Migrant CARE

Indonesian Association for Migrant Workers Sovereignity

Opini Headline Referensi

Perubahan Iklim, Diversifikasi Pendapatan dan Masa Depan Migrasi Penduduk

Perpindahan dan mobilitas adalah topik hangat dalam kajian isu lingkungan dan perubahan iklim global. Demikian pula ketika “lingkungan” dan “perubahan iklim” menjadi kata kunci yang umum digunakan oleh kalangan yang peduli terhadap isu migrasi, perpindahan internal dan mobilitas buruh internasional. Akan tetapi, relasi dan koneksi antara kedua kubu tersebut hingga saat ini masih belum diketahui, ambigu dan kerap dianggap kontroversial oleh beberapa pihak.

Dalam upaya menuju advokasi yang lebih besar untuk pemberdayaan pekerja migran Indonesia, organisasi masyarakat sipil seperti Migrant CARE berusaha untuk menyesuaikan analisis dengan tren dan pola permasalahan serta penelitian terhadap keterkaitan topik ini.

Walaupun perubahan iklim masih belum terbukti sebagai faktor pendukung utama dalam meningkatnya mobilitas internasional pekerja migran Indonesia, tetapi isu tersebut tetap penting untuk dikaji dan didiskusikan lebih dalam sebagai potensi risiko dan permasalahan ke depan.

Argumen utama dalam pemikiran kontemporer terkait topik ini adalah perkembangan lokal dan diversifikasi pendapatan harus diprioritaskan, di mana migrasi dianggap menjadi pilihan terakhir.

Di penjuru Indonesia, mobilitas dan perpindahan umumnya berasal dari suatu peristiwa bencana alam dan konflik. Menurut InternalDisplacement.org(2019), pada tahun 2018 terdapat 853,000 orang terlantar baru di Indonesia, sebagian besar disebabkan oleh serangkaian bencana yang tidak terprediksi seperti gempa bumi Lombok, gempa bumi dan tsunami Sulawesi Tengah, serta tsunami yang terjadi di Selat Sunda/Lampung pada bulan Desember 2018. Perpindahan internal yang berlangsung sepanjang tahun merupakan dampak langsung dan terprediksi dari bencana alam tersebut, serta biasanya dikategorikan sebagai dampak sementara. Upaya pemulihan berfokus pada rehabilitasi daerah terdampak dan mengembalikan keadaan ke keadaan normal sesegera mungkin.

Di sisi yang tidak begitu nampak, namun pasti, adanya bencana lain yang lebih kronis dan terjadi secara bertahap seperti degradasi lingkungan, kekeringan dan kenaikan permukaan laut, dimana bencana tersebut diprediksi dapat mengakibatkan meningkatnya mobilitas/pergerakan penduduk, mata pencaharian dan sistem sosial di tahun yang akan datang. Sepanjang sejarah, Indonesia sudah mengalami bencana-bencana tersebut. Walaupun penelitian terkait dampak dari bencana tersebut pada mobilitas masih jarang, tetapi, sudah ada pendapat bahwa (contohnya) penurunan curah hujan dapat mempengaruhi populasi dalam kondisi ekonomi melalui penurunan produktivitas pertanian. Hal ini berpotensi menjadi faktor kontribusi terhadap mobilitas yang lebih besar, seperti migrasi buruh sementara yang terjadi secara musiman, baik antar desa-kota maupun internasional.

Sudah menjadi pengetahuan umum bahwa tingkat mobilitas yang tinggi umumnya dikaitkan dengan peluang ekonomi dan kebutuhan untuk mendiversifikasi sumber pendapatan. Hal ini diperkuat saat kondisi ekonomi tersebut didorong oleh dampak dari bencana-bencana yang berkaitan dengan iklim, seperti desertifikasi dan degradasi tanah/air.

Profil Indonesia di dunia migrasi tenaga kerja internasional ditandai oleh dominasi pekerja rumah tangga perempuan yang dipekerjakan di beberapa negara tujuan utama, sebuah tren dipercepat selama krisis moneter Asia Tenggara pada akhir tahun 1990-an. Pada masa ini, banyak keluarga Indonesia yang mengirim anggota keluarga perempuannya untuk bekerja di luar negeri, terutama di Timur Tengah, sebagai langkah untuk mendiversifikasikan sumber pendapatan keluarga. Langkah tersebut dinilai efektif untuk mengatasi pengurangan pendapatan yang dihadapi di seluruh negara selama krisis.

