugus Tugas TPPO, tidak menjamin adanya proses penegakan hukum yang efektif.
Kami juga memperhatikan beberapa kausalitas mengapa persoalan TPPO masih tinggi dan terjadi perluasan di Indonesia. Beberapa hal yang berhasil kami identifikasi antara lain; pertama, pandemi COVID-19 berkontribusi tinggi sebagai pemantik fenomena lapar kerja akibat PHK besar-besaran; kedua, kondisi kerja layak di Indonesia yang masih jauh dari memadai; ketiga, kegagalan negara dalam mengelola surplus bonus demografi dan usia produktif sehingga membuat kondisi orang muda menjadi kian rentan; keempat, hak atas mobilitas manusia untuk bekerja tidak didukung dengan agenda perlindungan HAM nya.
Pada masa pasca pandemi, terjadi perluasan wajah korban perdagangan orang. Jika sebelumnya korban perdagangan orang selalu dilihat sebagai masyarakat pinggiran, miskin dan rentan, berpendidikan rendah dan tidak punya akses pada pengetahuan. Namun, sekarang ini terjadi perluasan demografi korban perdagangan orang. Mereka adalah, orang muda, kelas menengah, masyarakat perkotaan, melek teknologi, dan berpendidikan bahkan di tingkat pendidikan tinggi. Perluasan demografi korban perdagangan orang ini saling berkaitan dengan abainya pemerintah pada pemenuhan hak hidup, kerja layak dan ketidakseriusan pemerintah pada agenda penghapusan perdagangan orang.
Pada 10 Juli 2024 lalu, Eks Bupati Langkat divonis bebas oleh Pengadilan Negeri Stabat dan dinyatakan tidak bersalah dalam kasus kerangkeng manusia yang ada di rumahnya. Secara kasat mata, kasus ini dapat dilihat sebagai sebuah kekejaman terhadap hak hidup manusia sekaligus perdagangan orang. Kasus Eks Bupati Langkat berupa eksploitasi para pekerja perkebunan memperlihatkan bahwa adanya impunitas (kejahatan tanpa penghukuman) pada pelaku kejahatan TPPO terus berlangsung dan makin menjauhkan korban dari akses keadilan. Preseden ini harus dimaknai sebagai kemunduran besar bagi upaya penegakan hukum tindak pidana perdagangan orang yang selama ini didesakkan oleh masyarakat sipil. Ini juga memperlihatkan pejabat publik yang terlibat dalam kasus perdagangan orang adalah penikmat utama impunitas. Ada lima permasalahan yang harus segera ditindaklanjuti, antara lain, lemahnya penegakan hukum dan pengawasan di laut. Hal ini dapat terlihat dari kasus-kasus pekerja perikanan yang melaut tanpa memiliki dokumen lengkap seperti Buku Pelaut, Basic Safety Training (BST) dan Perjanjian Kerja Laut (PKL) atau dimanipulasinya dokumen-dokumen yang menjadi syarat untuk bekerja di kapal-kapal perikanan baik migran maupun domestik, sehingga membuat mereka semakin rawan dieksploitasi dan menjadi korban TPPO. Hal ini terjadi dalam kasus PT. Klasik Jaya Samudera dengan korban awak kapal perikanan Migran yang sebagian berasal dari Bitung.
Adanya dualisme perizinan dalam pembuatan Surat Izin Usaha Perekrutan dan Penempatan Awak Kapal Perikanan semakin menjadi penghambat pemberantasan TPPO di sektor perikanan. Penerbitan peraturan pelaksana dari Peraturan Pemerintah Nomor 22 Tahun 2022 tentang Penempatan dan Perlindungan Awak Kapal Niaga Migran dan Awak Kapal Perikanan Migran yang belum dilakukan, kekosongan peraturan
ini berpotensi menjadi celah terjadinya TPPO bagi pekerja perikanan Migran karena kurangnya perlindungan hukum.
Harus ada upaya ganti kerugian terhadap pelaku IUU (illegal, unreported, unregulated) Fishing yang mencakup aktor-aktor penting yang terlibat, tidak hanya pelaku lapangannya saja seperti yang sering terjadi dalam penanganan kasusnya. Hal ini menjadi penting, karena kasus-kasus TPPO yang sering berkaitan dengan IUU Fishing semakin sulit diberantas jika hanya pelaku lapangannya saja yang diberikan sanksi tanpa menyentuh aktor-aktor penting lainnya. Yang tidak boleh diabaikan adalah masih berlangsungnya praktek pekerja anak di sektor perikanan termasuk menjadi korban TPPO.
Hingga saat ini, pemerintah masih belum menunjukkan keseriusan dalam upaya pencegahan dan pemberantasan tindak pidana perdagangan orang. Korupsi dan keterlibatan pejabat dalam kejahatan perdagangan orang terus menghambat upaya penanggulangan, terutama di sektor pekerja rumah tangga, kelapa sawit, perikanan, dan industri ekstraktif. Kejahatan perdagangan orang juga masih terus berlangsung melalui praktek eksploitasi seksual (termasuk eksploitasi seksual anak). Pemerintah juga sangat terbatas dalam melakukan pengembangan dan penerapan standar operasional prosedur (SOP) nasional untuk identifikasi korban perdagangan di semua sektor, yang menyebabkan kurangnya identifikasi proaktif terutama terhadap laki-laki dan anak laki-laki. Korban di pusat perlindungan juga seringkali mengalami pembatasan kebebasan bergerak dan hak bekerja, yang menyebabkan banyak dari mereka meninggalkan pusat perlindungan dan tidak berpartisipasi dalam kasus terhadap pelaku perdagangan orang.
Atas realitas tersebut, kami mendesak keseriusan pemerintah dalam upaya pemberantasan perdagangan orang mulai dari pembenahan kinerja Gugus Tugas TPPO, keseriusan aparat penegak hukum, Kementerian dan Lembaga baik di tingkat pusat dan di daerah, serta mengakhiri praktek impunitas yang selama ini dinikmati oleh para pelaku tindak pidana perdagangan orang yang dekat dengan kekuasaan.
Organisasi Masyarakat Sipil
- Migrant CARE
- Emancipate Indonesia
- INFID
- Destructive Fishing Watch (DFW) Indonesia
- SAKTI Sulawesi Utara