Seruan Hari Perempuan Sedunia 8 Maret 2020 ini adalah “Im Generation Equality: Realizing Women’s Rights”. Seruan ini menegaskan bahwa salah satu tantangan terbesar untuk penegakan hak perempuan (termasuk didalamnya pekerja migran perempuan) adalah realitas ketimpangan yang sekarang ini membentuk wajah dunia. Berbagai studi tentang ketimpangan dan kemiskinan selalu memperlihatkan wajah perempuan sebagai korban utama dalam situasi ketidakadilan.
Realitas feminisasi kemiskinan yang berlanjut pada feminisasi migrasi pekerja juga menunjukkan korelasi pada realitas ketimpangan dan meningkatkan kondisi migrasi tenaga kerja yang tidak layak (forced migration). Migrasi tenaga kerja sendiri telah memperlihatkan realitas ketimpangan pengupahan, kesempatan kerja yang tidak adil bagi laki-laki dan perempuan serta ketimpangan negara miskin dan negara kaya. Situasi ini melahirkan sikap diskriminatif dan xenophobia dengan ditopang konstruksi masyarakat yang patriarkis.
Keterkaitan antara persoalan ketimpangan dan migrasi tenaga kerja dapat dilihat dalam Tujuan (Goal) Ke Sepuluh Tujuan Pembangunan Berkelanjutan (SDGs) Mengurangi Ketimpangan Baik di Dalam Negara Maupun Antar Negara. Ada 2 target spesifik terkait migrasi tenaga kerja yaitu target 10.7 tentang tata kelola migrasi yang aman dan 10.c tentang penurunan biaya remitansi hingga 3%. Sayang sekali dalam Peta Jalan Pencapaian SDGs yang disusun Pemerintah Indonesia dua perkara ketimpangan terkait migrasi tenaga kerja ini tidak masuk dalam prioritas pencapaian Goal 10, padahal jumlah pekerja migran Indonesia sudah mencapai 9 juta orang (Data Bank Dunia, 2019).
Kerentanan-kerentanan yang dihadapi oleh pekerja migran Indonesia (yang mayoritas perempuan) akan terus terjadi jika tidak ada keseriusan dari Pemerintah Indonesia untuk mengintegrasikan upaya penurunan ketimpangan dengan tata kelola perlindungan pekerja migran. Ketidakseriusan Pemerintah Indonesia ini ditunjukkan dengan kelambanan mengimplementasikan amanat Undang-Undang No. 18 tahun 2017 tentang Pelindungan Pekerja Migran Indonesia. Hingga saat ini belum ada aturan turunan yang signifikan diterbitkan untuk memperbarui tata kelola penempatan dan perlindungan pekerja migran Indonesia yang inklusif, transformatif, adil gender dan melibatkan peran serta aktif pemerintah lokal hingga desa.
Di sepanjang tahun 2019, Migrant CARE mengidentifikasi ragam kerentanan pekerja migran Indonesia. Wajah mayoritas pekerja migran Indonesia adalah perempuan (68%). Kasus-kasus yang terjadi mayoritas dialami pekerja migran perempuan (80%). Kasus terbesar adalah terperangkap dalam praktek perdagangan orang (21%) disusul permasalahan kontrak kerja (18%) dan penipuan (17%). Kasus-kasus lain yang signifikan adalah terjebak dalam skema migrasi non-prosedural (13%), mengalami kekerasan fisik (12%) dan kekerasan seksual (9%). Migrant CARE juga mencatat adanya kerentanan baru yang dihadapi pekerja migran perempuan, yaitu terjebak dalam aksi ekstremisme kekerasan (3%) dan terdampak situasi konflik di negara bekerja (1%). Angka-angka tersebut hanya merupakan fenomena gunung es, situasi yang sebenarnya dipastikan lebih banyak.
Di awal tahun 2020, Migrant CARE juga mengidentifikasi kerentanan baru pekerja migran Indonesia yaitu terpapar wabah penyakit menular (virus Corona) dan stigma yang melekat padanya. Situasi kerentanan tersebut belum direspons secara signifikan oleh Pemerintah Indonesia. Disisi yang lain, muncul ancaman penggerusan hak perempuan pekerja migran yang datang dari eksekutif dan legislatif. Keluarnya dua rancangan legislasi Omnibus Law Cipta Kerja dan RUU Ketahanan Keluarga akan menimbulkan mara bahaya bagi pekerja migran perempuan Indonesia.
Atas situasi seperti itu, Migrant CARE mendesak Pemerintah Indonesia untuk secara serius mengakhiri ketimpangan yang berdampak pada kerentanan pekerja migran perempuan Indonesia dengan segera menerbitkan aturan turunan UU No. 18/2017 yang signifikan dan tata kelola baru yang memberikan perlindungan bagi pekerja migran, membatalkan seluruh kebijakan yang menyuburkan proses ketimpangan dan penindasan perempuan serta menarik semua usulan legislasi yang bertentangan dengan pemenuhan hak-hak pekerja, hak perempuan dan hak asasi manusia.
Jakarta, 8 Maret 2020
Wahyu Susilo
Direktur Eksekutif Migrant CARE