Macam-macam diversifikasi pendapatan

Perubahan iklim yang sedang terjadi dan akan terus berlangsung menghambat produktivitas, gaya hidup dan akses ke layanan alam. Maka dari itulah diversifikasi pendapatan sangatlah penting bagi mereka yang bergantung pada lingkungan untuk mata pencaharian, pangan, bahan bakar dan obat-obatan. Sebagai bentuk adaptasi perubahan iklim, diversifikasi pendapatan memiliki beberapa macam, seperti:

  • Pertama, bertani atau melakukan kegiatan yang sama seperti biasa, tetapi di lokasi yang baru. Ini cenderung hanya melibatkan migrasi jarak pendek dan sirkular.
  • Kedua, ketika ada lebih sedikit tenaga kerja yang dibutuhkan di ladang, memungkinkan adanya peningkatan keterlibatan sementara dalam kegiatan selain pertanian, seperti UMKM.
  • Ketiga, apabila kedua opsi tersebut sudah tidak ada, beberapa anggota dari sebuah rumah tangga biasanya berpindah ke pusat kota, baik dalam negeri maupun internasional, di sektor-sektor yang membutuhkan pekerja migran. Remitansi yang dikirim ke negara asal dari bentuk pekerjaan ini berfungsi sebagai diversifikasi pendapatan.

Sebagaimana pola dan tren perubahan iklim diprediksi akan meningkat, diversifikasi pendapatan dalam bentuk-bentuk ini akan menjadi elemen yang semakin penting atas adaptasi terhadap perubahan iklim yang lambat. Mengingat penyebaran respons, migrasi (terutama pekerja migran internasional) mungkin hanya menjadi salah satu dari sejumlah opsi yang dipertimbangkan, walaupun, terlepas dari manfaatnya, hal tersebut umumnya bukan menjadi respon yang diminati.

Peluang

International Institute for Environment and Development menyarankan bahwa remitansi dan pendapatan dari kegiatan non-pertanian, termasuk migrasi tenaga kerja, dapat berperan penting dalam membiayai inovasi dan intensifikasi pertanian. Pendapatan tersebut dapat menjadi modal yang sangat dibutuhkan untuk berinvestasi dalam input infrastruktur, bahkan mengupah tenaga kerja. Lebih lagi, bentuk diversifikasi pendapatan ini memungkinkan adanya jaring pengaman, mendorong komunitas petani untuk mengambil risiko dalam mengubah mengubah praktik tradisional yang sering dibutuhkan untuk menghadapi ancaman terkait iklim.

Sebuah kisah sukses di mana manfaat remitansi telah membawa inovasi kepada ekonomi pedesaan terjadi di Desa Tanggulangin, Kebumen, Jawa Tengah. Desa ini merupakan rumah bagi banyak pekerja migran (dulu dan sekarang) dan keluarganya. Wilayah ini juga salah satu daerah sasaran implementasi inisiatif DESBUMI. Dalam beberapa waktu terakhir, telah lahir sebuah komunitas yang terdiri dari pekerja migran dan purna migran dengan visi untuk memberdayakan masyarakat berdasarkan remitansi yang diperoleh. Mereka mengumpulkan sumber daya untuk berinovasi dalam memproduksi makanan ringan baru, yaitu tiwul dan manggleng, hasil olahan singkong dan ikan kering. Berkat remitansi yang diperoleh dari pekerja migran, mereka memiliki modal dan keberanian untuk bereksperimen menggunakan singkong sebagai bahan baku untuk produk mereka, di mana belum pernah dilakukan sebelum peluncuran program komunitas ini.

Remitansi yang masuk ke desa bisa sangat membantu membangun ketahanan dalam mata pencaharian dan kapasitas adaptif. Kondisi ini berpotensi juga meningkatkan ketahanan terhadap guncangan lingkungan dan ekonomi serta bencana alam. Hal ini juga dapat membantu mencegah konflik sosial. Dengan memfokuskan pada pembangunan dan kemajuan lokal, peningkatan modal melalui remitansi dapat dianggap sebagai ‘intervensi aktif’ dalam menghadapi sulitnya beradaptasi dengan perubahan iklim. Namun, terlepas dari manfaat dan peluang yang ditemukan melalui kesaksian Desa Tanggulangin, kelemahan dari beragam macam diversifikasi pendapatan juga harus dipertimbangkan.

