Wawasan dari Migration and Development Brief 32 (laporan Bank Dunia dirilis 22 April 2020)
Remitansi migran telah menjadi garis keberlangsungan ekonomi bagi rumah tangga miskin di banyak negara; berkurangnya arus remitansi akibat COVID-19 kemungkinan akan memperluas kemiskinan dan mengurangi akses rumah tangga dalam mendapat pelayanan kesehatan yang memadai.
Dana Moneter Internasional (International Monetary Fund/IMF) telah memprediksi kondisi perekonomian dunia tahun ini hingga pertengahan tahun 2021. Ekonomi dunia diperkirakan mengalami kontraksi sebesar 3 persen pada tahun 2020 dalam skenario baseline (perubahannya hampir sebesar 6 persen dibandingkan dengan tahun 2019). Ekonomi negara maju diproyeksikan menurun sekitar 6,1 persen, sementara 1,0-2,2 persen untuk ekonomi negara berkembang. Tidak hanya itu, risiko besar resesi ekonomi ini akan diperkirakan berlanjut hingga tahun 2021.
Pada tahun 2019, aliran remitansi ke negara-negara berpenghasilan rendah dan menengah (low-middle income countries/ LMICs) berjumlah sekitar USD 554 miliar, namun angka ini diperkirakan menurun menjadi sekitar USD 445 miliar pada tahun 2020 – penurunannya 20 persen. Di Indonesia, penurunan diperkirakan mencapai 13 persen.
Keberlangsungan investasi asing langsung mengalami disrupsi akibat pembatasan perdagangan, perjalanan internasional, dan anjloknya harga saham perusahaan multinasional. Peran remitansi kini menjadi lebih penting dari sebelumnya, bahkan dengan angka arus kas yang menurun.
Dalam gambaran besar, dinilai berdasarkan Tujuan Perkembangan Berkelanjutan (SDGs) dan tiga indikator spesifik yang ditargetkan langsung untuk remitansi, dimana Bank Dunia sebagai pengawas, tampak bahwa perkembangan ketiga indikator tersebut akan melambat di tahun 2020. Bidang-bidang tersebut meliputi:
- Meningkatkan volume remitansi sebagai persentase dari produk domestik bruto (PDB) (indikator SDG 17.3.2),
- Mengurangi biaya remitansi (indikator SDG 10.c.1),
- Mengurangi biaya rekrutmen yang dibayarkan oleh pekerja migran (indikator SDG 10.7.1).
Terhitung pada kuartal pertama 2020, biaya rata-rata remitansi global turun dari 6,9 persen (2019) menjadi 6,8 persen. Meskipun ini masih jauh di atas target 3 persen SDG, sekilas kemajuan ini mungkin berkat penggunaan saluran digital yang lebih besar, meskipun, seperti yang akan dibahas, mereka memiliki tantangannya sendiri juga.
Karena tidak begitu dianggap sebagai layanan penting, penyedia jasa remitansi (remittance service providers/ RSPs), seperti kebanyakan bisnis dan industri lainnya, telah dipengaruhi oleh lockdown, pembatasan sosial, dan jam pengoperasian bisnis yang terbatas. Hal ini menyebabkan pekerja migran harus berpindah dari bentuk pengiriman remitansi yang lebih konvensional (seperti melalui layanan berbasis tunai dan operator remitansi), menjadi transfer secara elektronik dan instrumen pembayaran digital.
Hambatan dari peralihan teknis tersebut adalah bahwa kelas menengah kebawah migran tidak memiliki akses ke layanan daring yang mumpuni. Golongan kelas menengah kebawah di negara berpenghasilan rendah juga cenderung tidak memiliki akses ke rekening transaksi untuk menerima remitansi. Selain itu, metode konvensional juga mengharuskan penyedia jasa remitansi untuk waspada terhadap penipuan dan kejahatan keuangan. Serta untuk mematuhi peraturan IMF terkait anti pencucian uang dan pendanaan terorisme, diperlukan adanya uji tuntas secara berkala. Perlu juga diingat bahwa SDM yang cukup sangatlah penting, karena apabila jumlahnya tidak memadai maka akan sulit untuk memenuhi syarat tersebut.
