19 March 2024 09:47

Perubahan Iklim, Diversifikasi Pendapatan dan Masa Depan Migrasi Penduduk

Perpindahan dan mobilitas adalah topik hangat dalam kajian isu lingkungan dan perubahan iklim global. Demikian pula ketika “lingkungan” dan “perubahan iklim” menjadi kata kunci yang umum digunakan oleh kalangan yang peduli terhadap isu migrasi, perpindahan internal dan mobilitas buruh internasional. Akan tetapi, relasi dan koneksi antara kedua kubu tersebut hingga saat ini masih belum diketahui, ambigu dan kerap dianggap kontroversial oleh beberapa pihak.

Dalam upaya menuju advokasi yang lebih besar untuk pemberdayaan pekerja migran Indonesia, organisasi masyarakat sipil seperti Migrant CARE berusaha untuk menyesuaikan analisis dengan tren dan pola permasalahan serta penelitian terhadap keterkaitan topik ini.

Walaupun perubahan iklim masih belum terbukti sebagai faktor pendukung utama dalam meningkatnya mobilitas internasional pekerja migran Indonesia, tetapi isu tersebut tetap penting untuk dikaji dan didiskusikan lebih dalam sebagai potensi risiko dan permasalahan ke depan.

Argumen utama dalam pemikiran kontemporer terkait topik ini adalah perkembangan lokal dan diversifikasi pendapatan harus diprioritaskan, di mana migrasi dianggap menjadi pilihan terakhir.

Di penjuru Indonesia, mobilitas dan perpindahan umumnya berasal dari suatu peristiwa bencana alam dan konflik. Menurut InternalDisplacement.org(2019), pada tahun 2018 terdapat 853,000 orang terlantar baru di Indonesia, sebagian besar disebabkan oleh serangkaian bencana yang tidak terprediksi seperti gempa bumi Lombok, gempa bumi dan tsunami Sulawesi Tengah, serta tsunami yang terjadi di Selat Sunda/Lampung pada bulan Desember 2018. Perpindahan internal yang berlangsung sepanjang tahun merupakan dampak langsung dan terprediksi dari bencana alam tersebut, serta biasanya dikategorikan sebagai dampak sementara. Upaya pemulihan berfokus pada rehabilitasi daerah terdampak dan mengembalikan keadaan ke keadaan normal sesegera mungkin.

Di sisi yang tidak begitu nampak, namun pasti, adanya bencana lain yang lebih kronis dan terjadi secara bertahap seperti degradasi lingkungan, kekeringan dan kenaikan permukaan laut, dimana bencana tersebut diprediksi dapat mengakibatkan meningkatnya mobilitas/pergerakan penduduk, mata pencaharian dan sistem sosial di tahun yang akan datang. Sepanjang sejarah, Indonesia sudah mengalami bencana-bencana tersebut. Walaupun penelitian terkait dampak dari bencana tersebut pada mobilitas masih jarang, tetapi, sudah ada pendapat bahwa (contohnya) penurunan curah hujan dapat mempengaruhi populasi dalam kondisi ekonomi melalui penurunan produktivitas pertanian. Hal ini berpotensi menjadi faktor kontribusi terhadap mobilitas yang lebih besar, seperti migrasi buruh sementara yang terjadi secara musiman, baik antar desa-kota maupun internasional.

Sudah menjadi pengetahuan umum bahwa tingkat mobilitas yang tinggi umumnya dikaitkan dengan peluang ekonomi dan kebutuhan untuk mendiversifikasi sumber pendapatan. Hal ini diperkuat saat kondisi ekonomi tersebut didorong oleh dampak dari bencana-bencana yang berkaitan dengan iklim, seperti desertifikasi dan degradasi tanah/air.

Profil Indonesia di dunia migrasi tenaga kerja internasional ditandai oleh dominasi pekerja rumah tangga perempuan yang dipekerjakan di beberapa negara tujuan utama, sebuah tren dipercepat selama krisis moneter Asia Tenggara pada akhir tahun 1990-an. Pada masa ini, banyak keluarga Indonesia yang mengirim anggota keluarga perempuannya untuk bekerja di luar negeri, terutama di Timur Tengah, sebagai langkah untuk mendiversifikasikan sumber pendapatan keluarga. Langkah tersebut dinilai efektif untuk mengatasi pengurangan pendapatan yang dihadapi di seluruh negara selama krisis.

