24 November 2024 07:50
Search
Close this search box.

Pernyataan Sikap Migrant CARE untuk Hari Buruh Migran Sedunia 2017

SIARAN PERS

Pernyataan Sikap Migrant CARE untuk Hari Buruh Migran Sedunia
18 Desember 2017

Sepanjang tahun 2017 ada banyak peristiwa politik ekonomi, baik di tingkat global dan nasional mempengaruhi dinamika migrasi tenaga kerja dan tentu saja nasib kaum buruh migran Indonesia. Ini tentu saja memperlihatkan bahwa fenomena migrasi tenaga kerja dan peluh keringat buruh migran merupakan salah satu faktor kunci dalam gerak politik ekonomi global, tak terkecuali para buruh migran Indonesia.

Namun demikian, walau mereka menjadi salah satu faktor kunci dalam gerak politik ekonomi global, kerentanan-kerentanan yang dihadapinya tidak serta merta mendapat perhatian serius dari negara bahkan ada kebijakan-kebijakan yang dibuat oleh negara melahirkan kerentanan-kerentanan baru yang dialami oleh buruh migran.

Situasi Buruh Migran Indonesia Di Tahun 2017

Menurut catatan Migrant CARE, di sepanjang tahun 2017, masih terjadi berbagai kasus yang dialami oleh buruh migran Indonesia dalam berbagai jenis pelanggaran hak asasi manusia. Penyiksaan keji yang dialami oleh Suyantik, PRT migran Indonesia yang bekerja di Malaysia adalah kejadian yang berulang-ulang dialami oleh perempuan yang bekerja di sektor rumah tangga. Ini merupakan bentuk kekerasan berbasis gender dan jenis pekerjaan yang dianggap rendah. Pada paroh pertama tahun 2017, Migrant CARE juga membongkar praktek perbudakan yang dialami oleh buruh migran perempuan Indonesia yang dipekerjakan tidak sesuai dengan kontrak oleh industri pengolahan makanan berbasis sarang burung walet, Maxim. Kasus ini juga menguak bentuk diskriminasi penegakan hukum oleh otoritas Malaysia, karena para korban perbudakan ini malah dikriminalisasi sebagai buruh migran tak berdokumen dengan memenjarakan mereka di kamp imigrasi.

Masih di Malaysia, sejak bulan Juli 2017, ratusan ribu bahkan jutaan buruh migran Indonesia juga menjadi sasaran razia otoritas Malaysia yang mengakhiri program amnesti (6P). Program Amnesti (6P) ini juga gagal memenuhi target melegalkan ratusan ribu buruh migran dari berbagai negara karena program ini dimanfaatkan oleh pihak ketiga (yang ditunjuk menjadi agen pengurusan dokumen) untuk mendapatkan keuntungan secara maksimal dengan memungut biaya sebesar-besarnya dari buruh migran yang mengurus dokumennya. Penunjukan pihak ketiga dalam pengurusan dokumen juga membuka ruang penyuapan dengan aparat pemerintah Malaysia maupun aparat pemerintah Indonesia, ini terbukti dengan terungkapnya tindak pidana korupsi yang dilakukan oleh Atase Imigrasi KBRI Malaysia oleh pihak KPK.

Walau pemerintah Indonesia telah menetapkan penghentian pemberangkatan buruh migran ke Saudi Arabia dan negara-negara di kawasan Timur Tengah sejak 1 Juli 2015, namun berbagai pihak menemukan fakta bahwa aliran migrasi tenaga kerja ke Timur Tengah tidak berhenti. Tahun lalu Migrant CARE merilis survey bahwa setidaknya ditemukan 3000 lebih perempuan-perempuan Indonesia tetap nekad untuk bekerja di Timur Tengah melalui berbagai modus, tidak hanya melalui jaringan perekrut tenaga kerja tetapi juga melalui mekanisme umroh dan haji. Pada bulan Januari-Februari 2017, Migrant CARE juga mendapatkan pengaduan adanya penyekapan yang dialami oleh sekitar 300 perempuan di kawasan Riyadh, Saudi Arabia. Mereka, yang sebagian besar berasal dari Nusa Tenggara Barat, ditempatkan pada masa penghentian permanen. Di bulan September 2017, juga terungkap sindikat perdagangan manusia yang nekad menempatkan perempuan Indonesia untuk bekerja di kawasan konflik bersenjata Suriah.

