Dari Indonesia, Berbuat Lebih kepada Warga Dunia yang Rentan (Policy Brief Working Group SDgs and HUmanitarian C20 Indonesia)
Kepresidenan G20 Indonesia terjadi pada “titik kritis” yang strategis. Setelah lebih dari dua tahun dunia mengalami pandemi seabad sekali, terbukti bahwa dunia kekurangan pengalaman untuk membuat pilihan skenario kebijakan yang bijaksana dan hati-hati untuk insiden pandemi yang melanda di seluruh dunia. Setiap keputusan yang diambil di bawah kepemimpinan Presiden Jokowi di G20 kali ini, akan sangat menentukan dalam mendapatkan solusi dan respon yang paling efektif bagi masa depan dunia ini untuk pulih dan bangkit bersama dalam mengejar Tujuan Pembangunan Berkelanjutan 2030. Sebagai negara berpenghasilan menengah , Indonesia memainkan peran bridging yang menghubungkan negara-negara maju dan negara-negara berpenghasilan rendah dan menengah. Kepresidenan Indonesia di G20 harus membuktikan bahwa kepemimpinan Indonesia tidak hanya akan mendorong G20 yang lebih produktif dan efektif tetapi juga yang melayani kepentingan semua pihak (inklusif).
Business as usual tidak lagi dapat digunakan untuk menghadapi tantangan risiko sistemik global yang semakin meningkat. Keterkaitan antara krisis kesehatan dan krisis ekonomi, konflik sosial dan kerusakan lingkungan serta perubahan iklim menghambat realisasi pembangunan global dan memperparah kesenjangan akses terhadap sumber daya dan ketimpangan antar negara ketika menghadapi pandemi. Ketidaksetaraan dan risiko yang meningkat dapat merusak inisiatif pemulihan yang berkelanjutan. Agenda pemulihan ekonomi global harus dilengkapi dengan agenda kemanusiaan dan mitigasi perubahan iklim. Negara-negara G20 harus memainkan peran penting dalam memperkuat hubungan keterkaitan pembangunan dan kemanusiaan dengan membentuk strategi penargetan yang menangani kebutuhan mendesak dan tujuan pembangunan jangka panjang dari penduduk yang terkena dampak krisis.
Negara-negara G20 harus memperluas visi mereka dengan pertimbangan kemanusiaan. G20 seharusnya tidak hanya menghadapi tantangan yang ada, tetapi juga memastikan bahwa warga negara yang paling rentan di seluruh dunia dan mereka yang, karena keadaan tertentu, berisiko untuk tidak bisa bertahan hidup, akan diperhitungkan (diberdayakan) dalam implementasi dari semua komitmen G20. Dalam masa tanggap pandemi, demikian pula halnya dengan masa pemulihan, maka penegakan harkat dan martabat serta perlindungan terhadap warga negara yang rentan tersebut menjadi suatu kewajiban agar tidak terjadi pembiaran, pengabaian, atau bahkan pelanggaran terhadap hak-hak mereka. Negara-negara G20 memainkan peran utama dan harus menggunakan kekuatan signifikan mereka untuk mempengaruhi dan, bahkan, menciptakan norma-norma internasional baru yang mengarah pada masyarakat dunia pascapandemi yang sejahtera, manusiawi, dan inklusif.
Negara-negara G20 perlu merevisi arsitektur ekonomi global dengan pengurangan biaya pengiriman uang . Ketimpangan ekonomi kemungkinan akan menghapus hasil pembangunan yang dicapai selama dekade terakhir, terutama, untuk negara-negara berpenghasilan rendah dan menengah, yang saat ini masih terjerat dalam lingkaran kemiskinan, kelaparan, utang, dan kesulitan lain akibat penghematan ketat di tengah pandemi. Dengan ekonomi global yang lebih terintegrasi, migrasi tenaga kerja akan memainkan peran yang juga penting dalam mengentaskan kemiskinan melalui remitansi. Sebagai alternatif pembiayaan pembangunan, biaya remitansi untuk uang yang ditransfer dari luar negeri harus lebih terjangkau dan lebih mudah diakses oleh pekerja migran. Negara-negara G20 harus menjamin akses terhadap layanan kesehatan universal khususnya bagi kelompok migran, termasuk pekerja migran sebagaimana dinyatakan dalam kepresidenan sebelumnya di Roma.
Negara-negara G20 harus mengadopsi perlindungan sosial adaptif, yang lebih bermanfaat bagi perempuan dan anak-anak sebagai generasi pemilik masa depan . Negara-negara G20 perlu mendapatkan pemahaman yang lebih baik tentang bagaimana krisis sosial ekonomi yang disebabkan oleh pandemi ini berdampak lebih parah pada perempuan dan anak-anak, dan bahwa jika perlindungan sosial yang lebih kuat dan adaptif tidak diterapkan, ancaman krisis serupa dapat menimbulkan dampak serupa, kalau tidak lebih buruk, di masa depan. Dalam hal ini, skenario untuk mengurangi dampak, dan untuk pulih dari pandemi harus mencakup analisis proyeksi kemungkinan krisis dengan, misalnya, penerapan pandangan ke depan yang strategis untuk pemberdayaan perempuan dan lingkungan yang ramah anak.
SDGs and Humanitarian Working Group’s Policy Papers Proposal BAHASA (1) SDGs and Humanitarian Working Group’s Policy Papers Proposal ENGLISH