Badan Pelindungan Pekerja Migran Indonesia (BP2MI) pekan lalu baru saja merilis prediksi angka kepulangan pekerja migran setelah Lebaran. Sejumlah 50.114 Pekerja Migran Indonesia (PMI) diperkirakan akan pulang ke kampung halaman sekitar Juli sampai dengan Agustus 2020. Arus kepulangan PMI akan terus mengalir memenuhi kampung halaman hingga akhir 2020, yang sebagian besar adalah kawasan perdesaan.
Angka pemutusan hubungan kerja, yang dilaporkan oleh Kementerian Ketenagakerjaan, juga kian meningkat seiring dengan ketidakpastian ekonomi. Kurva kasus Covid-19 terus menjulang hingga dua minggu terakhir ini. Klaster-klaster baru ditemukan di pabrik, pusat layanan umum, dan pasar―sebagian besar di kawasan perkotaan. Hal tersebut menjadi pertanda bahwa pemulihan dan dampak yang ditimbulkan Covid- 19 masih jauh dari kata selesai.
Fenomena pulang kampung-balik desa tidak hanya terjadi di Indonesia. Pada awal kecamuk pandemi Covid-19, dunia digegerkan dengan kisah tragis ribuan warga India yang terpaksa pulang kampung dengan berjalan kaki ratusan, bahkan ribuan kilometer, ketika kota-kota besar menutup diri (lockdown) sebagai langkah darurat mencegah Covid-19.
Pada saat virus corona (sebelum bernama Covid-19) masih mewabah di episentrum awal Asia Timur, kerisauan telah diperbincangkan di desa-desa basis PMI. Informasi tersebut disampaikan melalui arus komunikasi antara PMI dan keluarganya di kampung halaman yang sekarang ini nyaris tak terkendala seiring dengan perkembangan teknologi komunikasi. Perkembangan terkini di negara tempat bekerja bisa disampaikan ke keluarga di kampung halaman tanpa jeda waktu lama. Kecepatan arus informasi inilah yang juga telah mendorong para kepala daerah tempat asal PMI berinisiatif mengirimkan ribuan masker pelindung ke Hong Kong, Taiwan, dan Singapura pada Januari hingga Februari 2020. Kondisi inilah yang sebenarnya telah menjadikan desa-desa basis PMI sebagai desa tanggap/siaga Covid-19.
Migrant CARE melakukan identifikasi terhadap inisiatif lokal sejak Maret 2020 ketika pandemi Covid-19 telah memengaruhi hajat hidup rakyat Indonesia. Identifikasi tersebut menunjukkan bahwa fungsi sosialisasi dan administrasi untuk diseminasi informasi tentang Covid-19 serta pendorongan penerapan protokol dalam antisipasi mobilitas keluar-masuk warga desa dimaksimalkan oleh inisiatif lokal, seperti DESBUMI (Desa Peduli Buruh Migran) dan DESMIGRATIF (Desa Migran Produktif).
Unit pengembangan ekonomi juga dimaksimalkan untuk meringankan beban ekonomi. Beberapa tempat bahkan kemudian telah berhasil mengembangkan unit dukungan pembuatan masker dan APD berstandar untuk tenaga kesehatan.
Namun, tentu saja gambaran tersebut tidak mencerminkan wajah mayoritas desa Indonesia yang dalam setengah abad terakhir ini telah compang-camping, dihempas politik pembangunan ekonomi yang telah memarginalkan desa. Hadirnya UU No. 6 Tahun 2014 tentang Desa juga belum sepenuhnya mampu memulihkan otonomi desa.
Realitas di atas memperlihatkan bahwa desa menjadi kawasan tumpuan akhir kaum urban dan migran ketika tak bisa melanjutkan penghidupannya di kota dan negara tujuan. Pandemi Covid-19 memaksa otoritas setempat membatasi mobilitas dan interaksi antarmanusia sehingga memengaruhi keberlanjutan pekerjaan dan aktivitas sosial lain. Counter-migration (baik dari kota ke desa maupun dari negara tujuan bekerja kembali ke desa) telah memaksa desa menjadi tumpuan utama kebertahanan hidup warganya dari kecamuk Covid-19 dan dampak sosial-ekonomi.
Asesmen Dampak Covid-19
Organisasi Perburuhan Internasional (ILO) melakukan asesmen dampak Covid-19 terhadap kehidupan pekerja dan keberlangsungan pekerjaan selama tiga bulan terakhir ini. Asesmen tersebut memperlihatkan kerentanan kaum pekerja, terutama yang berada di perkotaan dan para pekerja asing.
Pembatasan dan mobilitas sosial sekaligus menyebabkan pembatasan dan ancaman kehilangan pekerjaan. Untuk pekerja migran, kecamuk Covid-19 ini juga menimbulkan kerentanan munculnya stigma dan ketakutan pada orang asing.
Asesmen juga menyatakan bahwa sektor pekerjaan pertanian dan wilayah perdesaan ialah pekerjaan dan kawasan yang paling sedikit terdampak. Pernyataan tersebut tentu saja menjadi peluang dan kesempatan berharga untuk mengembalikan muruah desa sebagai pusat sumber daya ekonomi yang berdaulat sekaligus menjadi kantong penyelamat dampak ekonomi yang ditimbulkan dari krisis Covid-19.
Dalam konteks Indonesia, SDGs Center Universitas Padjadjaran juga telah melakukan kajian cepat dan menyimpulkan hal yang sama bahwa perdesaan dan pekerjaan pertanian ialah sektor yang paling kecil terdampak Covid-19. Hal tersebut membuka ruang dan kesempatan (window of opportunity) bagi revitalisasi kawasan perdesaan dan pekerjaan pertanian.
Agenda revitalisasi perdesaan harus menjadi bagian tak terpisahkan dari upaya pemulihan dampak Covid-19. Harus diakui, agenda pemulihan krisis dan dampak Covid-19 selama ini sangat bias pendekatan perkotaan dan kelas menengah. Publik pernah disuguhi perdebatan mengenai ”mudik” dan ”pulang kampung” seakan-akan menuding bahwa mereka yang pulang ke desa ialah para ”calon” pembawa virus.
Namun, satu-satunya pelibatan desa dalam penanganan Covid-19 hingga saat ini ialah penggunaan dana desa yang bisa direalokasi untuk Bantuan Langsung Tunai (BLT) terdampak Covid-19. Selain bersifat ad hoc, karena berfungsi sebagai substitusi bagi mereka yang belum terdaftar dalam Data Terpadu Kesejahteraan Sosial, BLT dana desa juga belum menjamin keberlanjutan daya hidup masyarakat desa dalam menghadapi dampak Covid-19.
Oleh karena itu, paket kebijakan ekonomi dan stimulus fiskal dampak Covid-19 juga harus bisa membuka ruang inisiatif revitalisasi bagi perdesaan dan pertanian secara komprehensif. Hal itu mampu menjadi kontribusi bagi ketahanan pangan serta kebertahanan hidup warga desa (termasuk mereka yang pulang kampung dari kota dan/atau mancanegara). Adanya tenaga kerja yang berlimpah di perdesaan serta remitansi yang dibawa pulang para pekerja migran bisa menjadi kontribusi yang signifikan jika dipadukan dengan kebijakan responsif merevitalisasi perdesaan dan pertanian. Di antaranya dengan mempermudah akses tenaga kerja pada sarana produksi pertaian, akses pasar dan pemberdayaan ekonomi produktif untuk mendorong potensi pertanian ataupun produk-produk nonpertanian lainnya.
Artikel ini telah dipublikasi Media Indonesia pada 25 Juli 2020.