Realitas ini memperlihatkan bahwa kebijakan pelarangan penempatan buruh migran adalah kebijakan yang selain berpotensi melanggar HAM (terutama hak bermobilitas dan hak bekerja), juga berpotensi membuka ruang terjadinya praktek perdagangan manusia dengan memanfaatkan banyaknya keinginan untuk tetap bekerja di wilayah yang dilarang. Kawasan Timur Tengah memang merupakan kawasan yang belum ramah bagi buruh migran, namun moratorium ataupun penghentian permanen bukan satu-satunya jalan keluar penyelesaiannya. Tingginya permintaan agar buruh migran Indonesia bisa bekerja lagi disana harus dijawab dengan keberanian untuk mendesak dan menuntut agar negara-negara tujuan buruh migran di Timur Tengah bersedia membuat bilateral agreement mengenai perlindungan (terutama) PRT migran dan mengakhiri praktek perbudakan yang ada dalam kaffala system.

Kawasan perairan (selat, laut dan samudra) juga kerap jadi wilayah kerentanan bahkan kuburan bagi buruh migran Indonesia. Di perairan Selat Malaka kerap terjadi kecelakaan maut yang dialami oleh kapal-kapal pengangkut buruh migran Indonesia, baik untuk tujuan ke wilayah Indonesia maupun wilayah Malaysia. Ini akibat dari tingginya biaya pemrosesan dokumen yang menyatu dengan biaya pengangkutan/transportasi untuk proses amnesti (6P). Pilihan melalui jalur laut merupakan pilihan beresiko. Di kawasan Laut Sulawesi, ABK-ABK Indonesia kerap menjadi sasaran penyanderaan kelompok militan bersenjata Philipina Selatan. Di sepanjang tahun 2017, Migrant CARE juga menerima dan menangani pengaduan kasus penipuan dan kekerasan yang dialami oleh para buruh migran Indonesia yang bekerja di kapal-kapal pencari ikan berbendera asing. Kerentanan yang dialami selain ketidakjelasan instrumen legal yang mengcover mereka, juga tentang kondisi kerja dan sistem pengupahan yang hampir sama sekali tidak ada kontrol untuk memastikan mereka bekerja secara layak. Kecelakaan kerja yang dialami oleh buruh migran Indonesia yang bekerja sebagai ABK di kapal pencari ikan berbendera asing bisa mengakibatkan cacat anggota tubuh secara permanen bahkan kematian.

Hal yang juga menonjol dialami oleh buruh migran Indonesia di tahun 2017 adalah berada dalam jebakan sindikat kejahatan transnasional terorganisir. Siti Aisyah, buruh migran Indonesia asal Serang, Banten, saat ini harus menghadapi tuduhan terlibat dalam pembunuhan kerabat petinggi politik Korea Utara. Dalam investigasi Migrant CARE dan keterangan-keterangan yang terungkap di persidangan, besar kemungkinan Siti Aisyah adalah korban sindikat kejahatan politik tingkat tinggi yang menafaatkan kerentanan dan kelemahan Siti Aisyah sebagai korban perdagangan manusia. Motif serupa ini juga dialami oleh puluhan buruh migran Indonesia yang terjebak dalam sindikat perdagangan narkotika. Ancaman baru yang bisa menjadi kerentanan baru buruh migran Indonesia adalah terpapar dan terpengaruh gagasan-gagasan ekstremisme/radikalisme yang mengatasnamakan agama. Pada pertengahan tahun 2017, lembaga kajian IPAC menengarai adanya puluhan buruh migran Indonesia di Hongkong terpapar ide-ide radikalisme dan esktremisme yang mengatasnamakan agama. Kecenderungan baru ini harus segera diantisipasi untuk pencegahan perluasan gagasan yang bisa berujung pada tindakan-tindakan yang berbahaya, tetapi tetap dalam koridor penegakan hak asasi manusia.      

Perubahan arah politik global yang ditandai dengan kemenangan-kemenangan populisme kanan dengan sentimen anti-migran juga secara langsung dan tidak langsung menimbulkan kerentanan bagi para buruh migran, termasuk buruh migran Indonesia. Yang paling nyata dirasakan adalah nasib puluhan ribu buruh migran Indonesia yang berada di Amerika Serikat, mereka sangat rentan dideportasi oleh kebijakan-kebijakan Presiden Donald Trump yang anti-imigran dan membatasi mobilitas orang asing terutama yang berasal dari negara Asia, Afrika dan Timur Tengah.

Kinerja Diplomasi dan Politik Luar Negeri untuk Perlindungan Buruh Migran

Diplomasi dan Politik Luar Negeri adalah salah satu pilar penting untuk memastikan apakah buruh migran Indonesia mendapatkan perlindungan sebagai warga negara yang berada di luar negeri. Di sepanjang tahun 2017, ada beberapa peristiwa yang terkait dengan kinerja diplomasi dan politik luar negeri yang terkait dengan perlindungan buruh migran Indonesia.

