Cegah Ekstremisme, Migrant CARE Siapkan 328 Penggerak Perdamaian

“Awalnya aku ragu apakah peserta yang notabene adalah Desbumi yang kebanyakan sudah berusia, mau ikutin fasilitator yang masih muda ini. Biasanya yang muda dianggap nggak berpengalaman, kan, ya. Ternyata mereka juga sama exciting-nya untuk ikut pelatihan ini. Mereka ikutin kegiatan sampe sore. Respon dari mereka juga luar biasa, saat ditanya kesannya ada yang bilang, “baru pertama kali ikut pelatihan dari awal sampai akhir nggak ngantuk.” Pengalaman yang berkesannya saat peserta benar-benar terbawa sama permainan kita. Ada yang bikin nyanyian-nyanyian anti kekerasan untuk pencegahan dini pada anak-anak.”

Kutipan pernyataan di atas disampaikan oleh Jannah, staf program Migrant CARE Kebumen, Jawa Tengah. Ia menyampaikan kesannya usai mengikuti “Sosialisasi Pencegahan Ekstremisme untuk Komunitas Desbumi Kebumen” pada Jumat (6/12) di Mexolie Hotel.

Pengalaman serupa juga dialami Enno, staf program sekaligus community organizer Yayasan Kesehatan untuk Semua (YKS) Lembata, Nusa Tenggara Timur.

“Jujur saja saya baru pertama kali ikut kegiatan yang pastinya senang, yah. Karna menambah pengetahuan, tau lebih jauh lagi soal apa sih ekstremisme itu. Kalau tentang terorisme itu memang biasa dengar, sih hanya bagaimana seseorang terpapar terorisme, bagaimana cara cara respon dini dan cegah dini itu memang belum tau sebelumnya. Pokoknya banyak hal yang saya belajar dari ToT kemarin mba, sekaligus sebagai proses belajar sehingga setelah dari Banyuwangi ini saya sama Desbumi juga dapat menjadi fasilitator untuk kegiatan tersebut.”

Staf program Migrant CARE Banyuwangi, Danang, punya pengalaman berbeda. Melalui pesan suara WhatsApp, Danang mengatakan, “Pencegahan terhadap PMI aktif yang bisa dilakukan sebelum pemberangkatan. Kita beri mereka edukasi pencegahan ekstremisme, bagaimana ketika ada tawaran berorganisasi dengan mereka, bagaimana beragama yang moderat, bagaimana membangun kesetaraan antar sesama manusia.”

Jannah, Enno, dan Danang merupakan tiga peserta yang sudah mengikuti ToT (Training of Trainers) kepada Komunitas untuk Pencegahan Ekstremisme Berbasis Kekerasan pada 18-19 November 2024 di Hotel Aston Banyuwangi, Jawa Timur.  Kegiatan ini menjadi rangkaian dari kerja sama Migrant CARE, Badan Nasional Penanggulangan Terorisme (BNPT), BP2MI (Badan Pelindungan Pekerja Migran Indonesia) dengan dukungan INKLUSI (Kemitraan Australia Indonesia Menuju Masyarakat Inklusif) dalam penyusunan modifikasi modul Countering Violent Extremisme untuk komunitas. Modul ini merupakan pengembangan dari modul “Cegah Ekstremisme Lindungi Pekerja Migran Indonesia” yang dikhususkan untuk kelas OPP (Orientasi Pra Pemberangkatan) calon pekerja migran Indonesia.

Direktur Perlindungan dan Pemberdayaan Kawasan Asia Afrika BP2MI Brigjen Pol. Drs. Eko Iswantono, M.M., menegaskan jaringan kawan PMI (Komunitas Relawan Pekerja Migran Indonesia) dan Desbumi (Desa Peduli Buruh Migran) menjadi harapan yang bisa membantu dalam upaya pencegahan ekstremisme bagi pekerja migran Indonesia.

Seturut dengan itu, Direktur Perangkat Hukum Internasional dari Badan Nasional Penanggulangann Terorisme (BNPT) Laksamana Pertama TNI Dr. Imam Subekti, S.H., M.H., menyepakati perlunya sinergi antar lembaga dalam penanggulangan ekstremisme berbasis kekerasan yang dialami PMI. “Dengan mengacu kepada Perpres No 7 Tahun 2021 tentang  rencana aksi penanggulangan ekstrimisme, upaya memperkuat jejaring antar komunitas, evaluasi program konvensi nasional menjadi salah satu langkah preventif.”

Kepala Sub Direktorat Perlindungan WNI dan Kepentingan Nasional di Luar Negeri BNPT Drs. Solihudin Nasution, M.Si. mengungkap ada banyak kerugian yang dialami PMI bila terpapar paham ekstremisme. “Dampak negatif terorisme bagi PMI adalah konsekuensi hukum, kesulitan kembali bekerja ke luar negeri, stigma negatif, dan kesulitan ekonomi.”

