Kebijakan Migrasi Tenaga Kerja Di Indonesia Nir HAM

Siaran Pers Migrant CARE

Memperingati Hari Perempuan Internasional

Kebijakan Migrasi Tenaga Kerja Di Indonesia Nir HAM Berdampak Sistemik Pada Pelanggaran Hak Asasi Manusia Bagi Buruh Migran Indonesia, terutama Perempuan

Setiap tanggal 8 Maret diperingati sebagai Hari Perempuan Internasional. Peringatan ini senantiasa ditandai dengan refleksi gerakan perempuan dalam melawan ketidakdilan dan diskriminasi. Peringatan tahun 2016 ini, UN Women mengangkat tema “Step it Up for Gender Equality in to 2030 agenda”.

Di Indonesia, secara statistik, beberapa indikator kesetaraan gender memang terus menunjukkan upaya pemenuhan yang lebih baik, namun realitas ketimpangan di banyak sektor masih terus terjadi. Dalam sektor ketenagakerjaan, khususnya migrasi tenaga kerja ke luar negeri, eksploitasi terhadap buruh migran perempuan, terutama PRT migran masih berlangsung, bahkan secara sistemik.

Merunut sejarah panjang migrasi tenaga kerja Indonesia ke luar negeri, situasi kerja tidak layak yang dialami PRT migran di luar negeri yang menyerupai perbudakan dilatari oleh kebijakan yang stigmatif, diskriminatif, eksploitatif dan mengkriminalisasi. Kajian Migrant CARE dan beberapa organisasi masyarakat sipil yang dilaunching hari ini memperlihatkan bahwa ada kesenjangan yang tajam antara subtansi yang terkandung dalam konvensi buruh migran dengan kebijakan migrasi tenaga kerja di Indonesia.

Beberapa kebijakan yang di kaji adalah:

  1. MoU antara Indonesia dan negara penerima, 9 MoU: MoU Indonesia dengan Malaysia (2003), MoU Indonesia dengan Malaysia (2006), MoU Indonesia dengan Jepang, MoU Indonesia dengan Arab Saudi, MoU Indonesia dengan Taiwan, MoU Indonesia dengan Qatar, MoU Indonesia dengan Korea Selatan, MoU Indonesia dengan Lebanon, MoU Indonesia dengan Syria dan MoU Indonesia dengan UEA
  2. UU No 39/2004 tentang Penempatan dan Perlindungan Tenaga Kerja Indonesia ke Luar Negeri
  3. Keputusan Presiden No 8/2012 tentang satgas penanganan WNI yang terancam hukuman mati dan Perpres No 45/2013 tentang koordinasi pemulangan TKI
  4. Keputusan menteri tenaga kerja no 98/2012 tentang komponen biaya penempatan ke Hongkong dan Taiwan, Kepmen no 1/2015 tentang jabatan pekerjaan domestik di luar negeri, Kepmen no 16/2012 tentang tata cara kepulangan TKI secara mandiri, Kepmen no 29/2013 tentang penyelenggaraan pelayanan kesehatan bagi calon TKI dan Kepmen no 17/2015 tentang penghentian pengiriman PRT ke Timur Tengah
  5. Peraturan daerah No 20 tahun 2015 tentang Perlindungan TKI di Lembata NTT
  6. Peraturan Desa No 5/2015 tentang perlindungan TKI di Desa Sumbersalak Jember, Peraturan Desa No 7/2015 tentang perlindungan TKI di Desa Tanggulangin Kebumen, Peraturan Desa No 5/2015 tentang perlindungan TKI di Desa Bojongsari, Cilacap, Peraturan Desa No 4/2015 tentang perlindungan TKI di Desa Nyerot Lombok Tengah,  Peraturan Desa No 1/2016 tentang perlindungan TKI di Desa Krandegan Kebumen,  Peraturan Desa No 4/2015 tentang perlindungan TKI di Desa Darek, Lombok Tengah

Temuan-temuan dari kajian, analisa dan telaah kritis terhadap kebijakan-kebijakan pemerintah tersebut diatas terkait perlindungan buruh migran dan anggota keluarganya:

