13 October 2024 14:25
Search
Close this search box.

Peringatan Hari Anti Hukuman Mati Internasional 2015

Pemerintah Indonesia Harus Menyelamatkan Buruh Migran Indonesia dari Hukuman Mati dan Mencegah Terus Berlangsungnya Ancaman Hukuman Mati bagi Mereka dengan Menyediakan Kebijakan yang Melindungi

Setiap tahun, tanggal 10 Oktober diperingati sebagai hari Anti Hukuman Mati Sedunia yang merupakan momentum untuk terus mengkampanyekan penghapusan universal hukuman mati. Dalam beberapa tahun terakhir, inisiatif global melawan pelaksanaan hukuman mati di sejumlah Negara menunjukkan kemajuan. Sampai hari ini 160 negara telah mengambil inisiatif menghapuskan hukuman mati dalam berbagai bentuk. Sebanyak 103 negara telah tercatat menghapuskan hukuman mati untuk segala bentuk tindak pidana, 7 negara untuk pelaku tindak pidana umum dan 50 negara menjalankan moratorium eksekusi hukuman mati. Namun demikian masih ada 37 negara yang tetap memberlakukan hukuman mati bahkan melakukan eksekusi mati secara aktif, termasuk pemerintah Indonesia.

Bagi Indonesia, dengan masih memberlakukan hukuman mati dan eksekusi mati sampai hari ini tidak hanya membuktikan bahwa Negara ini lemah komitmennya dalam penegakan hak asasi manusia, tetapi juga melemahkan posisi Indonesia dalam menyelamatkan warga Negara Indonesia, terutama buruh migran yang terancam hukuman mati di luar negeri.

Ancaman hukuman mati dan terus berlangsungnya kerentanan buruh migran yang akan terancam hukuman mati di luar negeri seharusnya juga menjadi pertimbangan para legislator di Senayan yang saat ini tengah menggodok revisi (penggantian) UU No 39 tahun 2004 tentang Penempatan dan Perlindungan TKI. Hukuman mati terhadap buruh migran Indonesia adalah puncak kegagalan Negara (baik Negara asal maupun Negara tujuan) dalam melindungi hak asasi buruh migran. Sampai hari ini tercatat 281 orang buruh migran yang terancam hukuman mati di berbagai Negara, 212 orang di Malaysia, 36 orang di Arab Saudi, 1 orang di Singapura, 28 orang di China, 1 orang di Qatar, 1 orang di UEA, dan 1 orang di Taiwan. Dari data tersebut, 59 orang diantaranya telah dijatuhi vonis hukuman mati, dan 219 orang dalam proses hukum (proses pemeriksaan polisi dan proses peradilan).

Tahun ini merupakan puncak kegagalan bagi pemerintah Indonesia dalam menyelamatkan buruh migran Indonesia dari ancaman hukuman mati, dimana 2 orang PRT migran, Siti Zaenab dan Karni dieksekusi mati di Arab Saudi secara beruntun pada bulan April 2015. Eksekusi ini berlangsung paska pemerintah Indonesia melakukan eksekusi mati terhadap 6 orang terpidana mati kasus narkoba (18 Januari 2015). Eksekusi mati terhadap Siti Zaenab dan Karni juga tidak membuat kapok pemerintah Indonesia untuk mengeksekusi mati lagi 8 terpidana hukuman mati kasus narkoba dan pembunuhan berencana pada tanggal 29 April 2015.

Modus mutakhir ancaman hukuman mati yang dihadapi buruh migran adalah persentuhan antara jejaring tindak pidana perdagangan orang dengan jaringan narkoba, dimana buruh migran dijadikan kurir narkoba dengan modus pengiriman buruh migran ke luar negeri. Seperti kasus yang terjadi di Malaysia, China, kasus Dwi Wulandari di Manila serta kasus Mary Jane (buruh migran asal Filippines yang saat ini juga tengah dalam penantian eksekusi mati paska eksekusinya ditunda pada April 2015 karena intervensi presiden Jokowi).

Dalam menyelamatkan buruh migran Indonesia yang terancam hukuman mati, pemerintah Indonesia masih terkesan reaktif karena belum tersedianya mekanisme penanganan yang komprehensif. Dan dalam beberapa kasus, pemerintah terlambat mendapatkan informasi. Pun demikian dalam kasus dimana pemerintah Indonesia berhasil membebaskan buruh migran dari hukuman mati, belum ada skema rehabilitasi bagi korban dan keluarganya. Demikian juga rehabilitasi bagi keluarga buruh migran paska eksekusi, seperti dalam kasus Yanti Iriyanti, Ruyati, Siti Zaenab, dan Karni. Traumatik menahun yang dialami keluarga buruh migran paska eksekusi mati, terutama anak-anak hingga saat ini masih menjadi persoalan.

