Pemilu Bukan untuk Pekerja Migran

Illustrasi Pemilu Pekerja Migran (sumber: nytimes.com)

Upaya untuk meningkatkan partisipasi pemilih dalam Pemilihan Umum serentak 2019 terus dilakukan, baik oleh penyelenggara Pemilu, pemerintah, partai politik peserta Pemilu, maupun organisasi masyarakat sipil yang peduli Pemilu dan demokrasi. Partisipasi pemilih di luar negeri dalam Pemilu juga selalu menjadi perhatian serius karena hingga saat ini partisipasinya sangat rendah. Menurut kajian Migrant CARE, meskipun ada peningkatan partisipasi pasca-Orde Baru, angkanya masih di bawah 50 persen. Sementara pada 2004 partisipasi pemilih hanya berkisar 13 persen, pada 2009 meningkat menjadi 23 persen dan pada 2014 meningkat lagi menjadi 22,9 persen.

Menurut catatan IDEA, organisasi global pemantau Pemilu, Indonesia termasuk negara yang mengakomodasi partisipasi pemilih di luar negeri untuk menjalankan hak politiknya. Secara teknis penyelenggaraan, Indonesia memiliki kemajuan dengan menetapkan aturan tata cara pemilihan di luar negeri dan penyelenggaraan pemungutan suara pendahuluan melalui Peraturan KPU. Meski demikian, aturan yang lebih maju dimiliki oleh Filipina, yang didasari Undang-Undang Penyelenggaraan Pemilu di Luar Negeri.

Menurut catatan Migrant CARE, yang sejak 2009 melakukan pemantauan penyelenggaraan Pemilu Indonesia di luar negeri, masalah partisipasi pemilih memang selalu dikeluhkan oleh penyelenggara. Dalam Pemilu 2004, daftar pemilih tetap (DPT) untuk warga negara Indonesia di luar negeri sebesar 1,9 juta pemilih. Jumlah ini merosot pada 2009 dengan 1,5 juta pemilih. Pada 2014 ada sedikit peningkatan menjadi 2.038.711 pemilih. Kemudian pada pemilu tahun ini tidak ada peningkatan pemilih yang signifikan, hanya berjumlah 2.058.191 orang.

Kita patut mempertanyakan keseriusan penyelenggara Pemilu dalam memastikan hak politik warga negara Indonesia di luar negeri, yang mayoritas pekerja migran. Jika dibandingkan dengan jumlah riil pekerja migran Indonesia, yang menurut data Bank Dunia sudah mencapai 9 juta orang, baru sekitar 20 persen yang berpartisipasi.

Masalah lain adalah teknis pemungutan suara dan metode pengawasan agar prinsip-prinsip langsung, umum, bebas, rahasia, jujur, dan adil tetap terpenuhi. Menurut Peraturan KPU Nomor 4 Tahun 2018, ada tiga cara untuk memilih, yaitu di tempat pemungutan suara (TPS), melalui kotak suara keliling (KSK), dan via pos. Berdasarkan pengalaman penyelenggaraan pemilu pada 2004, 2009, dan 2014, belum ada mekanisme pengawasan yang akurat untuk metode KSK dan pos.

Hal lain yang selama ini diabaikan adalah kualitas representasi politik bagi pemilih. Sementara hak politik warga negara diejawantahkan dalam pemenuhan hak memilih dan dipilih, sekarang ini baru hak memilih yang diberikan, sedangkan hak dipilih belum sepenuhnya diberikan. Dalam pembagian wilayah elektoral, pemilih luar negeri digabungkan dengan pemilih Jakarta Selatan dan pusat melalui daerah pemilihan DKI II, yang menyediakan tujuh kursi parlemen.

Dari Pemilu 2004 hingga 2014, daerah pemilihan ini menjadi ajang pertarungan elite-elite partai dan pesohor yang menguasai nomor jadi. Kalaupun ada kandidat yang berasal dari unsur pekerja migran/diaspora, mereka menempati urutan nomor sepatu dengan tingkat keterpilihan yang rendah. Selain itu, di sepanjang masa tugasnya, mayoritas anggota DPR yang terpilih mewakili daerah pemilihan ini sering kali absen dan abai terhadap kepentingan salah satu konstituen mereka, yaitu agenda perlindungan pekerja migran.

Dengan alasan itulah, menjelang Pemilu 2014, beberapa eksponen diaspora, termasuk pekerja migran, mengajukan uji materi Undang-Undang Pemilu serta Undang-Undang Susunan dan Kedudukan DPR sekaligus mengusulkan daerah pemilihan khusus yang terpisah dari daerah pemilihan DKI Jakarta II. Argumentasinya, aspirasi mereka selama ini tidak terwakili oleh anggota DPR yang terpilih dan mereka membutuhkan representasi politik autentik yang mampu mengartikulasikan kepentingan politik mereka, seperti perlindungan pekerja migran atau gagasan tentang dwikewarganegaraan bagi diaspora. Sayangnya, uji materi di Mahkamah Konstitusi ini kandas, tapi gagasan ini masih terus diperjuangkan.

Sebagai perbandingan, setidaknya ada 11 negara yang memberikan representasi migran di parlemen. Negara-negara tersebut sebagian besar adalah negara yang banyak warga negaranya bekerja di luar negeri, seperti Aljazair, Angola, Cape Verde, Kolombia, Kroasia, Ekuador, Mozambik, dan Panama. Sisanya adalah negara yang memiliki diaspora dan kematangan politik yang tinggi, yaitu Prancis, Italia, dan Portugal.

Filipina mengakomodasi kepentingan sektoral dalam kepartaian (party-list system) yang memungkinkan aspirasi politik pekerja migran disalurkan melalui partai politik buruh migran atau partai politik sekawan yang memiliki kedekatan isu dengan pekerja migran. Dalam pemilu Filipina pada 2016, setidaknya ada lima partai sektoral yang memperjuangkan secara khusus aspirasi pekerja migran, yaitu Acts OFW Party-list, Amepa OFW-Party-list, Gabriela Party-list, Migrante Party-list, dan OFWFC Party-list. Mereka berhasil mengirimkan tiga wakilnya menduduki kursi parlemen, yakni dari Acts OFW Party-list dan Gabriela Party-list.

Maka harus terus ada desakan bagi peningkatan kualitas partisipasi dan representasi politik pekerja migran Indonesia dalam pemilu. Hal tersebut harus diperjuangkan dengan pembaruan sistem pemilu, seperti kemudahan pendaftaran; mekanisme pemungutan suara yang aman, mudah, dan terjamin (e-voting bisa menjadi pilihan); serta pembaruan sistem kepartaian dan keterwakilan elektoral.

Artikel ini telah dimuat dalam Koran TEMPO, Selasa, 2 APRIL 2019

TERBARU