Setiap tanggal 18 Desember, kita selalu diingatkan bahwa ada ratusan juta orang berpindah dari tanah airnya bekerja di tanah Seberang atau ditengah lautan dan merekalah yang membuat dunia ini berputar dengan segala dinamika dan permasalahan yang dihadapinya.Dalam pesannya untuk peringatan Hari Pekerja Migran Sedunia tahun 2024, Sekretaris Jenderal PBB Autonio Gutteres mengingatkan kita akan peran penting para pekerja migran untuk keluarga, negara dan dunia.
Namun hingga hari ini para pekerja migran masih menghadapi tantangan dan kerentanan yang dihadapi bahkan kekejaman yang dihadapainya. Dunia masih belum ramah pada pekerja migran, masih ada stigma dan prasangka dilekatkan padanya, masih ada perlakukan diskriminasi, masih ada praktik dan tindakan kekerasan hingga kekejian serupa perbudakan karena mereka diperdagangkan.
Menguatnya pandangan politik yang konservatif dan populisme kanan menyuburkan benih – benih kebencian kepada pekerja migran sebagai liyan, sebagai warga kelas dua yang seringkali berujung pada tindak kekerasan dan pembiarannya.
Masyarakat dunia tentu tidak tinggal diam. Ada instrument internasional yang mengakui bahwa hak pekerja migran adalah hak asasi manusia, sudah ada komitmen global untuk memastikan adanya migrasi aman yang bermanfaat, manusiawi, dan inklusif. Namun pekerja migran masih menghadapi berbagai kerentanan, ketidakadilan dan praktek perbudakan modern.
Pandemi COVID-19 telah mengingatkan kita betapa kalangkabutnya dunia ini tanpa kerja perawatan. Kerja perawatan telah menyelamatkan makhluk seisi dunia ini dari keterpurukan yang akut akibat krisis kesehatan global. Namun ironisnya, hingga saat ini kerja perawatan (yang sebagian besar dilakukan pekerja migran perempuan) tidak mendapatkan pengakuan yang signifikan, apalagi perlindungan.
Dalam konteks Indonesia, kita menemukan relevansi apa yang disampaikan Sekjen PBB Antonio Gutteros. Hingga hari ini, pekerja migran Indonesia masih menjadi kelompok rentan terpinggirkan, menjadi korban penindasan, alih – alih mendapatkan pengakuan dan perlindungan yang signifikan.
Tahun 2024 adalah tahun politik. Indonesia telah menyelenggarakan pemilu serentak dan pemilihan kepala daerah. Dan kita menyaksikan, Pemilu Indonesia di luar negeri masih diselenggarakan dengan asal – asalan. Sebagaian besar pekerja migran Indonesia tidak mendapatkan hak politiknya untuk memilih, apalagi dipilih. Pekerja migran adalah actor penting dalam menggerakkan ekonomi loka/daerahl, namun ironisnya mereka sama sekali tidak diberi ruang dan kesempatan untuk memilih dalam pemilihan kepala daerah.
Tahun politik 2024 juga telah menghasilkan kepemimpinan dengan segala akrobat politik, pengesampingan etika moral dan ketidakpatuhan pada konstitusi. Kepemimpinan baru hanya meperlihatkan peralihan kekuasaan tanpa ada komitmen yang jelas untuk memperbaiki keadaan. Dalam Kabinet ada kementerian baru yang mengurusi pekerja migran, namun ini bukan sebuah terobosan dan jawaban atas permasalahan, karena ternyata hanya merupakan ajang berbagi jabatan dan kekuasaan. Kementerian baru ini lebih disibukkan dengan penataan kelembagaan, tuntutan penambahan anggaran tetapi abai dalam merespons permasalahan pekerja migran Indonesia yang semakin kompleks dan penuh ketidakpastian. Mereka mengusulkan perubahan UU No. 18/2017 hanya untuk memperkuat kelembagaan Kementerian, bukan untuk mendekatkan pekerja migran pada akses keadilan dan perlindungan HAM.
