Rupa Hak Politik Perempuan Pekerja Migran di Tahun Politik 2024

“Situasi sekarang banyak keputusasaan. Tapi ketika melihat komunitas di sini, rakyat bantu rakyat, membuat saya lupa dengan keputusasaan yang ada. Yang mengajarkan saya tentang feminis dari ibu-ibu pekerja migran.”

Itu tadi Zulyani Evi dari SINDIKASI (Serikat Pekerja Media dan Industri Kreatif untuk Demokrasi). Ia juga mengingatkan kerja Migrant CARE dalam mengawal demokrasi bukan kali pertama, “2019 Migrant CARE menerbitkan newsletter, sudah dibicarakan sana-sini tapi Pemilunya masih carut marut.”

 

Pada tahun politik 2024, Migrant CARE kembali berpartisipasi mengambil peran dalam pemantauan Pemilu dan Pemilukada 2024. Dokumentasi hasil pemantauan ini dikemas dalam newsletter “Di Balik Kotak Suara; Menguak Tantangan dan Temuan di Tengah Dinamika Pilkada Indonesia 2024” yang diluncurkan dalam rangkaian International Migrant Day (IMD) 2024 yang digelar di Hotel Kresna Wonosobo, Jawa Tengah (18/12).

Lilik HS yang pernah beraktivitas di PPMN (Perhimpunan Pengembangan Media Nusantara) mengatakan newsletter edisi “Di Balik Kotak Suara; Menguak Tantangan dan Temuan di Tengah Dinamika Pilkada Indonesia 2024” berkontribusi membangun demokrasi di negeri ini, termasuk dalam Pemilu 2024 yang menurutnya menjadi Pemilu paling brutal.

“Migrant CARE bertahun-tahun melakukan pemantauan Pemilu. Meski sering dikhianati oleh otoritas politik tapi Migrant CARE tetap konsisten melakukan pemantauan,” kata Lilik.

Menurut Lilik, perjuangan pekerja migran mirip dengan perjuangan jurnalisme warga yang masih dipandang sebelah mata. Ini menjadikan pekerja migran juga jurnalisme warga semakin rentan dan terpinggirkan.

Pekerja migran Indonesia (PMI) masih menjadi bahan pemberitaan media hanya saat peringatan International Migrant Day. Mensiasati ini, Lilik punya dua cara sebagai masukan. Kepada penyelenggara Pemilu, Lilik mengingatkan agar pengelolaan Pemilu di luar negeri tidak hanya dibincang setahun sebelum Pemilu, mitigasi bisa dilakukan mulai sekarang. Kepada Migrant CARE, Lilik mengusulkan untuk menjalin kolaborasi dengan universitas untuk ikut menyuarakan isu-isu pekerja migran.

Newsletter Pemilu Migrant CARE, imbuh Lilik, menjadi catatan, rekomendasi praktek Pemilu ke depan. Agar produk pengetahuan ini tidak sekadar dikagumi tapi menjadi bahan rekomendasi perbaikan bagi penyelenggara Pemilu mendatang.

“Hari ini, melihat ibu-ibu, semangatnya, upayanya memperjuangkan hak-hak politiknya. Ke depan kepada siapa lagi kita berharap kalau tidak kembali ke diri sendiri.”

Selain peluncuran newsletter, Migrant CARE juga melakukan soft launching Jurnal Perempuan bertema Hak Politik Perempuan Pekerja Migran. Direktur Eksekutif Yayasan Jurnal Perempuan Abby Gina Boang Manalu mengatakan, kerja sama ini menjadi moment penting bagi pekerja migran dalam mendorong keadilan dan kesetaraan sekaligus momentum refleksi pemberdayaan ekonomi purna migran. “Tema ini relevan memperkuat kesadaran kolektif perempuan pekerja migran,” kata Abby yang bergabung dalam peluncuran secara online.

Kolaborasi Jurnal Perempuan dan Migrant CARE menjadi ruang refleksi mendalam perempuan pekerja migran sekaligus menjadi catatan perbaikan dalam Pemilu ke depan. Kolaborasi ini juga bertujuan mendorong diskursus feminis perempuan pekerja migran juga menawarkan analisis mendalam tentang pendidikan politik pekerja migran. Sejumlah tema penting yang ada dalam publikasi ini di antaranya Pemilu Indonesia di luar negeri, 10 tahun Jokowi. Pada tema terakhir ini Migrant CARE mengevaluasi kebijakan Jokowi dalam implementasi kebijakan dan pelibatan pekerja migran dalam pengambilan kebijakan.

“Jurnal Perempuan edisi Hak Politik Perempuan Pekerja Migran merupakan gambaran nyata partisipasi pekerja migran, evaluasi kritis tata kelola Pemilu. Melalui kolaborasi mendorong informasi kebijakan, menjadi alat negosiasi untuk semua pihak memikirkan isu ini ke depannya, menjadi pijakan kebijakan agar lebih inklusif dan berkeadilan,” pungkas Abby.

Pertanyaan datang dari peserta kegiatan. Ia menanyakan tentang daerah pemilihan (dapil) luar negeri yang diwakili DKI Jakarta 2 (Jakarta Pusat, Jakarta Selatan). Menjawab ini, Direktur Eksekutif Migrant CARE Wahyu Susilo berpandangan perlu dapil khusus bagi pekerja migran yang menjadi representasi genuine, apalagi mayoritas mereka (pemilih di lar negeri) adalah pekerja migran.

“Hanya butuh suara tapi memutus tali konstituensi. Pekerja migran Indonesia masih alami kerentanan dan kekerasan. Yang terpilih dari Dapil DKI Jakarta 2 tidak mau membaui keringat pekerja migran,” terang Wahyu sebelum meluncurkan newsletter dan hasil survey potensi ekonomi dan perlindungan sosial purna migran. [Nur Azizah]

TERBARU

Leave a Reply

Your email address will not be published. Required fields are marked *