Lebih lanjut, Solihudin mengatakan faktor penyebab terorisme bukan faktor tunggal melainkan ada banyak latar belakang seseorang menjadi teroris. “Termasuk alasan keluarga, lingkungan sosial, latar belakang agama, radikalisasi dalam penjara, viktimisasi, keinginan menjadi pahlawan, kebencian dan kemarahan,” katanya mengutip Post, Sprinzak, Denny (2003) dalam The terrorist in Their Own Words: Interviews with 35 Incarcerated Middle Eastern Terrorist.

Kendati demikian, upaya pencegahan bisa dilakukan antara lain distribusi konten melalui media sosial, mengadakan diskusi dengan memasukkan isu toleransi, multikulturalisme, penyebaran media pencegahan. Sebab, katanya, hampir 99% mantan napi teroris tidak tahu bila mereka sudah didoktrin dan masuk dalam jaringan terorisme.

Sehari usai kegiatan ToT (Training of Trainers), rangkaian kegiatan sosialisasi pencegahan ekstremisme untuk komunitas Desbumi (Desa Peduli Buruh Migran) dilakukan di tujuh wilayah kerja Migrant CARE.  Kegiatan yang dilakukan sejak 20 November 2024 sampai 6 Desember 2024 ini melibatkan perwakilan 69 Desbumi dari Jawa Barat (Indramayu), Jawa Tengah (Kebumen, Wonosobo), Jawa Timur (Jember, Banyuwangi), Nusa Tenggara Barat (Lombok Tengah), dan Nusa Tenggara Timur (Lembata). Beberapa di antaranya adalah kader Kawan PMI, jurnalis, akademisi, pemerintah dan perangkat desa, OPD (organisasi perangkat daerah), dan jaringan CSO lain. 328 peserta yang hadir dan aktif berinteraksi terdiri dari 221 perempuan, 104 laki-laki, 1 transgender, dan 2 laki-laki dengan disabilitas.

Subkoordinator Perlindungan Kepentingan Nasional Badan Nasional Penanggulangan Terorisme (BNPT) RI Nanda Fajar Aditya mengapresiasi kegiatan ini. “Komunitas adalah ujung tombak dalam upaya pencegahan ekstremisme berbasis kekerasan. Terimakasih kepada Migrant CARE dan INKLUSI yang telah memberikan fasilitas dan sumbangan pemikiran yang luar biasa dalam upaya pencegahan dan penanggulangan ektremisme berbasis kekerasan terutama yang menimpa para PMI.”

Senior Program Manajer Migrant CARE Mulyadi menyatakan sosialisasi pencegahan ekstremisme kekerasan bertujuan memberikan pemahaman kepada komunitas tentang bahaya ekstremisme, termasuk upaya pencegahan. “Selain memperkaya dan memperdalam hal tersebut, kami berharap informasi yang didapat dari sini mengenai ekstremisme berbasis kekerasan, pencegahan, dan fase-fase menuju itu bisa disampaikan ke komunitas masing-masing sehingga akan lebih banyak yang menerima informasi. Semakin banyak yang menerima informasi maka semakin tahan atau resilient kita terhadap upaya-upaya dari pihak tertentu yang akan memengaruhi komunitas untuk menjerumuskan ke hal-hal ekstremisme berbasis kekerasan.”

Di Kebumen, Jawa Tengah, Kasi Pelayanan Desa Purbowangi Umiyanto menyatakan sosialisasi pencegahan ekstremisme menjadi hal baru di desa. “Setelah mengikuti kegiatan Desbumi, saat ini di Desa Purbowangi lebih hati-hati ketika akan melepas warga yang akan pergi ke luar negeri. Maka dari itu kami berharap event seperti ini akan terus terselenggara lagi.”

Masih dari Kebumen, Suwarsiti selaku Ketua Kelompok Sejuk Migran Desbumi Grenggeng dan Siti Nasiroh Ketua Kelompok Revalina (Relawan Valuta Lintas Negara) Desbumi Jogosimo mengapresiasi kegiatan tersebut. Keduanya mengaku sosialisasi pencegahan ekstremisme kekerasan menjadi sumber pengetahuan baru.

“Saya bisa mendapatkan ilmu dan wawasan mengenai terorisme, radikalisme dan juga kekerasan. Saya berharap apa yang disosialisasi saat ini tidak akan terjadi di lingkungan kita.”

“Terima kasih atas ilmu yang diberikan hari ini. Harapannya Migrant CARE pusat melalui Migrant CARE Kebumen merealisasikan kegiatan ini melalui program untuk komunitas mengenai anti kekerasan.” [Nur Azizah]

TERBARU