Selain memenuhi kebutuhan dasar dan menjunjung tinggi hak asasi kelompok marginal ini, pihak berwenang juga harus memberi perhatian lebih dan bekerja sama dengan penyedia jasa remitansi untuk memantau transisi ke saluran-saluran jasa remitansi kurang formal. Pembayaran digital dengan komisi terjangkau harus dapat diakses dengan mudah oleh pekerja migran, dilengkapi dengan peraturan yang memadai dan efisien untuk saluran-saluran ini.
Hubungan dampak krisis ini dengan pekerja migran dan remitansi tidak dapat dipandang sebelah mata. Pada krisis-krisis yang terjadi sebelumnya dalam skala yang bervariasi, kita dapat memperhatikan dua pola peristiwa, yang tampaknya tidak umum terjadi dalam krisis COVID-19 saat ini.
- Peralihan lintas sektoral oleh pekerja migran. Di saat krisis keuangan global di tahun 2009 melanda, banyak pekerja migran yang memilih untuk beralih dari sektor konstruksi ke (contohnya) sektor pertanian dan ritel. Namun di era ini, peralihan lintas sektor merupakan suatu tantangan, terutama bagi pekerja yang dikategorikan informal dan tidak berdokumen. Ditambah lagi fakta bahwa jenis-jenis sektor pekerjaan yang membutuhkan lebih banyak pekerja dalam krisis ini memerlukan keterampilan dan pelatihan, seperti dalam sektor kesehatan dan teknologi informasi, di mana para pekerja yang dikategorikan informal tidak memenuhi syarat kerja di sebagian sektor tersebut.
- Kontra-siklis remitansi. Pada saat krisis yang terjadi akibat pandemi flu burung di tahun 2003 yang melanda sebagian besar negara di Asia, penelitian menemukan bahwa para migran cenderung meningkatkan jumlah remitansi ke keluarga dan komunitas asal mereka selama masa-masa sulit. Rendahnya kemungkinan bahwa tren ini terjadi disaat pandemi COVID-19 melanda dikarenakan sifat pandemi yang global – kondisi yang secara bersamaan mempengaruhi negara tujuan dan negara asal lah yang menghambat pekerja untuk mengirimkan uang lebih ke keluarga di negara asal.
Sebagaimana ditekankan oleh Bank Dunia dan Organisasi Internasional untuk Migrasi (IOM), bukanlah hal asing bahwa remitansi diakui dan dihargai karena memainkan peran penting dalam pengentasan kemiskinan di negara-negara berpendapatan rendah. Suntikan uang tunai yang konsisten ke keluarga dan masyarakat telah menunjukkan peningkatan gizi, pengeluaran yang lebih tinggi untuk pendidikan, dan berkurangnya pekerja anak di kalangan kelas ekonomi menengah kebawah di berbagai belahan dunia. Peran dalam memiliki penghasilan yang dapat diprediksi semakin meningkat dimana adanya potensi tanggungan biaya perawatan kesehatan dan hidup yang lebih besar berkaitan dengan pandemi saat ini. Literasi keuangan dalam komunitas penerima remitansi sangatlah penting. Hal tersebut untuk memastikan bahwa remitansi dapat membangun rumah tangga dan komunitas yang tangguh, kohesif dan makmur melalui tabungan, investasi, dan peningkatan kemandirian. COVID-19 adalah sebuah bentuk ujian untuk kita dalam berbagai hal, dan ini juga merupakan kesempatan agar kita dapat lebih memahami bagaimana komunitas penerima mengatur dan menanggulangi penurunan pendapatan yang masuk serta ketergantungannya pada remitansi.
Migrant CARE hingga saat ini terus memaksimalkan peranan inisiatif (DESBUMI), bekerja sama dengan instansi pemerintah dan multi-pihak untuk memastikan agar para pekerja migran dan keluarganya dapat menghadapi masa-masa sulit ini dengan tangguh. Khususnya mereka agar tetap mendapatkan bantuan yang mereka butuhkan saat ini, seperti jaring pengaman sosial dan skema perlindungan. Sangatlah penting bagi pihak terkait untuk bekerja bersama dalam:
- mengatasi tantangan pengiriman remitansi (baik dalam bentuk konvensional maupun digital),
- mengatasi tantangan kemampuan komunitas asal untuk menerimanya,
- memperbaiki strategi untuk memaksimalkan manfaat remitansi dalam jangka panjang, serta
- terus memperbaiki kemampuan adaptasi komunitas asal dalam menghadapi krisis di masa depan.