Merujuk rekam jejaknya, respon pemerintah atas kasus eksekusi mati buruh migran masih selalu bersifat reaktif. Hal ini misalnya terlihat dari dikeluarkannya kebijakan moratorium menyusul eksekusi Ruyati binti Satubi pada tahun 2011. Ironisnya, hanya berselang empat tahun sejak kebijakan ini diluncurkan, tepatnya pada bulan April tahun 2015, Kerajaan Arab Saudi justru kembali mengeksekusi mati dua orang PRT migran asal Indonesia, atas nama Siti Zainab dan Karni binti Medi Tarsim. Lagi-lagi tragedi kemanusiaan ini direspon pemerintah dengan mengeluarkan kebijakan yang sama, kali ini melalui Keputusan Menteri Ketenagekerjaan No. 260 Tahun 2015 tentang Penghentian dan Pelarangan Penempatan Tenaga Kerja Indonesia Pada Pengguna Perseorangan ke 19 negara Timur Tengah, yang berlaku efektif sejak Juli 2015. Berdasarkan survey Migrant CARE da HIVOS di Bandara Soekarno Hatta pada bulan Maret-September 2015, dari 1.650 responden calon PRT migran ke Timur Tengah yang diwawancarai, 765 orang (46,4%) merupakan PRT migran yang baru berangkat ke Timur Tengah, sementara 884 orang (53,6%) merupakan PRT migran re-entry yang pulang cuti dan kembali lagi bekerja.

Bertolak dari pengalaman ini kami menilai bahwa kebijakan moratorium bukanlah jawaban atas maraknya kasus hukuman mati yang menimpa PRT migran Indonesia. Alih-alih demikian, repetisi kebijakan ini justru malah mencerminkan tidak adanya inovasi kebijakan dalam hal perlindungan buruh migran, sekaligus menebalkan kesan bahwa pemerintah tidak pernah melakukan evaluasi serius terhadap efektifitas kebijakan moratorium.

Tentu saja kami mengapresiasi langkah diplomasi tingkat tinggi yang dilakukan Presiden Jokowi yang secara langsung meminta pembebasan hukuman mati PRT migran Indonesia kepada Raja Saudi Arabia pada kunjungan kenegaraan awal September 2015. Namun demikian langkah ini tidaklah efektif dan sia-sia, apabila tidak ditindaklanjuti dengan komitmen serius pemerintah Indonesia untuk pro-aktif dalam inisiatif global penghapusan hukuman mati baik di dalam maupun di luar negeri.

Dalam rangka memperingati hari anti hukuman mati internasional dan bersamaan dengan momentum revisi UU buruh migran di DPR RI, Koalisi masyarakat sipil untuk perlindungan buruh migran mendesak pemerintah Indonesia untuk:

  1. Pemerintah Indonesia harus segera menghapuskan hukuman mati, minimal moratorium eksekusi mati. Penghapusan hukuman mati ini akan menjadi kekuatan diplomatik ekstra dalam membebaskan buruh migran dari hukuman mati.
  2. Pemerintah Indonesia harus segera mengambil langkah-langkah strategis dibawah pimipinan presiden selaku kepala negara dan kepala pemerintahan untuk menyelamatkan buruh migran Indonesia dari hukuman mati
  3. Pemerintah Indonesia harus segera merespon khusus modus pertemuan jejaring perdagangan orang dengan jaringan narkoba yang menjadikan buruh migran sebagai korban dan terancam hukuman mati di luar negeri
  4. Pemerintah Indonesia harus segera menyediakan mekanisme rehabilitasi bagi buruh migran yang telah berhasil dibebaskan dari hukuman mati dan keluarga buruh migran paska eksekusi mati
  5. Pemerintah Indonesia harus membangun sistem pencegahan kerentanan buruh migran  dari ancaman hukuman mati dengan membangun kebijakan migrasi yang aman berbasis pada konvensi Internasional 1990 tentang perlindungan buruh migran dan anggota keluarganya, salah satunya menyegerakan penuntasan revisi UU No. 39 tahun 2004 tentang penempatan dan perlindungan TKI dengan poin-poin perubahan sebagai berikut:
    • Penyediaan akses layanan yang terpadu dengan biaya murah
    • Pemerintah memastikan skema migrasi yang aman, bukan hanya migrasi prosedural yang rentan jeratan hutang, melalui pelayanan pemerintah mulai dari desa dan meminimalisir peran swasta
    • Perspektif UU adalah penegakan hak asasi manusia dan penghormatan bagi perempuan
    • Sistem pengawasan yang integratif pada keseluruhan proses migrasi
    • Penyediaan akses atas keadilan
    • Penyediaan mekanisme rehabilitasi dan kompensasi  bagi korban
    • Mekanisme penegakan hukum yang fair dan memenuhi rasa keadilan
  6. Pemerintah Indonesia harus segera mereview kebijakan moratorium penempatan ke 21 negara di Timur Tengah, karena moratorium bukan solusi, bahkan sebaliknya menghambat hak warga negara untuk bermigrasi.

Jakarta, 10 Oktober 2015

Koalisi Masyarakat Sipil untuk Perlindungan Buruh Migran Indonesia

Migrant CARE, JBM, IMWU Hongkong, PPK, SARI, INDIPT, YKS, Tanoker, HRWG, LBH Jakarta,  LRCKJHAM, Migrant CARE Banyuwangi, SD Inpers, Anshor, Indosia Act, HIVOS, Migrant CARE Malaysia, Kades Kuripan, Kades Wringinpitu, Kades Sumbersalak, Kades Krandegan, Kades Gerunung, Kades Tagawiti, TKSK Kab. Karawang, Koalisi Perempuan Indonesia (KPI) Jatim

Narahubung:

Anis Hidayah (Migrant CARE) : 081578722874

Wahyu Susilo (Migrant CARE) : 08129307964

Sringatin (IMWU Hongkong) : +85269920878

Endang Susilowati (PPK) : 0818360252

Alex Ong (Migrant CARE Malaysia): +60196001728

TERBARU