Kunjungan Raja Salman pada bulan Maret 2017 lebih banyak disorot pada dimensi kemeriahan dan durasi waktu kunjung. Seharusnya momentum ini bisa dimanfaatkan untuk desakan adanya perlindungan bagi buruh migran Indonesia dan juga advokasi untuk mengupayakan pembebasan puluhan buruh migran Indonesia yang menghadapi ancaman hukuman mati di Saudi Arabia. Dalam berbagai pembicaraan bilateral, pemerintah Indonesia lebih mengedepankan kerjasama ekonomi dan pembicaraan mengenai pemahaman keagamaan yang moderat. Pembicaraan mengenai perlindungan buruh migran hanya dibicarakan sepintas dan tidak ada hasil yang signifikan.

Di sepanjang tahun 2017 juga ada beberapa pembicaraan di tingkat menteri dan kepala negara dengan Pemerintah Malaysia terkait mengenai masalah-masalah krusial hubungan Indonesia-Malaysia, salah satunya mengenai perlindungan buruh migran Indonesia. Keseriusan Presiden Jokowi dalam mendesak perlindungan buruh migran dalam bentuk pembaruan bilateral agreement kepada PM Malaysia Najib Razak saat pertemuan tingkat tinggi di Kuching, Sarawak tanggal 22 November 2017 harus segera ditindaklanjuti dengan langkah-langkah konkrit.

Di tingkat regional, khususnya di kawasan ASEAN, upaya untuk menghadirkan instrumen perlindungan bagi buruh migran yang bekerja di kawasan Asia Tenggara masih harus menempuh jalan panjang. Penandatanganan ASEAN Consensus on Protection and Promotion the Rights of Migrant Workers adalah pencapaian yang harus diapresiasi tetapi konsensus tersebut belum cukup memadai untuk secara konkrit mendekatkan buruh migran pada akses keadilan. Perlu ada upaya yang maksimal untuk melembagakan konsensus tersebut ke dalam instrumen legal yang lebih mengikat dalam bentuk ASEAN Convention (seperti ASEAN Convention Against Trafficking in Person (Especially Women and Children)) disertai dengan adanya meknisme (treaty body) untuk memastikan instrumen itu bekerja serta menyediakan prosedur/mekanisme komplain dan pengaduan pelanggaran HAM buruh migran di kawasan ASEAN.

Di tingkat multilateral, terutama di forum dan mekanisme PBB, ada perkembangan yang patut diapresiasi dari pemerintah Indonesia yang memberi pengakuan adanya inisiatif lokal (baik dilakukan oleh pemerintah lokal maupun CSO) dalam menginstitusionalisasikan mekanisme perlindungan (misalnya inisiatif DESBUMI dan Perda/Perdes Perlindungan Buruh Migran) di dalam laporan-laporan yang disampaikan di forum UN-Commission Status of Women, Voluntary National Report on SDGs dan Universal Periodic Review yang disampaikan ke UN Human Rights Council. Secara khusus di tahun 2017 ini, Pemerintah Indonesia sebagai negara pihak UN Convention on Protection the Rights of Migrant Workers juga telah mengajukan initial report perdana ke UN Committee on Migrant Workers di bulan September 2017. Dalam proses ini, Migrant CARE juga turut serta aktif menyampaikan laporan independen, menyampaikan statement lisan (oral statement) dan turut serta aktif dalam proses pelaporan di Sidang UN Committee on Migrant Workers bulan September di Jenewa. Untuk mekanisme ini, pemerintah Indonesia harus benar-benar serius menjalankan rekomendasi-rekomendasi yang dihasilkan dalam proses tersebut dan membuka ruang seluas-luasnya bagi masyarakat sipil untuk berperan aktif memastikan dan memantau rekomendasi tersebut dijalankan.

Di sepanjang tahun 2017, sebenarnya ada beberapa inisiatif multilateral yang terkait dengan isu buruh migran seperti UN Global Compact on Migration and Refugee, Global Forum Migration and Development dan Alliance 8.7 (Aliansi anggota-anggota ILO untuk memerangi perbudakaan modern (goal 8.7 SDGs)), namun tampaknya pemerintah Indonesia belum berperan aktif di dalam forum-forum ini. Thema-thema migration, development and remittance yang mengemuka di Forum G20seharusnya bisa dimanfaatkan secara proaktif oleh pemerintah Indonesia.

