Agenda Kerja Layak Jokowi

Ilustrasi (sumber: estheraarts.nl)

Sepanjang Juni hingga Juli 2019, pembicaraan mengenai pekerjaan yang layak terus diperbincangkan dalam berbagai forum. Pada Juni lalu, Konferensi Buruh Internasional di Jenewa mengadopsi Konvensi Organisasi Buruh Internasional 190 tentang Mengakhiri Kekerasan dan Pelecehan di Dunia Kerja. Adapun Konferensi Tingkat Tinggi G-20 memperbincangkan kesempatan kerja, ketimpangan, dan ekonomi digital. Pada Juli 2019, dalam Forum Politik Tingkat Tinggi tentang Pembangunan Berkelanjutan, pemerintah Indonesia mempresentasikan Laporan Nasional Tujuan Pembangunan Berkelanjutan, yang salah satunya mengenai perkembangan pencapaian dan tantangan tujuan 8 tentang kerja layak dan pertumbuhan ekonomi.

Di Indonesia, pada 22-23 Juli 2019, akan berlangsung Indonesia Development Forum dengan tema “Mission Possible: Memanfaatkan Peluang Kerja Masa Depan untuk Mendorong Pertumbuhan Inklusif”. Forum kebijakan ini mempertemukan para pemangku kepentingan, seperti pemerintah, mitra pembangunan negara sahabat dan lembaga donor, akademikus, masyarakat sipil, dan kelompok bisnis. Tentu saja forum-forum tersebut sangat berkontribusi dalam memberikan masukan bagi pemerintahan periode kedua Presiden Jokowi, yang akan memprioritaskan pengembangan sumber daya manusia. Sebenarnya, dalam terminologi studi pembangunan, istilah yang tepat untuk prioritas itu adalah peningkatan kualitas hidup manusia Indonesia. Istilah sumber daya manusia terasa lebih dekat dengan terminologi manajemen perusahaan.

Di sisi lain, kita dihadapkan pada realitas situasi ketenagakerjaan di Indonesia yang masih jauh dari konsep kerja layak ideal. Di atas kertas memang sudah ada sederet paket undang-undang perburuhan, perlindungan pekerja migran, dan anti-perdagangan manusia. Hampir sebagian besar standar perburuhan Organisasi Buruh Internasional (ILO) dan instrumen hak asasi manusia internasional telah diratifikasi. Namun situasi tidak serta-merta berubah ketika sejumlah perangkat legal tersedia. Perkara pengupahan adalah perkara klasik yang tak pernah selesai. Kalangan pekerja menganggap ada kemunduran ketika penetapan besaran upah tidak lagi melalui proses tripartit dan hanya mengacu pada indikator pertumbuhan ekonomi. Sementara itu, kalangan dunia usaha mengeluhkan kekakuan Undang-Undang Ketenagakerjaan yang dianggap tidak fleksibel dan terlalu berpihak kepada pekerja.

Tentu saja kita tidak menutup mata ada sejumlah kemajuan dalam upaya mewujudkan kerja yang layak bagi kaum pekerja. Indonesia merupakan salah satu dari sedikit negara di dunia ini yang mengintegrasikan seluruh kaum pekerja dalam skema perlindungan sosial, seperti yang digagas oleh ILO melalui Universal Social Protection Floor. Skema tersebut diimplementasikan dalam sistem Jaminan Sosial Nasional dan Badan Penyelenggara Jaminan Sosial (BPJS) Ketenagakerjaan. Hingga saat ini, cakupan penjaminan BPJS Ketenagakerjaan tidak hanya kepada para pekerja di Indonesia, tapi mulai menyasar pekerja migran di luar negeri.

Namun tragedi kebakaran pabrik korek api di Binjai, Sumatera Utara, yang mengakibatkan kematian setidaknya 30 pekerja, telah menunjukkan realitas kerentanan pekerja rumahan. Peristiwa itu juga memperlihatkan betapa lemahnya pengawasan ketenagakerjaan dari lembaga inspektorat ketenagakerjaan. Tragedi tersebut mungkin merupakan puncak gunung es dari kerentanan yang dihadapi jutaan pekerja rumahan yang selama ini belum mendapat pengakuan sebagai pekerja formal. Mereka terjauhkan dari skema jaminan perlindungan sosial dan asuransi ketenagakerjaan.

Tragedi itu juga mengingatkan kita pada pentingnya keseriusan pemerintah dalam memperbarui tata kelola kelembagaan inspektorat ketenagakerjaan yang sudah ketinggalan zaman. Dari kajian tentang efektivitas inspektorat ketenagakerjaan yang dilakukan oleh Migrant CARE, teridentifikasi beberapa kelemahan. Instrumen pengawasan ketenagakerjaan masih menggunakan metode yang sudah usang. Inspektorat sangat bias pada pengawasan industri manufaktur serta belum mengawasi hubungan industrial yang rumit dalam sistem kerja rumahan dan persiapan pekerja migran. Keterbatasan pelaksana dan kerumitan hubungan inspektorat berkaitan dengan kewenangan pemerintah pusat dan daerah.

Pekerjaan rumah yang juga harus segera dituntaskan oleh pemerintah adalah mengakhiri kesemrawutan tata kelola penempatan dan perlindungan pekerja migran, yang ditandai dengan tumpang-tindihnya kewenangan antara Kementerian Tenaga Kerja, Badan Nasional Penempatan dan Perlindungan Tenaga Kerja Indonesia (BNP2TKI), serta Kementerian Perhubungan terkait dan pekerja di sektor kelautan. Sesuai dengan mandat Undang-Undang Nomor 18 Tahun 2017 tentang Perlindungan Pekerja Migran Indonesia, paling lambat akhir November 2019 harus sudah dikeluarkan peraturan presiden tentang kelembagaan pengganti BNP2TKI serta dua peraturan pemerintah mengenai perlindungan dan pengawasan. Jika tidak, perdagangan manusia berkedok penempatan pekerja migran akan terus berlangsung tanpa pengawasan. 

Artikel ini telah dipublikasikan di Koran Tempo, Edisi 15 Juli 2019.

TERBARU