Realitas Kaum Marginal di Kawasan Asia-Afrika

Wahyu Susilo Analis Kebijakan Migrant Care

Realitas Kaum Marginal di Kawasan Asia-Afrika

BANYAK pihak memuji pidato pembukaan Konferensi Asia Afrika 2015 yang disampaikan Presiden Jokowi pada 22 April 2015. Pidato tersebut sangat lugas menggugat dominasi lembaga-lembaga multilateral atau regional, seperti Bank Dunia, IMF dan ADB, serta seruannya mengenai reformasi di tubuh PBB.

Harus diakui, untuk sementara bisa dikatakan pidato tersebut memupus anggapan bahwa peringatan 60 tahun Konferensi Asia Afrika hanya seremoni. Dukungan terhadap kemerdekaan Palestina yang disuarakan dalam pertemuan ini juga pantas dihargai. Presiden Jokowi telah menunjukkan bahwa perjuangan rakyat Palestina ialah perkara kebangsaan dan kedaulatan, bukan soal keagamaan (perang agama).

Jika kita merunut ke belakang, menyimak kembali Dasasila Bandung, realitas dan konstelasi dunia saat ini memang masih seperti yang digambarkan saat itu, yakni masih dihantui ketimpangan dan didominasi kekuatankekuatan global yang mengancam keamanan dan kesejahteraan rakyat di kawasan Asia. Tentu saja, kalau 60 tahun yang lalu latar belakangnya ialah rivalitas bipolar perang dingin, saat ini yang melatari ialah ketidakadilan global akibat modal transnasional dan topangan lembaga (keuangan) multilateral.

Tentu saja, pidato yang menantang tersebut tak cukup hanya dipuji, tetapi harus diuji juga apakah benar-benar menjadi bahan bakar baru menggerakkan revitalisasi dan reaktualisasi Dasasila Bandung mewujudkan keadilan dan kemakmuran bagi rakyat Asia-Afrika.

Apa yang digambarkan Presiden Jokowi sebagai ketidakadilan, kesenjangan, dan kekerasan global harus benar-benar didaratkan (down to earth) dalam realitas yang dialami oleh kelompok-kelompok yang selama ini termarginalisasikan oleh sistem ekonomi-politik yang dikelola oleh negara-negara di kawasan Asia Afrika dan juga dampak dari operasi lembaga-lembaga keuangan internasional dan perusahaanperusahaan multinasional di kawasan ini.

Para pemimpin Asia Afrika di masa lalu dan juga apa yang disampaikan Presiden Jokowi masih memercayai bahwa Perserikatan Bangsa-Bangsa merupakan satu-satunya lembaga antarbangsa yang dicitacitakan menjadi cerminan dari kehendak global dalam perwujudan kesejahteraan dan perdamaian global. Namun, realitasnya masih terjadi pembajakan dan upaya pelemahan lembaga tersebut oleh negaranegara yang selama ini mendominasi. Usulan Reformasi PBB ialah sebuah keniscayaan dan terus-menerus disuarakan negara-negara, terutama di belahan dunia Selatan.

Akan tetapi, usulan ini selalu mentok ketika ‘lembaga superbodi’ PBB, yaitu Dewan Keamanan PBB masih tetap eksis. Harus diakui, di hampir seluruh mekanisme PBB yang prosesnya relatif demokratis (one country/state one vote) akan berakhir antiklimaks, jika resolusi yang dihasilkan mendapatkan vote dari anggota Dewan Keamanan PBB.

Tentu saja, kritik juga harus diarahkan secara internal ke negara-negara Asia Afrika yang juga masih mengendalikan sistem pemerintahannya secara otoriter, mengesam pingkan nilai-nilai demokrasi, dan membuka ruang adanya pelanggaran hak asasi manusia. Kejahatan kemanusiaan dalam bentuk genosida atau bentuk-bentuk pelanggaran hak asasi manusia lainnya tentu tak pantas untuk dilegitimasi dan dibela dalam semangat solidaritas Asia Afrika.

Hingga tenggat akhir komitmen global penghapusan kemiskinan (Millennium Development Goal) September 2015, rakyat miskin dunia (utamanya di kawasan Asia Afrika) masih tetap hidup dengan penghasilan kurang dari US$2 per hari dan lebih parah lagi ketimpangan (baik di tingkat nasional, regional, maupun internasional) semakin menganga. Di Indonesia sendiri, target untuk mengurangi angka kematian ibu melahirkan dalam skema MDGs dipastikan gagal (tidak mencapai 102/100.000 kelahiran), karena hingga saat ini, posisinya masih berada di angka 359/100.000 kelahiran (menurut data SDKI 2012).

Pidato Presiden Jokowi juga harus dihadapkan pada situasi konkret kerentanan yang dialami oleh kaum perempuan dan kelompok-kelompok marginal lainnya di kawasan Asia Afrika. Kekerasan terhadap perempuan masih terjadi meluas di kawasan ini. Konflik bersenjata menjadikan perempuan dan anak sebagai sasaran kekerasan seksual. Situasi ini terjadi saat perang saudara di Sudan, Nigeria, maupun yang terjadi di kawasan Timur Tengah saat ini.

Di negara-negara yang sistem politiknya mengawinkan otoriter politik dan otoritas keagamaan, juga masih sering terjadi adanya kekerasan terhadap perempuan, seperti pelarangan aktivitas perempuan di ruang publik, sunat perempuan (female genital mutilation), perkawinan anak, dan penghukuman fi sik melalui cambuk dan pemancungan.

Kaum buruh migran juga merupakan kelompok yang mengalami kerentanan di kawasan Asia Afrika. Dalam minggu-minggu terakhir ini, kisah-kisah mengenaskan dialami buruh migran di kawasan tersebut. Siti Zaenab dan Karni ialah bagian dari puluhan buruh migran yang menjalani eksekusi mati di Arab Saudi.

Sementara itu, di Afrika Selatan, sentimen anti-orang asing (xenophobia) diwujudkan dalam bentuk serangan terhadap ribuan buruh migran di berbagai kota di Afrika Selatan.

Yang tak kalah dramatis ialah membanjirnya ribuan buruh migran asal Afrika yang secara nekat menyeberang lautan menuju Eropa. Dalam pekan ini, 800 buruh migran Afrika mati tenggelam dalam penyeberangan ke daratan Eropa.

Di hadapkan pada realitas kerentanan kaum marginal di kawasan Asia Afrika, baru kita bisa menilai apakah gugatan yang disampaikan dalam pidato Presiden Jokowi, serta (nantinya) deklarasi dan Pesan Bandung (Bandung Message) benar-benar bisa menjawab situasi tersebut atau hanya menjadi berkas tumpukan kertas semata? Kita tunggu hasilnya.

Sumber : http://pmlseaepaper.pressmart.com/mediaindonesia/PUBLICATIONS/MI/MI/2015/04/23/ArticleHtmls/Realitas-Kaum-Marginal-di-Kawasan-Asia-Afrika-23042015006003.shtml?Mode=1#

 

TERBARU