14 November 2024 05:45
Search
Close this search box.

Lewat Tenggat Komitmen Perlindungan, Pemerintah Indonesia Bertanggung jawab atas Kerentanan Pekerja Migran Indonesia

Konferensi Pers - Peringatan Hari Migran Sedunia 2019 di Surabaya

Undang-Undang No. 18 Tahun 2017 tentang Pelindungan Pekerja Migran Indonesia dalam Pasal 90 tentang Aturan Peralihan Undang-Undang menyebutkan bahwa aturan-aturan turunan harus diterbitkan untuk menggantikan aturan lama yang telah usang dalam jangka waktu paling lambat 2 tahun setelah tanggal pengesahan. Selain itu, seluruh aturan turunan harus memperhatikan aspek-aspek perlindungan perempuan dan anti perdagangan manusia. Akan tetapi, dua tahun berlalu hingga hari ini, aturan yang signifikan belum diterbitkan. Karena melewati tenggat komitmen perlindungan sebagaimana yang diamanatkan UU No. 18 Tahun 2017, Pemerintah Indonesia menjadi penanggungjawab utama atas keberlanjutan kerentanan yang dihadapi oleh pekerja migran Indonesia.

Pemerintah Indonesia seharusnya sudah menerbitkan 2 Peraturan Presiden, 11 Peraturan Pemerintah, 12 Peraturan Menteri, dan 3 Peraturan Kepala Badan. Dari 28 aturan turunan tersebut, baru 3 Peraturan Menteri yang dibuat untuk menjalankan amanat perlindungan UU ini. Peraturan Menteri Ketenagakerjaan (Permenaker) No. 18 Tahun 2018 tentang Jaminan Sosial Pekerja Migran Indonesia mengatur tentang asuransi dan jaminan sosial pekerja migran Indonesia melalui BPJS Ketenagakerjaan. Namun, aturan ini masih sangat terbatas cakupannya sehingga perlu didorong dengan aturan yang lebih komprehensif. Sementara itu, Permenaker No. 9 dan Permenaker No. 10 Tahun 2019 tetap mengedepankan peran sektor swasta dalam tata kelola migrasi tenaga kerja. Oleh karena itu, dua aturan turunan tersebut mereduksi dan memperlemah spirit perlindungan yang terkandung dalam UU No. 18 Tahun 2017.  Adapun secara hierarkis, Permenaker ini juga melampaui kewenangan tata kelola yang seharusnya diatur dalam peraturan yang lebih tinggi, yaitu Peraturan Pemerintah.

Amanat UU No. 18 Tahun 2017 tidak hanya dapat dijalankan melalui penerbitan aturan turunan. Seharusnya, pemerintah Indonesia juga menyiapkan transformasi tata kelola migrasi tenaga kerja yang sebelumnya bersifat sentralistik menjadi desentralisasi. Transformasi tersebut dapat dipelajari oleh Pemerintah pusat melalui inisiatif-inisiatif lokal yang telah diterapkan di daerah-daerah basis pekerja migran. Selain Pemerintah Pusat, transformasi ini juga membutuhkan kesiapan dari pemerintah daerah, mulai dari provinsi, kabupaten/kota, hingga tingkat desa. Namun demikian, langkah signifikan dalam proses transformasi belum ada juga hingga saat ini.

Adapun permasalahan yang terjadi di daerah dapat dicontohkan dengan langkah pendirian Layanan Terpadu Satu Atap (LTSA) di beberapa daerah kantong pekerja migran. Pendirian LTSA belum diikuti dengan pemaksimalan fungsi-fungsi layanan publik untuk mendukung keberlangsungan mekanisme pelayanan penempatan pekerja migran berbasis perlindungan di daerah. UU ini juga mengamanatkan bahwa pendidikan dan pelatihan akan lebih banyak dilakukan di daerah. Namun, pemerintah hingga saat ini masih lebih mengutamakan Balai Latihan Kerja Luar Negeri (BKLKN) milik swasta untuk memproses persiapan calon pekerja migran.

Pemerintah Indonesia juga tidak mengadakan pengelolaan masa transisi sehingga terjadi kekosongan aturan yang dimanfaatkan secara maksimal oleh pelaku-pelaku perdagangan manusia yang membonceng skema penempatan pekerja migran. Pengelolaan masa transisi sebenarnya merupakan tahapan yang penting untuk mengevaluasi kelemahan-kelemahan tata kelola migrasi masa lalu serta merumuskan peta jalan perlindungan pekerja migran ke depannya.

