Wahyu Susilo
Direktur Eksekutif Migrant CARE
Teknologi digital memiliki wajah ganda dalam tata kelola ketenagakerjaan. Di satu sisi dia dapat dimanfaatkan untuk memudahkan proses perekrutan dan penempatan pekerja. Di sisi lain dia justru dapat digunakan pelaku perdagangan orang.
Hal kedua itulah yang baru-baru ini terjadi ketika sekelompok penjahat memanfaatkan teknologi digital untuk merekrut pekerja migran secara ilegal untuk tujuan kejahatan digital di kawasan Mekong (Kamboja, Laos, dan Myanmar) dan Filipina. Mereka memanfaatkan media sosial dan aplikasi percakapan daring untuk merekrut pekerja dengan iming-iming gaji yang tinggi dan fasilitas yang memadai. Pada kenyataannya, para pekerja itu dipekerjakan secara paksa untuk melakukan kejahatan digital (scamming online). Kasus ini baru mendapat perhatian pemerintah ketika ratusan korban menyampaikan keluh kesah mereka melalui media sosial dan menjadi tular.
Meski demikian, pemerintah Indonesia cenderung melihat dampak positif dari teknologi digital ini. Dalam dua tahun berturut-turut, misalnya, Indonesia mendapat kepercayaan untuk memimpin forum antarnegara di tingkat internasional dan regional. Pada 2022, Indonesia memegang presidensi G20 dan pada tahun ini memegang keketuaan ASEAN. Dalam dua acara besar tersebut Indonesia selalu mengajukan tema transformasi digital sebagai agenda prioritas di bidang ekonomi. Tema ini tentu sebagai respons atas peran teknologi digital yang dianggap memberi daya ungkit aktivitas ekonomi, terutama pada masa pandemi COVID-19, ketika sebagian besar aktivitas ekonomi, komunikasi publik, dan aktivitas sosial lainnya bertumpu pada teknologi digital.
Benarkah teknologi digital telah mendekatkan kelompok-kelompok marginal untuk keluar dari ketertinggalan dan meningkat kesejahteraannya? Atau teknologi digital malah memperlebar jurang ketimpangan dan mengeksploitasi kaum pekerja?
Penggunaan Teknologi Digital
Organisasi Buruh Internasional (ILO) memprediksi bahwa perkembangan teknologi digital akan mempengaruhi dinamika pekerjaan di masa depan (future of work). Akan ada pekerjaan-pekerjaan yang hilang dan akan ada pekerjaan-pekerjaan baru yang sebagian besar bertumpu pada teknologi digital.
Pandemi COVID-19 telah mengakselerasi dunia kerja dan teknologi digital lebih cepat dari prediksi semula. Namun, akselerasi tersebut tidak otomatis membuat dunia kerja menjadi lebih layak dan bahkan kerap melahirkan kerentanan baru.
Dalam setidaknya satu dekade terakhir, misalnya, jutaan pekerja di Indonesia terserap ke dalam perkembangan ekonomi digital seiring dengan munculnya perusahaan rintisan (start up), khususnya di sektor transportasi daring dan berbagai jenis jasa yang mengikutinya. Dalam demografi ketenagakerjaan, jumlah ini tentu menggembirakan dan memperlihatkan penyerapan tenaga kerja yang signifikan. Namun, bila ditelusur lebih jauh ihwal hubungan industrial dan
perspektif kerja layak, ada masalah serius yang dihadapi pekerja di sektor ini, terutama mengenai status pekerja dan pengupahan serta jaminan dan perlindungan sosial.
Oleh karena itu, dalam forum G20 tahun lalu, kelompok masyarakat sipil (C20) dan buruh (L20) mendorong adanya pembahasan mengenai pengakuan posisi pekerja pada platform digital dan perlindungannya ketika para pemimpin G20 mengagendakan transformasi digital sebagai prioritas. Sayangnya, desakan ini tidak diakomodasi dalam hasil Konferensi Tingkat Tinggi G20 pada November lalu.
Pekerja Migran
Sementara itu, dalam tata kelola migrasi tenaga kerja, upaya untuk mendorong penggunaan teknologi digital dalam mendukung perlindungan pekerja migran memunculkan optimisme dalam penyederhanaan proses perekrutan dan penempatan pekerja migran yang selama ini sering jadi keluhan.
Pada 2018, tema ASEAN Forum Migrant Labour di Singapura bertajuk “Digitalisasi untuk Mempromosikan Kerja Layak bagi Pekerja Migran di ASEAN”. Forum ini menghasilkan sejumlah rekomendasi mengenai digitalisasi untuk mendukung tata kelola migrasi dan layanan pekerja migran.