 

Memperbaharui Tata Kelola Migrasi Tenaga Kerja dan Agenda Perlindungan Buruh Migran Indonesia

Tuntasnya pembahasan revisi yang akhirnya menjadi perubahan UU No. 39 Tahun 2004 tentang Penempatan dan Perlindungan TKI ke Luar Negeri menjadi UU No. 18 Tahun 2017 tentang Pelindungan Pekerja Migran Indonesia setelah melalui proses legislasi yang panjang, memperlihatkan betapa beratnya mendesakkan agenda perlindungan buruh migran di tengah agenda politik ekonomi nasional yang dinamis.

Dengan segala kelemahan dan keterbatasan yang dimiliki UU ini sebagai produk politik legislasi, UU No. 18/2017 ini diharapkan membuka ruang adanya pembaruan tata kelola migrasi tenaga kerja yang sebelumnya berbasis pada aktivitas bisnis ekonomi menjadi bentuk pelayanan publik negara. UU ini juga diharapkan bisa menjawab tuntutan agenda perlindungan buruh migran Indonesia yang mengdepankan tanggungjawab negara, mulai dari mekanisme perlindungan yang disediakan secara hirarkis mulai dari pemerintah desa, pemerintah kabupaten/kota, pemerintah propinsi hingga pemerintah pusat, terselenggaranya skema jaminan sosial dan asuransi perlindungan oleh BPJS Ketenagakerjaan dan adanya diplomasi perlindungan oleh pihak perwakilan Indonesia di luar negeri.

Oleh karena itu, hadirnya Undang-Undang No. 18/2017 harus benar-benar direspon segera untuk merumuskan aturan-aturan pelaksanaannya, mengatur masa transisi dan menysusun peta jalan baru arah perlindungan buruh migran Indonesia. Semua proses ini harus dilakukan secara terbuka, transparan dan inklusif serta tidak mengabaikan aspirasi buruh migran dan kelompok-kelompok rentan yang selama ini menjadi korban kebijakan penempatan buruh migran Indonesia.

Atas situasi dan kondisi tersebut di atas, dalam peringatan Hari Buruh Migran Sedunia 18 Desember 2017, Migrant CARE mendesak Pemerintah Indonesia untuk:

  1. Segera Mencabut Segala Kebijakan Penempatan Buruh Migran Yang Bertentangan Dengan Agenda Perlindungan Buruh Migran Yang Ada di Dalam UU No. 18 Tahun 2017 tentang Pelindungan Pekerja Migran Indonesia dan Konvensi PBB untuk Perlindungan Hak-Hak Buruh Migran dan Anggota Keluarganya (Yang telah diratifikasi melalui UU No. 6 Tahun 2012)
  2. Segera Menyusun Peraturan Pelaksana UU No. 18 Tahun 2017 tentang Pelindungan Pekerja Migran Indonesia Yang Berprinsip pada Penghormatan dan pemenuhan Hak-hak Buruh Migran Dengan Mekanisme Yang Terbuka, Transparan dan Melibatkan Masyarakat Sipil  Secara Penuh
  3. Berperan Aktif Sebagai Pelopor Dalam Penuntasan Instrumen Perlindungan Buruh Migran ASEAN Yang Memiliki Kekuatan Yang Mengikat Secara Hukum
  4. Menindaklanjuti Rekomendasi-Rekomendasi Yang Disampaikan Oleh UN Committee on Migrant Workers berkaitan dengan Initial Report Indonesia Atas Pelaksanaan Konvensi PBB untuk Perlindungan Hak-hak Buruh Migran dan Anggota Keluarganya
  5. Segera Menyusun dan Mengesahkan UU Perlindungan PRT dan Meratifikasi Konvensi ILO No. 189/2011 tentang Kerja Layak untuk Pekerja Rumah Tangga
  6. Menuntaskan Penyelesaian Kasus-kasus Buruh Migran Indonesia mengenai Kekerasan Yang Dialami PRT Migran, Perdagangan Manusia (Utamanya Perempuan dan Anak), Buruh Migran Tak Berdokumen, Buruh Migran Yang Bekerja di Sektor Kelautan, Buruh Migran Yang Terjebak Dalam Sindikat Kejahatan Transnasional serta Buruh Migran Indonesia Yang Terancam Hukuman Mati.

Jakarta, 18 Desember 2017

Wahyu Susilo (Direktur Eksekutif Migrant CARE)
Kontak: 08129307964

Anis Hidayah (Kepala Pusat Studi dan Kajian Migrasi Migrant CARE)
Kontak: 081578722874

TERBARU