Tantangan

Pertama, konsensus di antara para ahli teori dan praktisi mengenai mobilitas yang berkaitan dengan faktor lingkungan menyatakan bahwa pada umumnya orang tidak mau berpindah. Bermigrasi yang dilihat sebagai sebuah pilihan, cenderung menjadi pilihan terakhir. Vietnam adalah contoh negara yang masyarakatnya cenderung memilih untuk beradaptasi hidup dengan banjir lalu mempelajari praktik-praktik mitigasi dibandingkan meninggalkan lingkungan rumah mereka. Pada dasarnya, masyarakat yang terkena dampak sering memiliki preferensi untuk melakukan penyesuaian lokal daripada bermigrasi atau berpindah ke wilayah lain.

Kedua, jenis mata pencaharian alternatif yang diambil secara tradisional terlibat dalam mata pencaharian berbasis sumber daya alam (contohnya, pertanian atau perikanan) lekat dengan berbagai tantangan lainnya. Pendapatan alternatif menurut mereka masih terbatas, di mana kapasitas dan sumber daya cenderung menyebabkan ketidakmerataan dan ketidakstabilan kerja. Selain itu, telah ditemukan bahwa misalnya Saat petani dan buruh pertanian mencari pekerjaan di sistem perkotaan, mereka sering menemukan keterampilan mereka yang tidak relevan. Dalam konteks situasi tenaga kerja global, di 2019 hanya sekitar 3,000 dari 276,000 pekerja migran Indonesia yang bekerja di sektor agrikultur di luar negeri, padahal faktanya menunjukkan bahwa mayoritas angkatan kerja migran Indonesia berasal dari daerah pedesaan di mana pertanian merupakan komponen utama dari ekonomi lokal.

Lebih lagi dari dua kelemahan tersebut, tantangan lain juga muncul apabila dilihat dari kacamata gender. Umumnya, perempuan cenderung mendominasi dalam migrasi tenaga kerja internasional seperti pekerja migran di sektor domestik, yaitu pekerja rumah tangga. Pada tahun 2014 hingga 2018, 53 persen pekerja migran Indonesia bermigrasi melalui jalur non-prosedural yang rentan menjebak dalam situasi yang rentan, seperti perdagangan manusia, eksploitasi seksual, serta perbudakan.

Pembangunan desa yang berdasarkan prinsip iklim

Sepanjang sejarah, baru-baru ini peristiwa-peristiwa migrasi paksa sebagai faktor pendorong telah menunjukkan potensi besar disrupsi terhadap lingkungan asal dan tujuan, misalnya; disrupsi keluarga, tekanan lingkungan serta sumber daya, ketegangan sosial dan konflik, dsb. Mengingat bahwa ancaman gangguan ekonomi tersebut, sosial dan disrupsi lingkungan, digabung dengan kelemahan-kelemahan yang telah dibahas di paragraf atas (preferensi untuk pengembangan lokal daripada migrasi; transferabilitas keterampilan dari pekerjaan pedesaan perkotaan sering terbatas; prevalensi perbudakan modern melalui jalur informal), argumen ini kuat dalam memanfaatkan praktik pembangunan yang lebih memadai di daerah pedesaan dalam mengurangi jejak lingkungan, memitigasi dampak, beradaptasi pada realitas perubahan iklim jangka panjang, terutama dalam mengurangi kebutuhan mitigasi sementara, musiman maupun permanen.

Dengan cara pembangunan di daerah pedesaan serta pertumbuhan ekonominya, akan banyak yang sudah tercapai, serta dan harus selalu di dukung, dalam memprioritaskan pembangunan lokal. Inisiatif pembangunan pedesaan meliputi metode pertanian inovatif seperti regenerasi alami yang dikelola petani (FMNR), pertanian lahan kering, praktik pembangunan berkelanjutan dan peningkatan kapasitas/peningkatan kemampuan populasi rentan untuk mendiversifikasi pendapatan. Strategi tersebut untuk pembangunan pedesaan butuh beroperasi dengan cara yang proporsional, berkelanjutan, dan didasari oleh pendekatan yang bersih serta hijau untuk menumbuhkan ketahanan di masa-masa sulit yang akan datang.

