Oleh: Susana Rita dan Agnes Theodora Wolkh Wagunu
Tanpa lelah dan takut, Anis Hidayah terus menggeluti isu perlindungan buruh migran. Konsistensi tersebut membuatnya menerima sejumlah pengakuan, antara lain penghargaan Hak Asasi Manusia Yap Thiam Hien 2014 dan Alison Des Forges 2011 (dari lembaga swadaya masyarakat internasional, Human Rights Watch).
Namun, sesungguhnya Anis tidak pernah mengejar pengakuan dan penghargaan apa pun. Dia membulatkan tekad memperjuangkan kehadiran negara melindungi buruh migran atau tenaga kerja Indonesia (TKI). Kebebalan membuat para birokrat memandang sebelah mata isu TKI dan merupakan masalah mendasar perlindungan pahlawan devisa.
”Bebalnya negara itu yang bikin muak. Masalah dan solusi teridentifikasi. Tetapi, tidak ada kemauan (menyelesaikan),” kata Anis.
Sedikitnya 6,5 juta TKI bekerja di luar negeri, terbanyak di Malaysia sekitar 2,5 juta orang dan Arab Saudi (1,5 juta orang). Mereka mengirimkan devisa yang langsung menggerakkan sektor riil di pedesaan, sedikitnya Rp 70 triliun per tahun. Namun, kehadiran negara melindungi mereka begitu minim. TKI seperti berjuang sendiri sejak mereka bersiap berangkat, bekerja di luar negeri, dan menghadapi ancaman pemerasan di bandar udara saat pulang ke Tanah Air.
Hampir dua dekade Anis berkecimpung membela hak TKI. Selama itu pula, dia menghadapi persoalan yang sama dengan kualitas masalah terus meningkat. ”Pemerintah tak punya satu hal, padahal itu prasyarat, yaitu, kemauan,” kata Anis saat ditanya apa yang dirasakannya setelah berkecimpung dalam dunia yang sama hampir 20 tahun.
Meski Indonesia telah 17 tahun melalui reformasi, belum ada perubahan berarti di sektor ini. Kebijakan migrasi pemerintah makin membesarkan pebisnis penempatan TKI, tetapi memiskinkan TKI. Tak ada perspektif perlindungan, tak ada perspektif kesejahteraan.
”Memang ada kata-katanya, tetapi tidak bunyi di undang-undang. Padahal, UU itu payung hukum bagi kebijakan lainnya,” ujar Anis yang makin gelisah karena Undang-Undang Nomor 39 Tahun 2004 tentang Penempatan dan Perlindungan Tenaga Kerja Indonesia di Luar Negeri selalu gagal direvisi.
Realitas itu tampak nyata di kampungnya, sebuah desa kecil di Kabupaten Sidoarjo, Jawa Timur, yang mayoritas warganya menjadi buruh migran. Warganya masih miskin, sama ketika ia meninggalkannya untuk kuliah di Universitas Jember.
”Sedih rasanya waktu pulang kemarin. Memang ada perubahan sedikit, tetapi kemiskinan itu masih nyata. Yang tampak justru sebuah ironi. Tak jauh dari pintu masuk kampung saya, ada rumah yang besar sekali. Mewah. Rumah milik Perusahaan Jasa Tenaga Kerja Indonesia (PJTKI),” kata Anis.
Perspektif HAM
Pergantian rezim pemerintahan ternyata tak mampu menjadi lokomotif perbaikan regulasi perlindungan TKI. Ada kesalahan mendasar yang dilakukan pemerintah, yakni menempatkan isu TKI sebagai bagian persoalan ekonomi. Padahal, masalah TKI sangat kompleks, tak sekadar soal ekonomi. Mereka muncul karena kemiskinan, keterbatasan akses pendidikan, dan partisipasi politik, terutama perempuan.
Menurut Anis, pemerintah semestinya mengurai masalah TKI dari perspektif hak asasi manusia. Diagnosis yang salah akan menghasilkan solusi bermasalah.