  1. Instrumen MoU (Memorandum of Understanding) antara pemerintah Indonesia dengan negara-negara tujuan tidak memuat standar HAM, seperti MoU dengan Pemerintah Malaysia tentang pekerja rumah tangga migran (2006) yang tidak memuat tentang aturan jam kerja, usia minimum, tidak menjelaskan hak-hak yang wajib dilindungi, serta larangan untuk tidak berserikat. Hampir seluruh MoU tidak memuat hak-hak buruh migran dan kesepahaman dibangun atas landasan saling menguntungkan, bukan penghormatan terhadap hak asasi manusia. Bahkan kajian ini menemukan, bahwa  MoU dengan Jepang hanyalah turunan dari perjanjian ekonomi dan perdagangan antara Indonesia dan Jepang dalam skema IJEPA (Indonesia Japan Economic Partnership) yang tentu saja menggunakan prinsip-prinsip ekonomi dan abai pada persoalan hak asasi manusia.
  2. UU No. 39 tahun 2004 dan turunannya tidak menegaskan kewajiban negara  memberikan perlindungan hak-hak pekerja migran dan anggota keluarganya, tetapi justeru melanggengkan adanya diskriminasi pelayanan dan  bernuansa bisnis oriented dimana mayoritas pasal justeru memberikan mandat kepada swasta untuk memberikan layanan dan perlindungan. Hak asasi manusia dan keadilan gender memang menjadi asas dalam UU ini, tetapi asas tersebut tidak tercermin dalam pengaturan pasal-pasal. Demikian juga dengan aturan turunannya, Kepmen No 17/2015 tentang penghentian permanen pengiriman PRT migran ke Timur Tengah juga melanggar hak buruh migran untuk bekerja sebagaimana dijamin dalam konvensi buruh migran. Penghentian permanen PRT ke Timur Tengah malah memicu sikap lepas tangan dari perwakilan RI di kawasan Timur Tengah atas tanggungjawab perlindungan teradap PRT migran yang masih menghadapi kerentanan dan keterisolasian di kawasan tersebut.
  3. Peraturan daerah No 20/2015 tentang perlindungan buruh migran asal kabupaten Lembata NTT substasinya melampaui peraturan diatasnya (UU No 39 /2004) dimana dalam Perda ini platform perlindungan berbasis konvensi buruh migran dan memberikan pengakuan terhadap praktek migrasi swadaya, migrasi kultural dari Flores ke Malaysia Timur yang merupakan koridor migrasi khusus yang selama ini di kriminalisasi sebagai skema migrasi ilegal/non prosedural
  4. Peraturan desa – peraturan desa di 6 desa: Desa Sumbersalak Jember, Desa Tanggulangin Kebumen, Desa Bojongsari Cilacap, Desa Nyerot Lombok Tengah,  Desa Krandegan Kebumen, dan Desa Darek Lombok Tengah menunjukkan kebijakan yang paling maju dari perspektif hak asasi manusia dalam perlindungan buruh migran. Selain karena Perdes-perdes tersebut dibuat pasca pemerintah Indonesia meratifikasi konvensi buruh migran, proses pembuatan kebijakan tersebut juga dibuat untuk melawan arus migrasi mainstream yang di monopoli oleh swasta.

Temuan kajian diatas menunjukkan bahwa produk-produk kebijakan tata kelola migrasi tenaga kerja di Indonesia (MoU, UU, Perpres, Permen) dengan perspektif hak asasi manusia, tampak jelas bahwa kebijakan migrasi tenaga kerja yang dimiliki dan diproduksi pemerintah Indonesia hingga saat ini, lebih banyak mengandung dimensi eksploitatif ketimbang protektif terhadap buruh migran Indonesia.

 

Pemerintah Indonesia selama ini abai dan tidak peduli pada realitas kerentanan dan potensi-potensi pelanggaran hak asasi yang dialami buruh migran Indonesia, terutama perempuan mulai dari tahapan perekrutan, pelatihan, ditempat kerja dan saat kepulangan. Bahkan, justru pemerintah Indonesialah yang mengembangkan cara pandang diskriminatif terhadap buruh migran Indonesia. Pemerintah Indonesia secara sengaja  mengkategorikan entitas buruh migran sebagai buruh formal-informal, terampil-tidak terampil (skilled- unskilled), dan legal-ilegal. Pengkategorian dikotomis ini membawa implikasi diskriminatif baik dalam hal pelayanan penempatan maupun penanganan kasus.

 

Kelemahan lain dari kebijakan-kebijakan migrasi tenaga kerja Indonesia di level nasional (dan turunannya) adalah watak kebijakan yang buta gender (gender blind), dan bahkan cenderung mendiskriminasi perempuan dengan berbagai pembatasan-pembatasan pada ruang gerak dan otonomi tubuh perempuan.

Rekomendasi:

  1. Konvensi buruh migran menggugurkan dan mengakhiri segala bentuk diskriminasi, stigmatisasi, dan kriminalisasi buruh migran serta menjadi dasar perlindungan HAM dalam tata kelola migrasi pekerja antarbangsa. Dalam konteks politik luar negeri, meratifikasi konvensi akan memperkuat legitimasi Pemerintah Indonesia dalam memperjuangkan kepentingan buruh migran Indonesia di arena diplomasi regional (ASEAN), bilateral dan multilateral. Hingga saat ini, Indonesia merupakan sedikit dari negara-negara di Asia yang telah lengkap meratifikasi konvensi-konvensi pokok dan inti dalam mekanisme perlindungan hak asasi manusia. Ratifikasi konvensi tentu bukan satu-satunya payung perlindungan buruh migran. Langkah ini baru tapak awal dan harus diikuti dengan langkah-langkah lebih maju selanjutnya pada tahapan harmonisasi kebijakan nasional dan implementasi konvensi. Tahapan ini bisa dimulai dengan merevisi total UU No 39/2004 tentang Penempatan dan Perlindungan Tenaga Kerja Indonesia ke Luar Negeri dengan perspektif perlindungan HAM seperti yang terkandung dalam konvensi ini.
  2. Keberanian pemerintah Indonesia untuk mengambil kebijakan untuk meratifikasi Konvensi PBB Tahun 1990 tentang Perlindungan Buruh Migran dan Anggota Keluarganya harus diimbangi dengan keberanian yang sama untuk mengharmonisasikan seluruh isi konvensi kedalam kebijakan migrasi tenaga kerja dan menjadi spirit bagi diplomasi politik luar negeri (khususnya perlindungan buruh migran). Inilah sesungguhnya yang harus kita lakukan bila ingin dinilai sebagai negara yang beradab dan berdaulat.

Jakarta, 7 Maret 2016

TERBARU