Perlindungan terhadap PRT, Hak Dasar Pekerja

Dua hari lalu, tepatnya Sabtu, 15 Februari 2025, spanduk berwarna oranye berbunyi “Mendesak Pengesahan Rancangan Undang-Undang Perlindungan Pekerja Migran Indonesia” memandu massa aksi dari Jl. Sarinah, Thamrin menuju Patung Kuda. Menandai peringatan Hari Pekerja Rumah Tangga nasional yang jatuh diperingati di tiap tanggal yang sama.

“Sahkan! Sahkan UU PPRT!”

“UU PPRT sekarang juga!”

Massa aksi terdiri dari PRT dan Koalisi Sipil untuk UU PPRT. Tuntutan sahkan UU PPRT disampaikan dalam yel-yel yang diserukan massa aksi di sepanjang perjalanan. Diselingi orasi dari perwakilan anggota Koalisi Sipil untuk UU PPRT.

“Kawan-kawan, Saya Yuniyanti Chuzaifah. Tadi malam jam 12 saya menjahit baju ini. Karena saya ingat, dulu kalau demonstrasi tahun 90an itu, gerakan perempuan ketika berdemo di bawah rezim yang otoriter, yang represif, maka kita menggunakan ekspresi estetis untuk tetap kritis, untuk melunakkan represi waktu itu. Jadi, semalam saya membuat ini sebagai ekspresi simbolik karena selama ini kita kalau demo selalu menggunakan pendekatan sipil politik.”

Yuniyanti Chuzaifah adalah Executive Board Asian Moslem Network (AMAN) Indonesia. Ia hadir dalam demonstrasi dengan penampilan menonjol. Berbalut pakaian yang terbuat dari serbet berwarna merah dan biru yang terdiri dari atasan dan bawahan.

Bagi perempuan yang pernah berhikmat di Komnas Perempuan sejak 2010-2019 ini menyebut apa yang dilakukannya sebagai kontribusi aksi massa dengan pendekatan budaya. Simbolik dan estetik namun tak kehilangan makna.

“Serbet! Yang dibaliknya adalah PRT. Yang karena PRT rumah tangga bisa berjalan. Saya bisa sekolah S3 karena PRT. Ini bagian dari pemuliaan para PRT dengan saya menjahit serbet ini sebagai sebuah gerakan bersama,” kata Yuniyanti.

Yuniyanti mengingatkan ada sejarah panjang hubungan PRT dengan gerakan perempuan. Berangkat dari kasus PRT bernama Sulastri pada 1990-an yang dianiya majikannya yang adalah Ketua SPSI (Serikat Pekerja Seluruh Indonesia).

“Kalau kawan-kawan lihat koran-koran lama, saat itu gerakan perempuan berhutang budi pada Sulastri. Gara-gara kasus Sulastri lahir namanya API (Aksi Perempuan Indonesia), lahirlah KKPI (Kelompok Kebangkitan Perempuan Indonesia). Dan itu cikal bakal lahirnya Yayasan Perempuan Mahardika, tapi bukan Mahardika yang sekarang, ya, lahir Solidaritas Perempuan, lahir gerakan-gerakan yang lain. Jadi Gerakan perempuan berhutang budi kepada PRT.”

Di kesempatan yang sama, ia menyayangkan respon negara yang masih melazimkan kekerasan sebagai pijakan dalam memberikan perhatian. Padahal, Yunianti menegaskan, “Perlindungan kepada pekerja, kepada PRT, adalah right base. Adalah hak yang melekat tanpa harus ada kekerasan. Itu adalah hak sebagai perempuan. Jadi Ketika kita meminta pengesahan RUU PPRT itu adalah bagian dari kita sebetulnya menumbangkan negara yang sangat maskulin ini. Menyangkal hak-hak dasar para pekerja di mana dia bekerja di ranah rentan.”

Usia RUU PPRT sudah lebih dari dua dekade. Sudah dua presiden dalam empat periode. Sudah pula jutaan PRT Indonesia bekerja di luar negeri. Sudah ratusan kali masyarakat menggelar aksi  untuk mengingatkan petinggi negeri. Sayangnya, sampai hari ini legalisasi RUU PPRT masih jadi mimpi.

“Jangan lelah dan berhenti untuk menuntut. Jangan lelah dan berhenti bersikap. Karena isu PRT bukan hanya tanggung jawabnya PRT. Ini adalah tanggung jawab kita semua,” kata Yunianti.

Yuniyanti menegaskan meski pekerjaan rumah tangga menjadi tanggung jawab tiap penghuninya, peran PRT adalah wujud solidaritas perempuan terhadap perempuan lain.  Adanya PRT adalah gelombang bagaimana para perempuan bisa di DPR dan ruang publik lain. Oleh sebab itu, tidak ada alasan bagi anggota dewan untuk mengabaikan para PRT yang jadi tulang punggung di rumahnya.

Suara lantang datang dari PRT bernama Darsiah. Sebagai PRT ia merawat rumah, merawat penghuninya tapi hanya ditempatkan pada jabatan rendah dan dibayar murah. “Diskriminasi terhadap perempuan begitu nyata dalam kerja-kerja perawatan yang dilakukan PRT,” katanya.

Aksi Sabtu pagi itu sarat simbol. Serbet melambangkan alat kerja PRT. Bunga yang dibagikan kepada para pengendara menyiratkan rasa cinta, kasih, dan ketulusan.

Bagi Anipah, salah seorang PRT, serbet dan bunga adalah perlambang untuk mengingatkan pentingnya peran PRT dalam rumah tangga.

“Kerja-kerja PRT selama ini adalah kerja tersembunyi, sering tidak terlihat, padahal PRT adalah para pekerja yang menyiapkan makanan dan membereskan rumah selama majikan atau pemberi kerja bekerja. Kerja-kerja domestik ini selama ini banyak dipandang sebelah mata.”

Hasil pemetaan JALA PRT (Jaringan Nasional Advokasi PRT) yang dikeluarkan pada 2024 menunjukkan PRT di Indonesia masih mengalami empat kekerasan dan intimidasi kerja. Pertama, bekerja dalam situasi perbudakan. Kedua, PRT masih hidup dalam situasi pelecehan. Ketiga, PRT masih hidup dalam situasi kemiskinan karena dieksklusikan dalam perlindungan sosial. Keempat, PRT rentan menjadi korban trafficking.

Lalu, bagaimana nasib RUU PPRT di DPR? Saat ini Koalisi Sipil untuk pengesahan RUU PPRT yang terdiri dari ratusan organisasi dan individu tiada henti memperjuangkan agar RUU PPRT bisa carry over atau diteruskan dalam kepemimpinan DPR baru. Sebab jika tidak, maka perjalanan RUU PPRT akan kembali ke titik nol yang berarti perjuangan dimulai lagi dari awal. [Nur Azizah]

TERBARU

Leave a Reply

Your email address will not be published. Required fields are marked *