21 December 2024 23:41
Search
Close this search box.

Migrant CARE Siapkan Modul Pencegahan Ekstremisme bagi Komunitas PMI

“20 tahun lalu bom meledak di kedutaan Australia. Ini membuat saya shock karena waktu itu akan mengantarkan laporan ke sana. Waktu itu masih Kopbumi. Ada bunyi keras sekali. Kita kira mobil meledak. Saya SMS dengan salah satu program officer AUSAID, dia mengatakan ada bom. Itu traumatic. Saya membayangkan jika saya sudah sampai di kedutaan Australia waktu itu.”

Itu tadi pernyataan Direktur Eksekutif Migrant CARE Wahyu Susilo mengawali sambutan dalam “Workshop Finalisasi Modul Pencegahan Ekstremisme Kekerasan bagi Komunitas PMI, Selasa, 10 September 2024.

Migrant CARE bekerja sama dengan Badan Nasional Penanggulangan Terorisme (BNPT) dan BP2MI (Badan Pelindungan Pekerja Migran Indonesia) dengan dukungan INKLUSI (Kemitraan Australia Indonesia Menuju Masyarakat Inklusif) tengah menyusun modifikasi modul Countering Violent Extremisme untuk komunitas. Modul ini merupakan pengembangan dari modul “Cegah Ekstremisme Lindungi Pekerja Migran Indonesia” yang dikhususkan untuk kelas OPP (Orientasi Pra Pemberangkatan) calon pekerja migran Indonesia.

Modul pencegahan esktremisme bagi komunitas PMI dan keluarganya penting diupayakan sebagai bentuk kewaspadaan bersama. Apalagi, imbuh Wahyu, enam tahun lalu laporan IPAC mengungkap pekerja migran menjadi salah satu sasaran kelompok ekstremisme. Sebab PMI punya massa, sumber daya, uang hasil jerih payah.

Wahyu Susilo mengatakan salah satu hal yang dicari kelengahannya adalah PMI sangat filantropis, “Saya ingat setap kali ada bencana yang pertama kali kontak Migrant CARE adalah pekerja migran, bertanya bagaimana cara menyumbang bencana gempa Jogja, Gunung Semeru. Itu kebaikan hati PMI yang bisa disalahgunakan oleh mereka yang punya niat buruk menjerumuskan mereka dalam ekstremisme kekerasan.”

Wahyu mencontohkan kasus PMI di Singapura yang berhadapan dengan hukum lantaran menyumbang kepada kelompok yang terafiliasi dengan kelompok radikal. Ini melatari pentingnya upaya sistematik dan kolaboratif, “Musuhnya besar meski jumlahnya sedikit.”

Ia mengingatkan, penyusunan modul tidak justru menguatkan stigma PMI. Sebab kelompok ekstremis hanya perlu viral, “Sedikit banyak jumlah mereka (ekstremis) tidak melunturkan kewaspadaan termasuk tidak menstigma PMI.”

Bagi Migrant CARE, kolaborasi dengan lembaga negara adalah pembelajaran baru. Dengan BP2MI, Migrant CARE bekerja sama dalam hal migrasi aman. “Kita menambahi definisi migrasi aman yang terbebas dari paparan ide ekstremisme kekerasan. Migrasi aman yang paripurna baik secara prosedural maupun secure wawasan kebangsaan,” jelas Wahyu Susilo.

Modul pencegahan countering violent extremism (CVE) untuk komunitas ini akan diujicobakan kepada Kawan PMI, Ruang Migran, Desbumi (Desa Peduli Buruh Migran), dan komunitas lain.

 

Subkoordinator Perlindungan Kepentingan Nasional Badan Nasional Penanggulangan Terorisme (BNPT) RI Nanda Fajar Aditya mengapresiasi kerja sama penguatan komunitas tersebut.  Dalam sambutannya, ia mengungkap terdapat 117 PMI tersangkut masalah ekstremisme kekerasan. Singapura mendominasi kasus ini, ada sekitar 58 PMI yang perlu mendapat perhatian lebih. Sisanya tersebar di negara penempatan lain.

Dari catatan BNPT, lokus perhatian saat ini ada di Pulau Jawa: Jawa Timur, Jawa Barat, Jawa Tengah. Sisanya Sumatera Barat, Nusa Tenggara Barat, dan Sulawesi.

