2 December 2024 00:04
Search
Close this search box.

Kerja Layak untuk Kaum Muda Indonesia

Foto: kumparan.com

Pada 15 November 2022, menurut laporan World Population Prospect 2022 yang dikeluarkan Badan PBB untuk Kependudukan (UNFPA), jumlah penduduk dunia genap mencapai 8 miliar orang. Dari jumlah ini, penghuni mayoritas muka bumi ini sebagian besar adalah kelompok usia muda.

Segmen populasi kelompok usia muda ini diperkirakan 60 persen dari total populasi dunia dan sebagian besar berada di negara-negara miskin dan berkembang. Dengan komposisi tersebut, masa depan negara-negara miskin dan berkembang berada di tangan kelompok usia muda.

Tak terkecuali di Indonesia, saat ini kaum muda Indonesia juga menyandang beban pembangunan karena diidentifikasi sebagai angkatan kerja yang produktif dan menjadi mayoritas penghuni negeri ini. Kondisi ini disebut sebagai ”bonus demografi”. Menurut simulasi ekonomi kependudukan, puncak dari bonus demografi di Indonesia akan terjadi pada 2030.

Sudah satu dekade lebih mantra bonus demografi ini membius kebijakan kependudukan dan ketenagakerjaan. Bius bonus demografi ini terus berlangsung menyongsong Indonesia masa depan. Ini harus terus dimonitor. Tanpa memeriksa lebih saksama dan mendalam mengenai dinamika sosiologi dan ekonomi-politik kaum muda Indonesia yang beragam, serta berangkat dari latar belakang ekonomi dan sosial budaya yang tidak tunggal, bius ini bisa menjerumuskan.

Melewati lebih dari satu dekade masa yang disebut bonus demografi, alih-alih Indonesia telah menikmati hasil dari peluang akumulasi angkatan kerja yang produktif, pandemi Covid-19 telah membuyarkan impian manis tersebut. Sebenarnya jauh sebelum pandemi Covid-19 berkecamuk, Bank Dunia telah memperingatkan adanya kerentanan kelas menengah Indonesia (aspiring middle class) yang berada dalam kondisi ekonomi yang labil.

Kerentanan kelas ini karena tidak ditopang oleh fundamental ekonomi yang kokoh serta struktur ketenagakerjaan yang berkualitas. Jika ada krisis yang mengguncang struktur ekonomi, kelas inilah yang menjadi penyumbang terbesar kaum miskin baru.

Kecamuk pandemi Covid-19 telah membuktikan bahwa kaum muda usia produktif adalah kelompok yang rentan. Ini terkonfirmasi dari asesmen yang dilakukan oleh Organisasi Buruh Internasional (ILO) yang melihat dampak pandemi Covid-19 di sektor ketenagakerjaan. Asesmen tersebut menunjukkan ada tiga sektor yang paling terdampak, yaitu pekerja sektor perawatan/pengasuhan, pekerja migran, dan pekerja usia muda yang kemudian menjadi pengangguran.

Kelompok-kelompok inilah yang selama ini juga tidak ditopang oleh kebijakan jaminan sosial ketenagakerjaan dan perlindungan sosial juga masih parsial. Jika diperiksa lebih lanjut, pekerja sektor perawatan/pengasuhan dan pekerja migran sebagian besar juga berada dalam rentang usia muda yang produktif.

Harus diakui, hingga kini, kebijakan ketenagakerjaan Indonesia lebih tergantung kepada kebijakan ekonomi dan investasi, tanpa mempertimbangkan kebutuhan dan aspirasi dari angkatan kerja yang mayoritas usia muda. Sering kali, dengan mengatasnamakan peningkatan kualitas sumber daya anak muda, dikedepankanlah praktik magang kerja. Alasannya untuk proses pembelajaran, transfer pengetahuan dan teknologi, serta pengenalan dunia kerja. Dalam kenyataannya, praktik magang kerja ini sering kali menjerumuskan angkatan kerja muda dalam situasi serupa perbudakan modern.