Diterjemahkan oleh: Nadia Handayani

Rebekah adalah salah satu pemagang Migrant CARE, sejak Maret 2020. Dia orang Australia yang berkuliah di Universitas Indonesia, jurusan Bahasa Indonesia. Rebekah sudah lulus S1 dari Monash University di Melbourne, jurusan Geografi. Dia sangat cinta tinggal di Indonesia dan belajar tentang isu aktuil di Indonesia dan Asia Tenggara.
Opinion Reference Headline

Climate Change, Income Diversification and the Future of Migration

Displacement and mobility are increasingly hot topics in considering environmental issues and global climate change. Likewise, the environment and climate change are increasingly common buzzwords amongst those concerned with migration, internal displacement and international labour mobility. The connections and relationships between these two broad camps, however, remain understudied, ambiguous and controversial among various actors.

In working towards greater advocacy for and empowerment of Indonesian migrant workers, civil society organisations such as Migrant CARE seek to be across the latest in trends, patterns and research surrounding this topic.

To say that climate change is a key driving factor in increasing international mobility of Indonesian labour migrants is not yet substantiated. Nonetheless, it is an important field to explore and discuss.

The key argument in contemporary thought on this topic is that in situ development and income diversification should be prioritised, with migration considered a last resort response.

This piece explores some of the opportunities and challenges presented by various forms of income diversification, including migration, as well as how the work of Migrant CARE is involved in this space.

Across Indonesia, mobility and displacement predominantly originate from geophysical disaster events and conflict. According to international organisation Internal Displacement (2019), throughout 2018 Indonesia saw 853,000 new displaced people, mostly attributed to the series of sudden-onset disasters such as the Lombok earthquakes, the Central Sulawesi earthquake and tsunami, as well as the Sunda Strait/Lampung tsunami in December 2018. The internal displacement that took place throughout the year is both a direct and expected result of such disasters, and usually characterized as temporary. The recovery efforts focus on rehabilitating destructed areas and returning back to normality as soon as possible.

What is less clear, however, is how other more chronic and gradual onset disasters, such as environmental degradation, drought and sea level rise, may result in heightened mobility and movement of people, livelihoods and social systems in years and decades to come. Throughout history, Indonesia has already faced such slow-onset disasters. Although research on the resulting mobility is patchy, it has been argued that a decrease in rainfall, for example, can affect populations in economic terms through a decline in agricultural productivity. This could potentially become a contributing factor towards greater mobility, most likely seasonal, temporary labour migration, both rural-urban and international.

It is widely accepted that high levels of mobility are commonly attributed to economic opportunities and the need to diversify sources of income. This is enhanced when such economic conditions are driven by impacts of slow-onset climate-related disasters, such as desertification and land/water degradation.

Indonesia’s profile in the international labour migration sphere is characterized by the predominance of female domestic workers employed in a handful of key destination countries, a trend accelerated during the Southeast Asian financial crisis of the late 1990s. During this time, many Indonesian families sent female members to work abroad, mainly in the Middle East, as a way to diversify the family’s income sources. This was found to be an effective way to cope with the reduction of incomes faced across the country during that crisis.

Types of income diversification

Income diversification is particularly paramount for those who depend heavily on the environment for livelihoods, food, fuel and medicine. Climate change is and will continue to hamper productivity, lifestyle and access to natural services. As a form of climate change adaptation, income diversification can take many forms, including the following:

  • First, farming or doing the same activities as normal, but in new locations. This tends to only involve short-distance and circular migration.
  • Second, when there is less labour required in the fields, there may be a heightened temporary engagement in non-farm activities, such as in micro-enterprises.
  • Third, if both of those options are exhausted, several members from a household may move towards urban centres, domestically or internationally, in sectors in demand of migrant labour. The remittances sent home from this form of employment serve as a diversification of income.

As existing climate change-related patterns and trends are forecasted to intensify, income diversification in these forms will become an increasingly important element of adaptation to slow-onset climate change. Given this spread of responses, migration (particularly international labour migration) may be just one of a range of options considered, though, despite the benefits, this is not usually the preferred response.

