21 December 2024 23:07
Search
Close this search box.

Tiada Minggu Pagi Di Victoria Park

MASIH ingat film “Minggu Pagi di Victoria Park” besutan aktris cum sutradara Lola Amaria? Film itu berkisah tentang keceriaan buruh migran Indonesia di Hongkong. Pembuatan film yang didukung oleh Kemenakertrans dan BNP2TKI (saat itu) memang bermaksud mengukuhkan anggapan yang selama ini selalu dikedepankan oleh dua lembaga negara tersebut;Hongkong surga bagi buruh migran Indonesia.
Benarkah? Mungkin anggapan tersebut berbasis pada tingkat upah buruh migran Indonesia di Hongkong yang relatif lebih tinggi ketimbang upah di negara tujuan buruh migran Indonesia yang lain. Namun, bagaimana realitas sebenarnya di balik upah yang katanya “tinggi” tersebut?

Dalam sepuluh tahun terakhir, berbagai organisasi buruh migran Indonesia yang ada di Hongkong konsisten memperjuangkan diakhirinya praktik eksploitatif dalam sistem penempatan buruh migran Indonesia ke Hongkong. Praktik eksploitatif tersebut adalah pembayaran upah di bawah standar layak Hongkong, pemotongan gaji sewenang-wenang serta kewajiban untuk menggunakan jasa agensi/PPTKIS dalam perpanjangan kontrak. Praktik-praktik tersebut sebenarnya merupakan tindakan melawan hukum di Hongkong, karena Pemerintah Hongkong sendiri telah membebaskan buruh migran dari negara manapun untuk memperbarui kontrak tanpa melalui jasa pihak ketiga.

Anggapan bahwa kehidupan buruh migran Indonesia di Hongkong tak terlalu banyak masalah seperti di negara-negara lain mulai surut ketika kasus kekerasan brutal yang dialami Erwiana awal tahun ini menyeruak dan menyulut kemarahan publik. Kesediaan Erwiana memberi kesaksian atas derita yang dialaminya membuka kotak pandora mengenai realitas eksploitasi buruh migran Indonesia di Hongkong.

Studi Bank Dunia tentang Remittance and Development yang dipublikasikan pada Oktober 2013 menemukan fakta ironis. Studi itu memperlihatkan bahwa buruh migran Indonesia di Hongkong adalah pembayar biaya rekrutmen terbesar di dunia (sekitar US$ 2.708) dibanding buruh migran dari negara lain (misalnya, buruh migran Filipina hanya membayar US$ 1.719), namun menjadi penerima upah terendah di Hongkong ketimbang buruh migran dari negara lain.

Beban tersebut semakin terasa berat ketika Undang-Undang Nomor 39 Tahun 2004 tentang Penempatan dan Perlindungan TKI di Luar Negeri (khususnya pasal 59) mewajibkan buruh migran Indonesia yang bekerja sebagai pekerja rumah tangga diharuskan pulang ke Tanah Air terlebih dahulu jika berkeinginan untuk memperpanjang kontrak dan mengharuskan mereka memproses perpanjangan kontrak tersebut hanya melalui PPTKIS. Inilah mata rantai yang menjerat buruh migran Indonesia yang bekerja sebagai pekerja rumah tangga di Hongkong (dan negara-negara lain) dalam eksploitasi tak berujung. Watak diskriminatif pasal 59 UU No.39/2004 itu akhirnya dinyatakan inkonstitusional dan tidak berlaku lagi oleh Mahkamah Konstitusi RI pada 16 Oktober 2014. Uji materi itu diajukan oleh tiga PRT migran Indonesia yang mengalami sendiri pengalaman eksploitatif akibat pasal yang diskriminatif.

Memahami secara utuh lingkaran penderitaan yang dialami buruh migran Indonesia yang bekerja di Hongkong akan membuat kita tidak melakukan penghakiman yang dangkal dan “moralis” terhadap dua WNI korban pembunuhan sadis bankir Inggris di Hongkong. Minggu-minggu ini kita diharubiru oleh tragedi pembunuhan keji yang dialami 2 orang perempuan Indonesia di Hongkong. Namun, pemberitaan media massa yang sensasional mengenai “kehidupan glamour”dua perempuan Indonesia itu sangat tidak empati dan menyakiti perasaan keluarga korban.

Investigasi yang dilakukan Migrant CARE dan beberapa organisasi buruh migran di Hongkong menunjukkan bahwa kedua korban adalah buruh migran yang bekerja di Hongkong melalui prosedur resmi, namun terpaksa menjadi overstay (setelah kontraknya berakhir) karena tidak bersedia memperpanjang kontrak melalui PPTKIS yang eksploitatif. Dalam kondisi sebagai overstayer, ruang gerak buruh migran Indonesia tentu tak seleluasa mereka yang melalui prosedur resmi dan terkadang masuk dalam jebakan sindikat trafficking (perdagangan manusia). Karena itu, kerentanan yang dihadapi oleh dua perempuan Indonesia hingga berujung pada kematian tragis tak dapat dipisahkan dari pola eksploitasi yang sistematik dalam skema rekrutmen buruh migran Indonesia di Hongkong yang berbiaya tinggi dan menguntungkan agensi dan PPTKIS.

Nah, mungkin saat-saat ini banyak buruh migran Indonesia di Hongkong tak sempat lagi menikmati minggu pagi yang cerah di Victoria Park. Mereka relakan hari liburnya dan bergabung dalam barisan massa yang digerakkan organisasi buruh migran Indonesia Hongkong berdemonstrasi di depan Konsul Jenderal Republik Indonesia di Hongkong menuntut penghapusan sistem rekrutmen yang eksploitatif dan telah memakan korban. Mereka juga pasti akan menagih janji Jokowi yang dalam masa kampanye menjanjikan perlindungan yang lebih konkret untuk buruh migran Indonesia.***

Sumber: http://prismaindonesia.com/index.php/editorial/item/370-tiada-minggu-pagi

TERBARU