Pemerintah Indonesia juga memiliki kontribusi atas maraknya kasus perdagangan manusia, yakni memproduksi kebijakan yang salah arah terkait penempatan pekerja migran ke Timur Tengah. Kebijakan moratorium tanpa pengawasan memicu tingginya pasar gelap perekrutan pekerja migran ke Timur Tengah. Situasi semakin sengkarut ketika Kementerian Ketenagakerjaan RI melakukan uji coba penempatan pekerja migran ke Saudi Arabia melalui skema penempatan satu kanal. Korban utama dari situasi yang silang sengkarut tersebut adalah perempuan pekerja migran.

Kasus pelanggaran hak asasi pekerja migran Indonesia sepanjang tahun 2019 masih terjadi. Kematian Tamam (31 Oktober 2019) dan Ngatiyai (11 November 2019) dalam antrean pengurusan paspor di KBRI Kuala Lumpur adalah ironi tatkala Kementerian Luar Negeri selalu mengedepankan perlindungan WNI sebagai prioritas politik luar negeri. Ratusan ribu pekerja migran Indonesia di Malaysia masih berada dalam ancaman deportasi. Pemerintah pusat dan daerah juga tidak mengambil tindakan signifikan ketika ratusan mayat pekerja migran dipulangkan ke kampung halamannya, Nusa Tenggara Timur.

Pekerja migran juga menghadapi kerentanan baru terkait dengan kebijakan keamanan di negara tujuan. Yuli Riswati, perempuan pekerja migran yang juga menjadi citizen journalist Surat Kabar Migran Pos, dideportasi bukan hanya karena status keimigrasiannya, melainkan juga aktivitasnya ketika mewartakan situasi demonstrasi anti RUU Ekstradisi di Hong Kong. Sementara di Singapura, tiga perempuan pekerja migran Indonesia harus menghadapi pengadilan atas dugaan pendanaan aktivitas terorisme.

Pada awal Desember 2019, Pengadilan Negeri Tangerang menjatuhkan putusan penjara 11 tahun pada pelaku perdagangan manusia terhadap EH yang dipekerjakan di Suriah dan Irak, dua negara yang hingga kini didera konflik berkepanjangan. Putusan tersebut tentu harus diapresiasi. Akan tetapi, pembacaan alur kasus ini memperlihatkan bahwa tidak hanya pihak sindikat perdagangan manusia yang terlibat, tetapi juga pihak perwakilan RI. Migrant CARE meyakini, apa yang dialami EH juga kemungkinan masih dialami oleh ratusan, bahkan ribuan perempuan Indonesia yang terjebak iming-iming bekerja ke Timur Tengah dengan upah tinggi.

Tantangan lain yang menghadang implementasi komitmen perlindungan pekerja migran adalah rencana legislasi Omnibus Law bidang Ketenagakerjaan. Legislasi ini ingin menyederhanakan seluruh UU yang terkait ketenagakerjaan dalam satu payung Omnibus Law Ketenagakerjaan/Cipta Lapangan Kerja. Jika UU No. 18 Tahun 2017 termasuk objek likuidasi UU untuk disatukan dalam Omnibus Law Ketenagakerjaan, maka komitmen perlindungan pekerja migran dalam UU No. 18 Tahun 2017 hanya berumur pendek di atas kertas tanpa pernah terlaksana di lapangan.

Atas dasar hal tersebut di atas, Migrant CARE dalam Peringatan Hari Buruh Migran Sedunia menuntut kepada Pemerintah Indonesia untuk:

  1. Segera menuntaskan seluruh aturan turunan dan kelembagaan tata kelola perlindungan pekerja migran sesuai UU No. 18 Tahun 2017,
  2. Segera menyusun peta jalan perlindungan pekerja migran Indonesia yang berorientasi pelayanan publik, berwatak desentralisasi, dan bersperspektif keadilan serta kesetaraan gender,
  3. Menolak likuidasi UU No. 18 Tahun 2017 ke dalam rencana Omnibus Lawbidang Ketenagakerjaan.

Surabaya, 17 Desember 2019

Narahubung:

Wahyu Susilo, Direktur Eksekutif Migrant CARE
Anis Hidayah, Ketua Pusat Studi dan Kajian Migrasi – Migrant CARE

TERBARU