Nanda mengatakan penyusunan modul bisa mengacu pada Peraturan Pemerintah Nomor 77 tahun 2019 tentang Pencegahan Tindak Pidana Terorisme dan Pelindungan terhadap Penyidik, Penuntut Umum, Hakim, dan Petugas Pemasyarakatan. “Terdapat definisi orang yang rentan terpapar. Contohnya sering melihat konten radikalisme, dekat dengan kelompok yang memiliki pemahaman ekstrem baik kelompok maupun keluarga, memiliki wawasan kebangsaan yang sempit, memiliki permasalahan psikologis dan ekonomi.”

Nanda menambahkan PMI yang dideportasi pada 2024 memiliki latar belakang keluarga labil, status pernikahan terguncang, tidak mempunyai teman cerita. “Dalam kondisi terakhir, PMI perlu mendapatkan perhatian dan melalui modul ini menjadi upaya memperkuat PMI agar tidak terpapar paham ekstremisme.”

Restu Dewi Utami, pengantar kerja ahli madya pada direktorat perlindungan dan pemberdayaan kawasan Asia dan Afrika, BP2MI, sekaligus instruktur OPP mengapresiasi modul “Cegah Ekstremisme Lindungi Pekerja Migran Indonesia.” Menurutnya, materi CVE menjadi hal baru tidak saja bagi instruktur OPP tapi juga calon pekerja migran Indonesia (CPMI).

“Otomatis kami teredukasi, tersosialisasi terhadap ekstremisme kekerasan. Kami sudah menyampaikan kepada CPMI di sektor kerja sama pemerintah. Untuk sektor penempatan non pemerintah sedang alam proses untuk memberikan modul ini kepada CPMI,” ungkap Restu di acara serupa.

Meski begitu, kata Restu, CPMI perlu informasi lebih awal tentang bahaya ekstremisme kekerasan. “Gerbang awalnya dari desa, jadi kami senang sekali bahwa dua hari ini kami berikan apresiasi bahwa ada modul yang diberikan kepada CPMI di daerah asal termasuk keluarganya sehingga mereka teredukasi karena itu masih dianggap tabu.”

Restu menceritakan pengalamannya bersama BNPT mengunjungi ke Kawan PMI (Komunitas Relawan Pekerja Migran Indonesia) Sukabumi. “Ketika mencoba berdiskusi ternyata di daerah mereka ada penangkapan di wilayah Kebonpedes. Dampaknya sangat tinggi bagi tetangga, dicap sebagai desa terorisme. Ketika mau ajuin pinjaman mereka sudah terstigma dari Kebonpedes teroris. Padalah Ketika diskusi mereka tidak tahu. Mereka banyak bertanya bedanya terorisme, ekstremisme. Informasi ini penting disampaikan kepada PMI dan keluarganya.”

Kawan PMI memiliki 1150 penggerak di Indonesia yang mengedukasi migrasi aman dan pendampingan PMI tersangkut kasus hukum. “Kami menyambut baik yang disampaikan Pak Wahyu. Kami menyambut baik penyusunan modul untuk komunitas.”

Senior Advisor GEDSI dari INKLUSI Endah Agustina mengatakan modul pencegahan ekstremisme kekerasan bagi komunitas merupakan inisiatif baik tentang penyadaran dan penguatan komunitas dalam pencegahan ekstremisme.

“Semua berawal dari diri sendiri, komunitas dan negara. Walaupun ada kebijakan dibuat tapi jika di komunitas tidak ada upaya, yang dilakukan akan jadi sia sia,” kata Endah.

Lima tahun ke depan, imbuhnya, pemerintahan baru sejalan dengan 17 goals yang merupakan kunci RPJMN. Goals 14 keluarga berkualitas, kesetaraan gender, dan masyarakat inklusif. INKLUSI juga berfokus pada isu kekerasan terhadap perempuan dan kelompok marjinal. Hal ini, imbuhnya, sangat membantu upaya pemerintah dalam memberikan hak, melindungi PMI.

“Kita menyadari persoalan PMI sangat kompleks dan beragam. Jenis kelamin, identitas gender, identitas sosial, umur, negara penempatan, agama, dan sebagainya. Di dalam draft, aspek interseksionalitas sudah dipertimbangkan dalam penyusunan draft ini. Ini penting agar upaya yang dilakukan tidak bersifat general tapi sesuai kebutuhan yang dialami PMI.”

Sebab, aspek interseksionalitasnya tidak saja pada PMI tapi juga perlindungan menjadi upaya menyeluruh dalam memenuhi hak bagi pekerja migran.

“Terima kasih BNPT dan BP2MI sudah melanjutkan kolaborasi ini dengan sangat membanggakan. Dan semoga bisa segera direalisasikan untuk komunitas,” pungkas Endah mengakhiri sambutan. [Nur Azizah]

TERBARU