Koalisi Lintas Agama Perangi Perdagangan Manusia

Koalisi Lintas Agama Perangi Perdagangan Manusia

Indonesia, 29 Juli 2020 – Menjelang peringatan Hari Melawan Perdagangan Manusia Internasional (World Day Against Trafficking in Person) yang diperingati pada tanggal 30 Juli setiap tahunnya, Migrant CARE, Vivat Indonesia, Fahmina Institute, dan Institut DIAN/Interfidei, yang tergabung dalam jaringan Zero Human Trafficking Network (ZTN) menyelenggarakan konferensi pers virtual dengan para aktivis lintas agama bertajuk Memerangi Perdagangan Manusia di Masa Pandemi.

“Kami dari perwakilan aktivis dan agamawan, 34 lembaga yang memiliki visi memerangi perdagangan manusia, bergabung secara resmi dalam koalisi Zero Human Trafficking Network di Labuan Bajo pada tahun 2018 lalu,” ucap Elga Sarapung, Direktur Institut DIAN/Interfidei sekaligus Sekretaris ZTN. Peran agamawan diyakini menjadi kunci utama pemberantasan perdagangan manusia khususnya di wilayah-wilayah basis Pekerja Migran Indonesia dan perbatasan Indonesia-Malaysia. “Kami ingin sekali ini (memerangi perdagangan manusia, red) menjadi gerakan bersama, terutama bagi jemaat agama-agama dan pimpinan agama,” tambahnya.

Pandemi Covid-19 yang berdampak di segala sektor, berkelindan dengan situasi perdagangan manusia yang kian rentan. Sr. Genobeba Amaral, SSpS., dari VIVAT Indonesia menceritakan pengalamannya mendampingi korban trafficking dengan modus pengantin pesanan. “Kejadiannya baru bulan November tahun lalu, korban diiming-imingi untuk mencari jodoh di Taiwan melalui chatting messenger. Setelah dipindah ke beberapa kota untuk proses pernikahan, korban curiga karena identitasnya berubah lalu melapor ke kami dan kami bawa ke shelter,” tutur Suster Geno. Fenomena tersebut terekam dalam SIMFONI PPA (Sistem Informasi Online Perlindungan Perempuan dan Anak), Maria Ulfah selaku Komisioner Komnas Perempuan, menambahkan catatannya. “Data SIMFONI PPA menunjukkan korban trafficking sebagian besar adalah perempuan atau anak perempuan. Hal ini diakibatkan relasi kuasa yang tidak setara yang di dalamnya terdapat ketidakadilan gender,” tuturnya. Ia juga menambahkan perlunya upaya preventif yang sistemik dari hulu ke hilir. “Di hulu kita harus memikirkan bagaimana keluarga terlindungi dari tipudaya trafficking ini. Ada faktor budaya juga yang menjadi alasan pembiaran trafficking terjadi –agamawan bisa masuk untuk melakukan upaya penyadaran. Peran pemerintah juga perlu diperkuat,” tambahnya.

Selain modus baru yang menggunakan pemanfaatan teknologi, persoalan pendampingan dan reintegrasi korban juga menjadi tantangan para aktivis di lapangan. Wahyu Susilo, Direktur Eksekutif Migrant CARE mengingatkan pentingnya perlindungan bagi para aktivis, seperti tema global Hari Melawan Perdagangan Manusia Internasional tahun ini orang – Commited to The Cause: Working on The frontline to End Human Trafficking. “Di masa pandemik ini, selain hambatan mobilitas dalam layanan untuk para korban perdagangan manusia, kebijakan sekuritisasi yang berpotensi pada kriminalisasi pada para aktivis pembela korban perdagangan manusia juga terjadi,” pungkas Wahyu.

Tentang Penyelenggara

Zero Human Trafficking Network (ZTN) adalah sebuah koalisi pelbagai organisasi masyarakat sipil dan lembaga sosial lintas iman yang memiliki visi “Zero human trafficking”. ZTN berkomitmen menentang perdagangan orang dan melawan perbudakan modern dalam berbagai bentuknya di Indonesia, Asia Tenggara, dan seluruh dunia. Koalisi ini di­bentuk berdasarkan kesepakatan para peserta Pertemuan Kelompok Konsultasi Anti Per­dagangan Manusia di Labuan Bajo, Flores, NTT, pada 31 Oktober sampai 2 November 2018.

Selengkapnya mengenai ZTN dapat dibaca dalam buletin perdana ‘Memoria Passionis’ yang dapat diunduh melalui tautan berikut http://gg.gg/buletinZTN

TERBARU