Pada kenyataannya, belum ada perkembangan yang signifikan dari upaya ini. Proses pengambilan keuntungan yang tidak sah terjadi dan sebagian besar bersumber dari mata rantai perekrutan dan administrasi tata kelola pekerja migran yang menempel pada birokrasi kependudukan, ketenagakerjaan, dan keimigrasian. Proses ini masih terus berlangsung di tengah gempita transformasi birokrasi menuju e-government.
Pada awal 2020, Migrant CARE mengkaji efektivitas aplikasi digital Kementerian Ketenagakerjaan, BP2TKI (sebelum berubah menjadi BP2MI), dan Kementerian Luar Negeri yang ditujukan kepada (calon) pekerja migran Indonesia. Kajian itu menemukan sekitar 12 aplikasi digital itu diunduh tak lebih dari 2.000 pengguna. Hanya ada satu aplikasi yang diunduh sekitar 65 ribu pengguna. Ini memperlihatkan bahwa aplikasi tersebut dianggap tidak memberi manfaat bagi (calon) pekerja migran.
Proses transformasi digital untuk mendukung pelayanan migrasi tenaga kerja yang aman dan murah masih belum memperlihatkan kemajuan yang signifikan. Belum lama ini, Kementerian Ketenagakerjaan berupaya untuk mengintegrasikan data dan layanan berbasis digital ke dalam aplikasi Siapkerja.id tapi langkah ini kurang mendapatkan dukungan dari kementerian dan lembaga lain serta pemerintah daerah.
Ketika penggunaan teknologi digital dalam proses perekrutan calon pekerja migran tidak dilandasi oleh keinginan untuk memastikan kerja layak bagi pekerja migran, yang terjadi adalah eksploitasi dan bahkan mengarah pada praktek perdagangan orang. Dalam satu dekade terakhir, Migrant CARE menemukan perekrutan dan bahkan ”jual-beli” pekerja migran di platform marketplace, yang biasanya digunakan untuk jual-beli barang di Malaysia, Singapura, dan Arabi Saudi.
Mekanisme perekrutan langsung pekerja rumah tangga (PRT) migran Indonesia ke Malaysia melalui skema Maid Online System yang diterapkan Malaysia malah berpotensi terjadinya perekrutan tanpa kontrol karena pemerintah Indonesia tidak bisa mendapatkan akses data pekerja migran dan calon majikan di sana. Skema ini menjadi penghambat implementasi nota kesepahamaan antara Indonesia dan Malaysia mengenai penempatan dan perlindungan PRT migran Indonesia di Malaysia.
Menurut riset IPAC (2017), teknologi digital dan media sosial menjadi alat yang efektif untuk merekrut pekerja migran menjadi simpatisan dan pelaku gerakan ekstremisme kekerasan dan pendanaan terorisme. Oleh karena itu, dalam peringatan hari anti-perdagangan manusia tahun lalu, Perserikatan Bangsa-Bangsa menetapkan tema ”Use and Abused Technology”. Tema ini memberi pesan bahwa teknologi bisa membantu tetapi sekaligus juga bisa disalahgunakan untuk eksploitasi pekerja sehingga terjadi praktek perdagangan manusia.
Realitas tersebut memperlihatkan bahwa perkembangan teknologi digital memang sangat mempengaruhi dunia kerja, pekerjaan, dan kaum pekerja. Namun, jika tidak disertai dengan perspektif pemenuhan hak-hak pekerja dan agenda global perwujudan kerja layak, teknologi digital akan menjadi instrumen eksploitasi dan prekrariatisasi kaum pekerja, termasuk pekerja migran.
Langkah para pemimpin negara anggota ASEAN yang menyerukan Deklarasi Memerangi Perdagangan Orang Melalui Penyalahgunaan Teknologi dalam KTT ASEAN di Labuan Bajo patut diapresiasi dan didukung. Namun, harus ada langkah-langkah konkret untuk mengimpelementasikan komitmen tersebut. Aparat penegak hukum di negara-negara ASEAN, misalnya, harus tanggap, responsif, dan memiliki kapasitas dan pengetahuan yang memadai mengenai penyalahgunaan teknologi digital dalam proses perekrutan pekerja.
Penyedia jasa layanan elektronik yang membuat platform digital dan aplikasi sosial media juga harus memastikan produk-produk mereka tidak menjadi media promosi dan perekrutan untuk perdagangan orang dengan kedok iklan lowongan kerja. Langkah ini merupakan implementasi dari prinsip bisnis dan hak asasi manusia untuk memastikan bahwa seluruh bisnis penyedia jasa elektronik tidak memfasilitasi pelanggaran hak asasi manusia dan eksploitasi pekerja.