Macam-macam diversifikasi pendapatan

Perubahan iklim yang sedang terjadi dan akan terus berlangsung menghambat produktivitas, gaya hidup dan akses ke layanan alam. Maka dari itulah diversifikasi pendapatan sangatlah penting bagi mereka yang bergantung pada lingkungan untuk mata pencaharian, pangan, bahan bakar dan obat-obatan. Sebagai bentuk adaptasi perubahan iklim, diversifikasi pendapatan memiliki beberapa macam, seperti:

  • Pertama, bertani atau melakukan kegiatan yang sama seperti biasa, tetapi di lokasi yang baru. Ini cenderung hanya melibatkan migrasi jarak pendek dan sirkular.
  • Kedua, ketika ada lebih sedikit tenaga kerja yang dibutuhkan di ladang, memungkinkan adanya peningkatan keterlibatan sementara dalam kegiatan selain pertanian, seperti UMKM.
  • Ketiga, apabila kedua opsi tersebut sudah tidak ada, beberapa anggota dari sebuah rumah tangga biasanya berpindah ke pusat kota, baik dalam negeri maupun internasional, di sektor-sektor yang membutuhkan pekerja migran. Remitansi yang dikirim ke negara asal dari bentuk pekerjaan ini berfungsi sebagai diversifikasi pendapatan.

Sebagaimana pola dan tren perubahan iklim diprediksi akan meningkat, diversifikasi pendapatan dalam bentuk-bentuk ini akan menjadi elemen yang semakin penting atas adaptasi terhadap perubahan iklim yang lambat. Mengingat penyebaran respons, migrasi (terutama pekerja migran internasional) mungkin hanya menjadi salah satu dari sejumlah opsi yang dipertimbangkan, walaupun, terlepas dari manfaatnya, hal tersebut umumnya bukan menjadi respon yang diminati.

Peluang

International Institute for Environment and Development menyarankan bahwa remitansi dan pendapatan dari kegiatan non-pertanian, termasuk migrasi tenaga kerja, dapat berperan penting dalam membiayai inovasi dan intensifikasi pertanian. Pendapatan tersebut dapat menjadi modal yang sangat dibutuhkan untuk berinvestasi dalam input infrastruktur, bahkan mengupah tenaga kerja. Lebih lagi, bentuk diversifikasi pendapatan ini memungkinkan adanya jaring pengaman, mendorong komunitas petani untuk mengambil risiko dalam mengubah mengubah praktik tradisional yang sering dibutuhkan untuk menghadapi ancaman terkait iklim.

Sebuah kisah sukses di mana manfaat remitansi telah membawa inovasi kepada ekonomi pedesaan terjadi di Desa Tanggulangin, Kebumen, Jawa Tengah. Desa ini merupakan rumah bagi banyak pekerja migran (dulu dan sekarang) dan keluarganya. Wilayah ini juga salah satu daerah sasaran implementasi inisiatif DESBUMI. Dalam beberapa waktu terakhir, telah lahir sebuah komunitas yang terdiri dari pekerja migran dan purna migran dengan visi untuk memberdayakan masyarakat berdasarkan remitansi yang diperoleh. Mereka mengumpulkan sumber daya untuk berinovasi dalam memproduksi makanan ringan baru, yaitu tiwul dan manggleng, hasil olahan singkong dan ikan kering. Berkat remitansi yang diperoleh dari pekerja migran, mereka memiliki modal dan keberanian untuk bereksperimen menggunakan singkong sebagai bahan baku untuk produk mereka, di mana belum pernah dilakukan sebelum peluncuran program komunitas ini.

Remitansi yang masuk ke desa bisa sangat membantu membangun ketahanan dalam mata pencaharian dan kapasitas adaptif. Kondisi ini berpotensi juga meningkatkan ketahanan terhadap guncangan lingkungan dan ekonomi serta bencana alam. Hal ini juga dapat membantu mencegah konflik sosial. Dengan memfokuskan pada pembangunan dan kemajuan lokal, peningkatan modal melalui remitansi dapat dianggap sebagai ‘intervensi aktif’ dalam menghadapi sulitnya beradaptasi dengan perubahan iklim. Namun, terlepas dari manfaat dan peluang yang ditemukan melalui kesaksian Desa Tanggulangin, kelemahan dari beragam macam diversifikasi pendapatan juga harus dipertimbangkan.