Opportunities

The International Institute for Environment and Development suggests that remittances and earnings from non-farm activities, including labour migration, can be instrumental in financing the innovation and intensification of farming. It can provide the much-needed capital to invest in inputs, infrastructure and even waged labour. Moreover, this form of income diversification enables safety nets to be in place, encouraging farming communities to take the risks inherent in changing traditional practices which is often needed in the face of climate-related threats.

A success story of where the benefits of remittances has brought innovation to rural economies is Tanggulangin village, East Java. This village is home to many migrant workers (past and present) and their families, and is one of Migrant CARE’s DESBUMI target areas. Over recent years, a community group comprised of former migrant workers has been established with a vision to empower the community based on the remittances earned. They have pooled together resources to innovate in the production of new snacks, namely tiwul and manggleng, processed from cassava and dried fish. Thanks to the remittances earned from external labour, they had both the capital and courage to experiment with using cassava as the raw material for their products, which they had not done prior to the launch of this community program.

The remittances that can be earned can go a long way to build resilience in livelihoods and adaptive capacity, by enhancing resilience to both environmental and economic shocks and disasters, this also helps to avert social conflict. By focussing on in situ development and improvements, capital boosts through remittances can be considered as ‘active intervention’ in the plight for climate change adaptation. However, despite benefits and opportunities found through testimonies such as Tanggulangin’s, the downsides of the various forms of income diversification must also be weighed up.

Challenges

First, the consensus amongst both theorists and practitioners when it comes to mobility relating to environmental drivers, is that generally people do not want to move. Migrating, if even an option, tends to be a last resort. Vietnam is an example of where communities have overwhelmingly chosen to live with flooding; to learn mitigation and adaptation strategies rather than leave their home environments altogether. Essentially, affected communities often have a preference for in situ adjustment than for migration.

Second, the uptake of alternative livelihoods by those traditionally engaged in natural-resource based livelihoods (e.g. subsistence agriculture or fisheries) presents a host of other challenges. Sourcing alternative income revenue according to their, often limited, resources and skillset capacities tends to lead to uneven and unstable work. Furthermore, it has been found that when, for example, farmers and agricultural labourers seek work in urban settings, they often find their skills irrelevant. In terms of international labour, in 2019 only about 3,000 of the more than 276,000 Indonesian migrant workers were engaged in agricultural labour abroad, despite the fact that the majority of Indonesia’s migratory labour force come from rural areas where agriculture is a primary component of the local economy.

In addition to these two downsides, further challenges arise when looking through a gender lens. Generally, women tend to dominate in several types of major movement particularly in key international labour migrations such as that of domestic workers. Between 2014-2018, 53 percent of Indonesia’s migrant workers went through irregular and illegal channels. These informal movements can give rise to migrants finding themselves trapped in

Climate-oriented rural development

Throughout recent history, events underpinned by involuntary migration, driven by a range of causes, have demonstrated the huge potential for disruption to both origin and destination environments; family disruption, environmental and resource stress, brain-drains, social tensions and conflicts etc. Given the threats of these economic, social and environmental disruptions, combined with the downsides discussed (the preference for in situ development over migration; skills transferability from rural work to urban work often limited; prevalence of modern slavery through informal channels), the argument is strong for harnessing development practices that better equip rural areas to minimise environmental footprint, mitigate impacts and adapt to long-term realities of climate change, particularly in order to minimise the need for temporary, seasonal or permanent migration.

By way of rural area development and economic growth, much is already being done, and can and should be bolstered, in prioritising in situ development. Rural development initiatives include innovative agricultural methods such as farmer managed natural regeneration (FMNR), drought-resistant farming, sustainable grazing practices and capacity building/upskilling of vulnerable populations in order to diversify incomes. These strategies for rural development need to operate in ways that are context-appropriate, sustainable, and founded on clean and green approaches that foster resilience for the challenging times that lie ahead.

Translated by: Nadia Handayani

Rebekah adalah salah satu pemagang Migrant CARE, sejak Maret 2020. Dia orang Australia yang berkuliah di Universitas Indonesia, jurusan Bahasa Indonesia. Rebekah sudah lulus S1 dari Monash University di Melbourne, jurusan Geografi. Dia sangat cinta tinggal di Indonesia dan belajar tentang isu aktuil di Indonesia dan Asia Tenggara.