Karena tonggak peringatan Hari Pekerja Migran Sedunia itu adalah Konvensi Internasional mengakui Perlindungan Hak – Hak Pekerja Migran dan Anggota Keluarganya yang telah diratifikasi oleh Indonesia, Migrant CARE menilai bahwa Indonesia tidak serius untuk mengimplementasikannya. Seharusnya di tahun 2024, Indonesia sebagai negara fihak dalam Konvensi ini memberikan laporan periodic dan jawaban atas rekomendasi yang disampaikan oleh Komite Pelindungan Pekerja Migran Perserikatan Bangsa – Bangsa. Namun hingga tenggat akhir laporan tersebut tak kunjung disampaikan dalam Sidang Sesi ke 39 Komite Perlindungan Perserikatan Bangsa-Bangsa yang berlangsung pada tanggal 2-13 Desember 2024.
Tahun 2024 juga ditandai dengan lahirnya dokumen perencanaan pembangunan jangka panjang sebagai landasan kerja bagi pemerintahan baru. Dengan UU No 59 tahun 2024 tentang Rencana Pembangunan Jangka Panjang Nasional, Indonesia merancang peta jalan menuju 100 tahun Republik Indonesia di tahun 2045 yang berslogan Indonesia Emas. Migrant CARE selalu terlibat dalam proses ini dan memberi pandangan kritis pada dokumen teknokratis ini. Dibanding dengan dokumen RPJPN 2005 – 2025, dokumen ini memang telah mengakomodasi masalah migrasi dan mobilitas pekerja, namun belum mencerminkan adanya kerangka kebijakan dan kelembagaan yang menunjukkan komitmen untuk memberikan pelindungan yang maksimal kepada pekerja migran. Arah kebijakan tentang migrasi dan mobilitas pekerja masih dalam kerangka pembangunan ekonomi, dan jauh dari upaya pemenuhan dan pelindungan hak pekerja migran.
Migrant CARE juga mengkritisi optimisme berlebih dalam RPJPN 2025-2045 mengenai fenomena bonus demografi dan transformasi digital. Dalam kenyataannya saat ini kelompok usia produktif yang diandalkan sebagai bonus demografi adalah kelompok yang rentan dieksploitasi dalam sektor kerja berbasis teknologi digital. Transformasi digital yang nyata adalah penyalahgunaan teknologi digital untuk kejahatan yang mendegradasi kemanusiaan. Ribuan orang muda Indonesia terjebak dalam sindikat perdagangan orang untuk dipaksa bekerja dalam kejahatan berbasis teknologi digital (forced criminality) lintas batas negara. Realitas ini menyadarkan kita untuk benar-benar serius menatap dan menata masa depan Indonesia di tahun 2045 agar tidak menjadi Indonesia Cemas.
Dokumen RPJPN 2025-2045 sangat bertumpu pada pengelolaan sumber daya alam dan maritim serta perubahan/ krisis iklim, Namun dalam dokumen ini abai pada eksploitasi kaum pekerja di sektor maritim dan sama sekali tidak membahas migrasi karena perubahan/krisis iklim (climate migration). Ini memperlihatkan bahwa belum ada pendekatan yang komperehensif dan inklusif mengenai perlindungan pekerja migran Indonesia dalam dokumen perencanaan pembangunan Indonesia.
Untuk mewujudkan adanya perlindungan sejati dan paripurna untuk pekerja migran Indonesia dan anggota keluarganya, Migrant CARE mendorong dan mendesak negara (baik negara asal dan negara tujuan) untuk merekognisi kontribusi pekerja migran, mengakhiri kebijakan yang diskriminatif, menghapus dan mencegah tindak kekerasan dan praktik perdagangan orang, mengakhiri pemidanaan hukuman mati dan memastikan terselenggaranya migrasi aman berbasis hak, manusiawi dan inklusif.
Wonosobo, 18 Desember 2024
Wahyu Susilo
Direktur Eksekutif Migrant CARE