2 December 2024 01:35
Search
Close this search box.

Perbudakan Modern, Perdagangan Manusia dan Sepak Bola

Perbudakan Modern, Perdagangan Manusia dan Sepak Bola

“Kuatnya pengaruh bisnis dalam percaturan sepak bola dunia memiliki implikasi serius, ada eksploitasi sumber daya alam, pelanggaran hak-hak pekerja, anak, perempuan, dan monopoli atas nama hak siar.”
Homo ludens. Manusia adalah makhluk yang bermain, demikian kata sejarawan Johan Huizinga. Dalam perkembangan sejarah peradaban dan kebudayaan manusia, tumbuh dan berkembang permainan-permainan yang di kemudian hari bertumbuh secara sistematik menjadi olahraga. Salah satu permainan itu adalah sepak bola.
Ketika sepak bola masih diperlakukan sebagai permainan semata, kemenangan menjadi tujuan nomer dua karena tujuan utamanya adalah kesenangan, kegembiraan, dan kesehatan. Kekalahan mendapatkan penghiburan dengan kata-kata ”hanya sekadar permainan”. Namun ketika sepak bola dikompetisikan sebagai olahraga dengan tujuan utamanya adalah kemenangan, ia tak lagi sekadar permainan.
Huizinga mungkin akan memikirkan lagi teori homo ludens ketika melihat langsung perubahan revolusioner yang terjadi dalam permainan sepak bola. Sepak bola tak hanya dibatasi arena bermainnya seluas lapangan hijau persegi panjang yang berisi 2 x 11 pemain di dalamnya. Arenanya telah meluas dalam kibaran bendera-bendera negara dan klub-klub sepak bola dengan segala fanatismenya serta tertera iklan-iklan komoditas yang kian hari kian memengaruhi mati dan hidupnya sepak bola.
Sepak bola telah menjadi industri yang dihidupi oleh industri-industri komoditas dan menghidupi industri penyiaran. Di Amerika Latin, sepak bola bahkan telah dianggap sebagai agama baru yang menyihir para penggilanya.
Setidaknya dalam sejarah persepakbolaan modern, ada dua rezim otoriter yang memanfaatkan sepak bola sebagai propaganda politik pada saat penyelenggaraan Piala Dunia. Mereka adalah Benito Mussolini, pemimpin rezim fasis Italia saat Piala Dunia 1934 dan Jorge Rafael Videla, pemimpin junta militer Argentina saat Piala Dunia 1978.
Pengalaman buruk inilah yang kemudian memunculkan larangan intervensi negara dalam tata kelola persebakbolaan nasional, misalnya dengan campur tangan negara dalam menentukan kepengurusan asosiasi sepak bola nasional. PSSI pernah mendapat sanksi dari FIFA akibat campur tangan ini. Larangan ini untuk menjaga independensi dan sportivitas sebagai nilai-nilai yang harus dijaga dalam dunia persepakbolaan, tetapi FIFA sebagai rezim sepak bola dunia tak cukup daya untuk menahan pengaruh bisnis dalam percaturan sepak bola dunia.
Dalam kenyataannya, pengaruh bisnis dalam percaturan sepak bola memiliki implikasi serius yang tak kalah berbahaya dengan intervensi negara. Eksploitasi sumber daya alam, pelanggaran hak-hak pekerja, anak dan perempuan hingga ketimpangan akses informasi karena monopoli atas nama hak siar. Aspek-aspek ini sering tersembunyi dalam hiruk-pikuk dan riuh rendah setiap event sepak bola, misalnya Piala Eropa atau Copa America yang sekarang sedang berlangsung.
Langkah FIFA yang melarang ekspresi rasisme dalam segala tindakan, baik dilakukan oleh pemain, pelatih, maupun penonton, patut mendapatkan apresiasi dan dukungan. Kompetisi sepak bola dunia (baik dalam event antarnegara maupun antarklub) memperlihatkan warna dunia yang beragam. Warna yang beragam ini tak lepas pula dari proses migrasi antarbangsa dan antarbenua. Oleh karena itu, segala prasangka atas nama perbedaan warna kulit dan kebangsaan harus dijauhkan untuk memastikan sepak bola tetap menjunjung tinggi kemanusiaan sebagai titik sportivitas yang tertinggi.
Namun, FIFA harus terus didorong bertindak lebih progresif untuk bersikap menyangkut soal hak asasi manusia; pelestarian lingkungan; perlindungan hak-hak pekerja, perempuan, dan anak; serta potensi eksploitasi bisnis dalam persepakbolaan. Tidak banyak hal yang dilakukan FIFA pada saat beberapa organisasi HAM dan buruh migran global menyampaikan protes atas eksploitasi pekerja migran dalam proyek infrastruktur untuk penyelenggaraan Piala Dunia 2022 di Qatar.
Pada tahun 2015, penulis mengunjungi Qatar sebagai calon tuan rumah Piala Dunia 2022 dan menemukan fakta terjadinya eksploitasi pekerja migran (sebagian besar berasal dari Asia Selatan) yang bekerja di proyek-proyek infrastruktur Piala Dunia 2022.
Dalam kemegahan proyek infrastruktur tersebut, para pekerja migran ini tinggal di tempat hunian yang tidak layak, sementara iklim ekstrem bisa memengaruhi kesehatan mereka. Banyak di antara mereka direkrut secara ilegal sehingga tidak mendapatkan hak-hak pengupahan dan jaminan sosial yang memadai. Hingga Maret 2021, menurut data investigasi The Guardian, Amnesty International, Human Rights Watch, serta beberapa organisasi HAM dan pekerja migran global, telah terjadi kematian 6.851 pekerja migran asal India, Bangladesh, Pakistan, dan Sri Lanka.
Pekerja migran memang selalu menjadi tumbal dalam proyek infrastruktur event olahraga internasional. Migrant CARE juga pernah menerima pengaduan kasus perekrutan pekerja migran asal Indonesia untuk bekerja pada proyek infrastruktur Olimpiade 2020 Tokyo, Jepang, dan Asian Games 2014 di Incheon, Korea Selatan.
Bermain dalam liga sepak bola Eropa juga menjadi mimpi anak-anak muda dari benua lain. Selain untuk mengukir prestasi juga untuk mengangkat derajat kehidupan. Impian ini sering kali dimanfaatkan oleh para sindikat perdagangan manusia untuk memperjualbelikan anak-anak muda asal benua miskin Afrika ataupun Amerika Latin ke Eropa, dengan janji palsu bisa bermain di klub Eropa.
Modus ini menjebak orangtua anak yang bermimpi bermain di Eropa dalam jeratan utang, sementara dalam kenyataannya anak-anak dipekerjakan secara eksploitatif di benua impiannya, atau bahkan dikirim ke kawasan Asia Tenggara yang sebenarnya bukan impiannya.
Setidaknya ada dua kajian terkini tentang perdagangan anak dan perbudakan atas nama sepak bola yang ditulis James Esson (2018), berjudul Challenging Popular Representations of Child Trafficking in Football dan kasus di Asia Tenggara yang ditulis oleh Jeremy Luedi (2018), berjudul Southeast Asia’s African Football Slaves.
Realitas tersebut memperlihatkan bahwa di antara berbagai pekik dan sorak kemeriahan sepak bola masih tersembunyi penderitaan pekerja migran dan anak-anak yang terjebak dalam praktik perbudakan dan perdagangan manusia di jaman modern ini.
(Sebelumnya artikel ini dimuat di kompas.id 7 Juli 2021)

TERBARU