Kebijakan Perlindungan dan Jaring Pengaman Sosial Krisis Pandemi COVID-19 Harus Bisa Diakses oleh Pekerja Migran Indonesia dan Anggota Keluarganya

Laporan ILO tanggal 29 April 2020, menyebut krisis pandemi COVID-19 merupakan krisis global terburuk sejak Perang Dunia II. Krisis ini telah membawa kaum pekerja, tidak hanya terancam kesehatannya karena virus yang jahat ini, tetapi juga terancam kehilangan pekerjaan dan penghidupannya. Sebelumnya, ILO juga menyebut kelompok pekerja migran dan pekerja sektor informal sebagai kelompok pekerja yang menghadapi kerentanan berlapis dalam krisis ini yaitu rentan terpapar, rentan distigmatisasi sebagai pembawa virus, rentan kehilangan pekerjaan dan rentan diabaikan dalam kebijakan perlindungan sosial.

Gambaran global tersebut semakin nyata terlihat ketika melihat realitas pekerja migran Indonesia dalam krisis pandemi COVID-19. Pekerja Migran Indonesia (terutama yang bekerja di kawasan episentrum awal Corona di Asia Timur dan Asia Tenggara, serta yang bekerja sebagai Anak Buah Kapal (ABK) di Kapal Pesiar) adalah para warga negara Indonesia yang pertama kali menghadapi krisis Corona ketika sebagian besar dari masyarakat dan pemerintah Indonesia masih menjadi “penonton”.

Menurut UN Women, kerentanan berlapis juga dihadapi oleh pekerja migran perempuan, terutama mereka yang bekerja di sektor pengasuhan, perawatan dan pelayanan publik. Kerentanan ini kerap dilupakan atau malah dianggap tidak ada.

Realitas ini, sayangnya, lamban direspons oleh pemerintah Indonesia. Dalam evakuasi warga negara Indonesia (mahasiswa Indonesia) dari kawasan Wuhan yang mengalami isolasi, pemerintah Indonesia abai pada permintaan para Pekerja Migran Indonesia yang ada di daratan Tiongkok untuk juga dievakuasi. Pembedaan perlakuan ini jelas merupakan kebijakan yang diskriminatif.

Krisis pandemi COVID-19 berdampak pada keberlangsungan kerja dan penghidupan pekerja migran karena terbatasinya ruang gerak (di mana beberapa negara tujuan menerapkan kebijakan lockdown). Hal ini diperkeruh dengan menguatnya sentimen rasisme dan xenophobia yang menomorduakan kaum pendatang asing dalam penanganan pandemi COVID-19.

Situasi ini jelas terlihat pada kondisi Pekerja Migran Indonesia di Malaysia yang terjebak Movement Control Order di Malaysia. Sebagian besar di antara mereka adalah pekerja migran tidak berdokumen yang tentu tidak memiliki keleluasaan bergerak di saat mereka harus kehilangan pekerjaan dengan sistem upah harian atau mingguan. Kondisi inilah yang membuat mereka mengesampingkan berbagai risiko, salah satunya dengan pulang ke Indonesia, menyebrang Selat Malaka dengan moda transportasi laut yang belum tentu menerapkan protokol kesehatan yang ketat. Mereka yang bertahan di Malaysia pun juga harus menghadapi krisis pangan karena keterbatasan logistik sementara mereka tak lagi menerima upah.

Di masa menjelang Lebaran ini, juga diprediksi terjadi eksodus pemulangan/kepulangan Pekerja Migran Indonesia. Menurut BP2MI, jumlah pemudik pekerja migran diperkirakan sekitar 38.000. Sebagian besar di antara mereka adalah yang masa kontrak kerjanya selesai ataupun yang diperpendek.

Realitas tersebut di atas memperlihatkan bahwa krisis pandemi yang terjadi dan dialami oleh Pekerja Migran Indonesia terjadi mulai dari negara tujuan hingga daerah asal. Oleh karena itu, diperlukan langkah kebijakan yang komprehensif untuk memitigasi dan mengantisipasi krisis ini agar tidak menjadi tragedi kemanusiaan. Kita tentu tidak menginginkan adanya pekerja migran yang kelaparan di negara tujuan ataupun terjerembab dalam jurang kemelaratan saat pulang ke kampung halaman.

Oleh karena itu, dalam peringatan Hari Buruh Sedunia 1 Mei 2020, Migrant CARE menyerukan kepada pemerintah Indonesia untuk tidak melupakan kerentanan pekerja migran dalam skema jaring pengaman sosial dan kebijakan perlindungan sosial untuk mengantisipasi dampak krisis pandemi COVID-19. Pemerintah Indonesia juga harus memprioritaskan stimulus fiskal dan kebijakan makro ekonomi yang berorientasi pada kepentingan kaum pekerja, kelompok perempuan miskin dan kaum marjinal  dan tidak menganakemaskan kepentingan investasi semata. Pemerintah Indonesia dan DPR-RI juga harus menghentikan secara total pembahasan RUU Omnibus Law Cipta Kerja dan lebih serius menangani krisis pandemi COVID-19. Selain itu, pemerintah Indonesia juga harus mendorong negara-negara tujuan Pekerja Migran Indonesia untuk tidak diskriminatif dan tidak mengkriminalisasi pekerja migran yang tidak berdokumen dan lebih berfokus pada perlindungan pekerja migran dari persebaran dan dampak virus COVID-19.

Jakarta, 1 Mei 2020

Wahyu Susilo
Direktur Eksekutif Migrant CARE

 

Siaran pers ini juga tersedia dalam Bahasa Inggris
———————————————————
This press release also available in English

20200501_Siaran Pers MayDay – INGGRIS

 

TERBARU