Tantangan

Pertama, konsensus di antara para ahli teori dan praktisi mengenai mobilitas yang berkaitan dengan faktor lingkungan menyatakan bahwa pada umumnya orang tidak mau berpindah. Bermigrasi yang dilihat sebagai sebuah pilihan, cenderung menjadi pilihan terakhir. Vietnam adalah contoh negara yang masyarakatnya cenderung memilih untuk beradaptasi hidup dengan banjir lalu mempelajari praktik-praktik mitigasi dibandingkan meninggalkan lingkungan rumah mereka. Pada dasarnya, masyarakat yang terkena dampak sering memiliki preferensi untuk melakukan penyesuaian lokal daripada bermigrasi atau berpindah ke wilayah lain.

Kedua, jenis mata pencaharian alternatif yang diambil secara tradisional terlibat dalam mata pencaharian berbasis sumber daya alam (contohnya, pertanian atau perikanan) lekat dengan berbagai tantangan lainnya. Pendapatan alternatif menurut mereka masih terbatas, di mana kapasitas dan sumber daya cenderung menyebabkan ketidakmerataan dan ketidakstabilan kerja. Selain itu, telah ditemukan bahwa misalnya Saat petani dan buruh pertanian mencari pekerjaan di sistem perkotaan, mereka sering menemukan keterampilan mereka yang tidak relevan. Dalam konteks situasi tenaga kerja global, di 2019 hanya sekitar 3,000 dari 276,000 pekerja migran Indonesia yang bekerja di sektor agrikultur di luar negeri, padahal faktanya menunjukkan bahwa mayoritas angkatan kerja migran Indonesia berasal dari daerah pedesaan di mana pertanian merupakan komponen utama dari ekonomi lokal.

Lebih lagi dari dua kelemahan tersebut, tantangan lain juga muncul apabila dilihat dari kacamata gender. Umumnya, perempuan cenderung mendominasi dalam migrasi tenaga kerja internasional seperti pekerja migran di sektor domestik, yaitu pekerja rumah tangga. Pada tahun 2014 hingga 2018, 53 persen pekerja migran Indonesia bermigrasi melalui jalur non-prosedural yang rentan menjebak dalam situasi yang rentan, seperti perdagangan manusia, eksploitasi seksual, serta perbudakan.

Pembangunan desa yang berdasarkan prinsip iklim

Sepanjang sejarah, baru-baru ini peristiwa-peristiwa migrasi paksa sebagai faktor pendorong telah menunjukkan potensi besar disrupsi terhadap lingkungan asal dan tujuan, misalnya; disrupsi keluarga, tekanan lingkungan serta sumber daya, ketegangan sosial dan konflik, dsb. Mengingat bahwa ancaman gangguan ekonomi tersebut, sosial dan disrupsi lingkungan, digabung dengan kelemahan-kelemahan yang telah dibahas di paragraf atas (preferensi untuk pengembangan lokal daripada migrasi; transferabilitas keterampilan dari pekerjaan pedesaan perkotaan sering terbatas; prevalensi perbudakan modern melalui jalur informal), argumen ini kuat dalam memanfaatkan praktik pembangunan yang lebih memadai di daerah pedesaan dalam mengurangi jejak lingkungan, memitigasi dampak, beradaptasi pada realitas perubahan iklim jangka panjang, terutama dalam mengurangi kebutuhan mitigasi sementara, musiman maupun permanen.

Dengan cara pembangunan di daerah pedesaan serta pertumbuhan ekonominya, akan banyak yang sudah tercapai, serta dan harus selalu di dukung, dalam memprioritaskan pembangunan lokal. Inisiatif pembangunan pedesaan meliputi metode pertanian inovatif seperti regenerasi alami yang dikelola petani (FMNR), pertanian lahan kering, praktik pembangunan berkelanjutan dan peningkatan kapasitas/peningkatan kemampuan populasi rentan untuk mendiversifikasi pendapatan. Strategi tersebut untuk pembangunan pedesaan butuh beroperasi dengan cara yang proporsional, berkelanjutan, dan didasari oleh pendekatan yang bersih serta hijau untuk menumbuhkan ketahanan di masa-masa sulit yang akan datang.

Diterjemahkan oleh: Nadia Handayani

TERBARU