Hari ini kita memperingati dan mengenang sosok buruh perempuan yang 25 tahun lalu telah meninggal dengan tak layak. Ia adalah Marsinah, sosok buruh perempuan yang aktif menuntut kenaikan upah di tempat ia bekerja, Pabrik Arloji PT catur Putra Surya. Sesuai dengan Surat Edaran Gubernur KDH Tingkat I, Jawa Timur, No.50/Th. 1992, ia menuntut kenaikan upah dari Rp 1.700 per hari menjadi Rp 2.250. Tak jarang setiap kali melakukan aksi, ia selalu berada di garis depan.
Keberaniannya tersebut, berujung pada kematian. Pada 8 Mei 1993, Marsinah ditemukan tak bernyawa di hutan Dusun Jegong, Desa Wlangan, Kabupaten Nganjuk, Jawa Timur. Tubuhnya ditemukan dalam keadaan penuh luka, tangannya lecet bekas ikatan, tulang selangkangan dan vaginanya hancur. Dalam penuturannya di Mata Najwa edisi X-File (18 September 2013), Abdul Mun’im Idries, ahli forensik RSCM, mengungkapkan bahwa luka pada bagian kemaluan Marsinah bukan karena benda tumpul, melainkan peluru yang ditembakkan. Pelakunya tentu saja orang yang dapat mengakses senjata api pada saat itu.
Pemerintah abai terhadapnya, pengusutan kasusnya berakhir begitu saja tanpa ada kejelasan. Sampai sekarang kasus kematian Marsinah masih abu-abu. Belum terungkap siapa dalang dan pelaku dibalik kematiannya. Hal tersebut menandakan adanya catatan kelam negara dalam menegakkan keadilan.
Perjuangan Marsinah hingga kini masih relevan. Penderitaan buruh tidak berkurang, terutama buruh perempuan, yang sering dikondisikan dalam posisi lemah dan bersalah secara sistematis. Tidak jauh berbeda pula dengan yang dialami oleh buruh migran Indonesia. Tingginya arus migrasi buruh migran perempuan, diiringi dengan tingginya kasus yang menjerat mereka. Tahun lalu, 84 persen kasus yang diterima oleh Migrant CARE adalah kasus pekerja migran perempuan. Kasusnya meliputi perdagangan orang, permasalahan kontrak kerja, asuransi, dokumen, dan gaji. Hal ini semakin menegaskan bahwa pekerja migran perempuan masih rentan menjadi objek eksploitasi dalam situasi kerja dan migrasi yang tidak aman.
Kasus perdagangan manusia yang menimpa Wilfrida Soik, Satinah, Suyanti, Siti Aisyah, Dwi Wulandari, Siti Zaenab, Adelina Sou, Dolfina, Nirmala Bonnat, Merri Utami dan yang lainnya, bahkan hingga kehilangan nyawa bekerja di luar negeri adalah pertanda perlindungan negara bagi pekerja migran belum maksimal.
Sejak dari hulu sampai hilir, jalur yang dilewati buruh migran Indonesia, penuh dengan jeratan masalah. Padahal kontribusi mereka bagi perekonomian Indonesia sangatlah besar. Berdasarkan laporan Bank Dunia dalam Migration and Development edisi 29 yang berisikan estimasi volume remitansi sepanjang tahun 2017, Indonesia masuk menjadi 10 besar pengirim remitansi terbanyak di dunia. Sedangkan di kawasan Asia Timur dan Pasifik, Indonesia menjadi negara paling besar menyumbang remitansi di sepanjang 2017.
Pemerintah seharusnya tidak abai terhadap kasus-kasus yang menimpa pekerja migran. Perlindungan harus diberikan tanpa diskriminasi, bahwa meskipun mereka berada di luar negeri namun mereka berhak mendapatkan perlindungan yang maksimal. Pemerintah Indonesia harus memberikan perlindungan dengan pendekatan yang berbasis hak asasi manusia, menjamin hak bekerja bagi pekerja migran, pro aktif memberi perlindungan baik dalam bantuan hukum maupun diplomasi politik. Pemerintah jangan sampai terjebak dalam skema pemikiran untung rugi dalam melindungi warga negaranya.