”Selama relnya tidak diperbaiki, ya, kita tersesat terus. Kita seolah-olah menjawab (persoalan), tetapi sebenarnya tidak,” katanya.
Anis pun meminta Presiden Joko Widodo lebih serius menangani persoalan TKI. Janji Jokowi dalam Nawacita relatif bagus. Namun, Anis mencatat banyak agenda perlindungan TKI yang hilang dalam Rencana Pembangunan Jangka Menengah Nasional 2015-2019.
Presiden Joko Widodo harus memastikan pendekatan yang terstruktur, sistematis, dan komprehensif. Pemerintah harus membenahi infrastruktur pendidikan di daerah, membangun daerah miskin kantong-kantong TKI, serta menciptakan lapangan kerja agar mereka tidak perlu ke luar negeri.
Pemerintah juga harus mengambil alih seluruh urusan TKI dari swasta. Pemerintah tak perlu lagi menyerahkan urusan keberangkatan TKI dan persiapannya ke PJTKI.
”Tindakan yang paling sederhana adalah bagaimana membuat migrasi (buruh) itu tidak menguntungkan pebisnis. Bagaimana membuat migrasi menjadi sebuah pelayanan untuk warga negara Indonesia yang mudah diakses oleh siapa pun. Kalau sudah tidak menguntungkan (secara bisnis), orang menjadi tidak tertarik. Selama ini yang terjadi, urusan TKI menjadi industri, terlalu banyak (pihak) yang mengambil keuntungan,” kata Anis.
Menurut Anis, negara harus hadir melayani dan melindungi TKI, seperti halnya pengelolaan ibadah haji. Dengan demikian, biaya keberangkatan TKI plus komisi sponsor Rp 6 juta per TKI bisa dihapus. Begitu pula biaya pelatihan yang membengkak dari Rp 11 juta menjadi Rp 25 juta per calon TKI harus dihapus karena dibayar dengan memotong gaji TKI saat bekerja.
Revolusi dari desa
Persoalan laten lain dalam melindungi TKI adalah lemahnya peranan Perwakilan Tetap Republik Indonesia, seperti Kedutaan Besar RI dan Konsulat Jenderal RI di luar negeri. ”Ada mesin yang tidak berjalan. Banyak kasus TKI yang kami tangani ternyata tak terhubung dengan KBRI,” ujar Anis.
TKI bermasalah di luar negeri kerap mengambil jalan memutar untuk mendapatkan perlindungan negara. Mereka terpaksa mengirim pesan singkat meminta pertolongan kepada keluarga, yang kemudian mengadu kepada Migrant Care dan diadvokasi hingga ke berbagai pihak, seperti Kementerian Luar Negeri, Kementerian Ketenagakerjaan, dan Badan Nasional Penempatan dan Perlindungan Tenaga Kerja Indonesia. Tanpa cara ini, sulit rasanya pemerintah menggerakkan KBRI setempat untuk menangani kasus TKI.
”Memang ada pusat pengaduan telepon BNP2TKI. Tetapi, telepon kadang-kadang tidak diangkat. Sabtu-Minggu pun libur,” ujar Anis.
Persoalan lain yang menyulitkan koordinasi dan perlindungan TKI adalah belum tersedia bank data TKI yang terintegrasi. Data Kemenaker, Kemlu, dan BNP2TKI, serta Migrant Care justru berbeda-beda.
Saat ini, Migrant Care sudah merintis revolusi dari desa sejak dua tahun lalu. Ada 18 desa di Nusa Tenggara Barat, Nusa Tenggara Timur, Jawa Tengah, dan Jawa Timur yang hendak dikembangkan menjadi Desa Buruh Migran dengan ide pusat data terintegrasi tersebut.
Anis tahu jalan pembelaan hak TKI memang masih panjang.
One Response
numpang tanya gan,.kalau tki ilegal meninggal di panama amerika latin bisa pulang ga mayatnya??kluarganya menunggu soalnya