Migrant CARE pernah menemukan modus perdagangan manusia dalam skema pemagangan melalui jalur bursa kerja khusus. Skema ini merekrut siswa-siswi SMK (sekolah yang selama ini diandalkan untuk mencetak tenaga kerja siap pakai) dalam bentuk magang kerja di luar negeri.

Skema tersebut dalam praktiknya, selain membebani peserta dengan biaya tinggi sehingga menjerumuskan korban dalam jeratan utang, ternyata juga mengeksploitasi mereka dengan jam kerja yang melebihi batas, dalam ruang dan komunikasi yang terbatas, serta berstatus sebagai pekerja tak berdokumen karena tidak dilengkapi visa kerja yang sah. Mereka dipekerjakan di industri pengolahan makanan berbasis sarang burung walet, padahal pada saat direkrut dijanjikan bekerja di industri elektronika.

Jerat ”lapar kerja”

Situasi ”lapar kerja” yang terjadi pada masa pandemi Covid-19 juga telah menjerat ratusan anak muda Indonesia, yang ironisnya sebagian besar adalah sarjana ilmu komputer dan informatika, dalam perangkap perdagangan manusia berkedok penempatan pekerja migran ke Kamboja. Mereka diiming-imingi bekerja sebagai operator komunikasi, tetapi ternyata masuk dalam jebakan sindikat kejahatan transnasional berbasis teknologi informasi alias penipuan online (scamming).

Sindikat ini tidak hanya merekrut anak muda dari Indonesia, tetapi juga dari negara Asia lainnya untuk dipekerjakan di negara-negara kawasan Mekong, seperti Kamboja, Laos, dan Myanmar. Gambaran ini memperjelas realitas kerentanan kaum pekerja di era disrupsi, di sela-sela optimisme yang berlebih bahwa di era ekonomi digital telah membuka lapangan kerja baru yang menjanjikan.

Dalam catatan berbagai organisasi internasional yang bekerja untuk melawan perdagangan manusia, ketiga negara tersebut termasuk negara yang memiliki reputasi buruk dalam penegakan hukum untuk memerangi perdagangan manusia sehingga membuka ruang yang lebih leluasa bagi sindikat penipuan online untuk menjalankan bisnisnya. Kasus ini memberi peringatan kepada kita bahwa teknologi informasi, selain menjadi jembatan untuk menuju pekerjaan masa depan (future of work), juga bisa disalahgunakan untuk mencederai harkat kemanusiaan tenaga kerja.

Dua kasus tersebut hanya puncak gunung es dari realitas kerentanan kaum muda yang masuk dalam dunia kerja. Ini memberi pesan kuat bahwa kaum muda Indonesia tidak sekadar membutuhkan lapangan kerja, tetapi yang lebih penting lagi adalah bagaimana negara memastikan mereka bisa bekerja dalam kondisi yang layak.

Di akhir pertemuan para menteri ketenagakerjaan G20 pada 13 September 2022, lahir rumusan akhir mengenai pasar tenaga kerja yang inklusif dan afirmatif untuk pekerja penyandang disabilitas, dukungan kebijakan yang memadai untuk sektor UMKM, pengembangan kapasitas penyiapan ketenagakerjaan melalui pelatihan vokasional, peningkatan kapasitas kesehatan dan keselamatan kerja, serta pelindungan sosial ketenagakerjaan yang adaptif untuk seluruh tenaga kerja tanpa kecuali. Rumusan ini bisa menjadi acuan untuk perwujudan kerja layak dan tentu saja mengacu pada standar pokok perburuhan ILO dan instrumen internasional hak asasi manusia.

Wahyu SusiloDirektur Eksekutif Migrant CARE

Artikel ini pertama kali dimuat di Kompas.id di laman https://www.kompas.id/baca/opini/2022/11/13/kerja-layak-untuk-kaum-muda-indonesia

TERBARU