Merayakan Hak Asasi Manusia, Mendesak Perlindungan dan Penghormatan Hak Buruh Migran

Dalam Festival Kota HAM 2019 yang diinisiasi INFID, Komnas HAM, dan Pemerintah Kabupaten Jember, Migrant CARE menggelar seminar publik bertemakan “Upaya Penghormatan dan Perlindungan dan Pemenuhan Hak Pekerja Migran”. Sesuai dengan tema yang diusung Festival Kota HAM, diskusi berkisar soal semangat menaikkan derajat dan martabat pekerja migran untuk setara dengan jenis pekerjaan lain di Indonesia.

Direktur Eksekutif Migrant CARE memberikan pidato kunci sekaligus membuka seminar dengan mengaitkan isu-isu krusial ketenagakerjaan khususnya Pekerja Migran Indonesia. Dari kekerasan berbasis gender, hukuman mati, ekstremisme kekerasan (violence extremism), sampai pekerjaan masa depan di hadapan industri 4.0 dan belum rampungnya aturan turunan Undang-Undang No. 18 Tahun 2017 tentang Pelindungan Pekerja Migran Indonesia (UU PPMI). Wahyu kemudian menuturkan kekecewaannya, “Industri 4.0 harusnya menjadi jawaban atas kerumitan tata cara perlindungan pekerja migran. Saya teringat tentang seorang pekerja migran Indonesia yang baru meninggal sebulan lalu saat antre berjam-jam untuk perbarui paspor di Malaysia. Padahal, kita sudah masuk di era serba digital”. Wahyu Susilo juga menagih aturan turunan yang belum juga selesai.

Narasumber pertama, Dr. Maptuha, Kepala Seksi Perlindungan TKI Masa Penempatan, Direktorat Penempatan dan Perlindungan Tenaga Kerja Luar Negeri, Kementerian Ketenagakerjaan RI. Meski Dr. Maptuha sepakat bahwa keberadaan UU PPMI menjadi proyeksi tata kelola perlindungan pekerja migran yang baik, namun ia juga mengamini bahwa proses penyusunan aturan turunan UU PPMI yang memang belum rampung, padahal tenggat waktu pembahasannya tinggal dua hari lagi.

Selain menyampaikan aspek-aspek terkait regulasi, Dr. Maptuha juga menambahkan tentang upaya pemerintah terkait perlindungan pekerja migran yang dilakukan melalui atase ketenagakerjaan di luar negeri, “Atase Ketenagakerjaan sudah ada di 13 negara untuk dapat menangani persoalan Pekerja Migran Indonesia di luar negeri, meski sekarang tinggal 12 negara karena Suriah sedang dalam situasi konflik.” 

Dr. Maptuha mewakili Kementerian Ketenagakerjaan RI bicara tentang upaya perlindungan pekerja migran Indonesia
Dr. Maptuha mewakili Kementerian Ketenagakerjaan RI bicara tentang upaya perlindungan pekerja migran Indonesia

Narasumber kedua, Jumiatun, kader penggerak Desa Peduli Buruh Migran (DESBUMI) sekaligus Petugas Desa Migran Produktif (DESMIGRATIF) Dukuhdempok. Sebelumnya, DESBUMI merupakan praktik baik dari inisiatif Migrant CARE untuk bisa memberikan perlindungan nyata untuk pekerja migran sejak dari desa dalam kerangka kolaborasi multi-pihak. DESBUMI juga kemudian memberikan pengaruh besar dari pengembangan program DESMIGRATIF yang diinisiasi Kementerian Ketenagakerjaan RI. Jumiatun menegaskan tentang pentingnya penguatan kesadaran tentang pemenuhan hak pekerja migran sejak dari desa. Tak hanya untuk pemerintah desa, tetapi juga untuk calon pekerja migran. Sebab desa adalah hulu dari perlindungan sebagai unsur pemerintahan terkecil.

Jumiatun juga menceritakan pembelajaran DESBUMI dan DESMIGRATIF. Ia merefleksikan usaha perwujudan pemenuhan HAM baginya adalah terus aktif mendorong kerja-kerja baik bersama pemerintah desa. “Masih banyak calon pekerja migran yang belum mengerti betul apa yang sebenarnya harus ia ketahui sebagai pekerja migran,” ujar Jumiatun. Ia juga berharap sosialisasi UU PPMI No.18 tahun 2017 dapat terus didorong. Termasuk juga kualitas balai latihan kerja yang perlu terus didorong agar mumpuni dalam memberikan pelatihan yang lebih substantif tentang tantangan bekerja di luar negeri.

Seminar berlangsung di Aula Kantor Bupati Jember, Jawa Timur

Diskusi ditutup oleh moderator Safina Maulida, Program Officer SDGs Migrant CARE, “Perlindungan dan penghormatan pekerja migran Indonesia yang selaras dengan HAM harus dipenuhi negara, yang bisa dimulai dengan tindak mendistribusikan jaminan ketenagakerjaan dan kesehatan bagi seluruh sipil, tak hanya untuk pekerja migran yang ingin berangkat. Selanjutnya harus ada pengakuan dan kesadaran bahwa kebijakan publik hari ini belum bisa memberikan –tak hanya post-perlindungan– tetapi juga perspektif migrasi aman. Tak kalah penting juga harus muncul representasi perempuan dalam usaha perlindungan PMI. Sebab berangkat dengan prinsip SDGs Left No One Behind, adalah rumus yang tepat untuk melawan kekerasan berbasis gender dalam persoalan kerja bermigrasi.

Narahubung:
Wahyu Susilo (0812 9307 964)

TERBARU