Bagi warga Desa Tanggulangin, surat rekomendasi dari Pusat Pelayanan Terpadu (PPT) bagaikan surat sakti yang dapat memberangkatkan mereka bekerja di luar negeri. Tanpa adanya surat ini, calon pekerja tidak akan bisa membuat dokumen Surat Keterangan Catatan Kepolisian (SKCK) di Polsek setempat. Selain surat rekomendasi, ada pula kewajiban untuk menyerahkan fotocopy paspor dan Perjanjian Kerja (PK) ke PPT. “Kalau warga yang mau berangkat tidak menyerahkannya, maka kami akan mengejar keluarganya,” ucap Komarudin, Kepala Seksi Pelayanan Desa Tanggulangin. Inventarisasi dokumen tersebut menjadi upaya perlindungan yang dilakukan Desa, sehingga apabila di masa yang akan datang terjadi sesuatu yang tidak diinginkan, desa sudah memiliki basis data warganya yang berangkat ke luar negeri.
Sebelum menjadi Perangkat Desa, Komar adalah mantan buruh migran yang bekerja selama delapan tahun di Arab Saudi. Ia aktif membangun PPT dan kelompok buruh migran SERBUMI sejak tahun 2014. Ia juga turut mendorong lahirnya lahirnya Peraturan Desa (Perdes) Tanggulangin Nomor 7 Tahun 2015 tentang Perlidungan Calon Tenaga Kerja dan Anggota Keluarganya Desa Tanggulangin. Lahirnya Perdes tersebut tidak kemudian membuat upaya perlindungan menjadi tanpa hambatan.
Menurut Komar, kendala yang saat ini dihadapi Desa adalah calon TKI yang berangkat dari perekrutan di sekolah. Praktik seperti ini biasanya terjadi di Sekolah Menengah Kejuruan (SMK). Karena mereka yang berangkat melalui jalur ini tidak membutuhkan SKCK sehingga tidak ada kebutuhan untuk membuat surat rekomendasi melalui PPT. Cukup surat izin orangtua maka mereka dapat berangkat ke luar negeri. Biasanya perekrutan ini terjadi setelah anak-anak menempuh ujian sekolah. Belum dinyatakan lulus, mereka nekad berangkat dengan ijasah SMP. Suatu kondisi yang amat rentan, mengingat banyak pula terjadi kasus yang terjadi menjerat korban dari SMK. Kasus terakhir yang menjerat warga Kebumen adalah 35 siswa SMK yang ditahan di Selangor, Malaka, karena bekerja tidak sesuai dengan PK-nya, dua korban diantaranya adalah warga Desa Tanggulangin.
“Mereka biasanya diiming-imingi pekerjaan di Malaysia atau Jepang, namun gajinya kecil dan potongannya amat besar,” ucap Komar. Fenomena ini membuat kita mempertanyakan posisi pihak sekolah yang lalai dan hanya ingin mengeruk keuntungan. Alih-alih siswanya cepat bekerja, mereka malah menjadi korban. “Sebenarnya sudah ada Perdes yang tidak boleh dilangkahi, jadi seharusnya mereka melapor ke desa dulu,” pungkas Komar.