Setiap tanggal 8 Agustus diperingati sebagai hari terbentuknya ASEAN (Association of Southeast Asian Nations). Pada 2024 ini, ASEAN sudah berusia 57 tahun. Namun, peringatan Hari Jadi ASEAN di Indonesia terbilang sepi perayaan.
Direktur Eksekutif Migrant CARE Wahyu Susilo merefleksikan keberadaan ASEAN tak seiring dengan keinginan masyarakat sipil. Mekanisme ASEAN dinilai masih sangat blur. “Itu harus diakui bahwa apa yang kita lakukan tahun lalu memang kita membutuhkan sesuatu engage lebih ke dalam mekanisme ASEAN,” ujar Wahyu Susilo dalam Workshop Penyusunan Modul Penguatan Strategi Advokasi Masyarakat Sipil untuk Agenda pelindungan pekerja Migran dalam Mekanisme ASEAN, Kamis (8/8/2024) di Hotel Aston Simatupang, Jakarta Selatan.
Meski begitu, ia menilai selamban apapun ASEAN, mereka sudah mengadopsi banyak hal, salah satunya mengakomodasi kerja-kerja perawatan. Isu care workers bahkan menjadi tema utama dalam AFML (ASEAN Forum of Migrant Labour) tahun ini.
“Saya kira kita perlu membahas agenda apa yang akan disampaikan dalam AFML tahun ini,” katanya.
Hari Lahir ASEAN menurutnya sangat penting untuk merefleksikan ASEAN bagi pekerja migran. Sebab sejatinya pekerja migran adalah salah satu penghuni signifikan di ASEAN. Pekerja migran menggerakkan ekonomi negara anggota ASEAN meski tanpa pengakuan yang sebaiknya dibuktikan dalam wujud perlindungan. “Dokumen yang ada masih sebatas macan kertas,” kritiknya.
Di sisi lain, Program Manajer Migrant CARE Savitri Wisnuwardhani menambahkan pemerintah negara ASEAN sudah melihat ada kondisi gawat terkait online scamming. Semua instrumen ASEAN yang meratifikasi adalah negara asal pekerja migran. Sedangkan negara penempatan justru banyak yang belum meratifikasi.
“Komitmen enggak nyambung dengan perlindungan karena politik di ASEAN didominasi oligarki otoritarian. Orientasinya berbasis pada stabilitas politik, distribusi kekuasaan,” ujar Savitri dalam diskusi bertajuk “Refleksi Hari ASEAN 2024” di lokasi dan waktu yang sama.
Namun, imbuhnya, ASEAN terlihat mulai membuka diri dengan organisasi masyarakat sipil. Hal ini merupakan dampak dari beragam advokasi yang sudah dilakukan baik pernyataan sikap, diskusi melibatkan akar rumput, berjejaring di WPS (Women, Peace, Security) dan APF (ASEAN People’s Forum) sebagai bentuk pengawalan terhadap isu pekerja migran di ASEAN.
“Komunitas regional dan nasional perlu mendorong agar ASEAN mengarahkan kebijakannya pada ASEAN Charter. Mewujudkan perlindungan bagi pekerja migran. Kolaborasi dengan media yang dapat membantu advokasi membuat ASEAN lebih baik,” katanya.
Bagi pemerintah Indonesia, Savitri mendorong perlu revisi MoU yang memarjinalisasi pekerja migran Indonesia. Membuat perjanjian bilateral dengan negara yang meratifikasi konvensi ILO, pun konvensi PBB. Pemerintah juga perlu memperkuat pilar untuk memastikan negara tujuan aman bagi pekerja migran.
Di sisi lain, organisasi masyarakat sipil juga perlu menciptakan ruang diskusi yang massif baik di tingkat nasional maupun regional. Kolaborasi dengan media yang menyuarakan isu pekerja migran juga penting dilakukan agar negara di kawasan ASEAN memberikan perlindungan kepada pekerja migran Indonesia secara signifikan.
Direktur Eksekutif HRWG (Human Rights Working Group) Daniel Awigra punya pandangan serupa. Bahwa dalam konteks advokasi merupakan proses yang dinamis, tidak sekadar pada Hari ASEAN, atau keketuaan ASEAN. Ini bisa terus dilakukan dengan membuat agenda, membangun jejaring sebagai cara menyelaraskan isu, termasuk engagge dengan ASEAN. “Advokasi adalah perjalanan, bukan sekadar even semata.”
Awigra mengingatkan bahwa yang jadi masalah utama adalah representasi. “Pekerja migran tidak merepresentasikan dalam konteks politik, misalnya. Representasi di media sosial, media, politik. Perlu mendorong aktor politik masuk dalam advokasi kita,” kata Awigra. [Nur Azizah]