Jakarta, 29 April 2019 – Untuk mendiseminasi hasil pantauan dan rekomendasi masyarakat sipil mengenai penyelenggaraan Pemilu RI 2019, Migrant CARE, mengadakan diskusi media bertajuk “Tantangan Pemilu RI 2019 bagi Pekerja Migran dan Masyarakat Adat”. Bertempat di Media Center BAWASLU RI, acara ini menghadirkan narasumber Wahyu Susilo (Direktur Eksekutif Migrant CARE), Anis Hidayah (Ketua Pusat Kajian Migrasi Migrant CARE), Hadar Nafis Gumay (Peneliti Senior NETGRIT), Afiffudin (Anggota BAWASLU RI), dan Abdi Akbar (Direktur Perluasan Partisipasi Politik Masyarakat Adat PB AMAN).
Pemilu RI 2019 menjadi Pemilu pertama yang dilaksanakan serentak untuk memilih Presiden-Wakil Presiden dan Anggota Legislatif. Situasi ini berimplikasi dengan bertambahnya tingkat kerumitan pemungutan suara maupun pengelolaan penyelenggaraan Pemilu. Tak terkecuali penyelenggaraan Pemilu di luar negeri yang memiliki perbedaan mekanisme mulai dari early voting (pemilu pendahuluan) hingga tiga metode pemungutan suara, meliputi; Tempat Pemungutan Suara Luar Negeri (TPS), Kotak Suara Keliling (KSK) dan Surat Pos. Kompleksitas tersebut masih memiliki ruang potensi penyalahgunaan tata kelola Pemilu pun hilangnya hak politik pemilih yang sedianya harus difasilitasi sepenuhnya oleh penyelenggara Pemilu.
“Sayangnya antusias Pekerja Migran Indonesia yang terus meningkat setiap Pemilu, tidak ditanggapi dengan respon yang cepat oleh penyelenggara pemilu,” ucap Wahyu Susilo, Direktur Eksekutif Migrant CARE. Wahyu menuturkan bahwa antusias Pekerja Migran Indonesia di luar negeri bukan hanya terlihat dari antrian yang sangat panjang (dan mereka yang senantiasa menunggu hak pilihnya tersalurkan) tetapi juga keterlibatan mereka sebagai anggota atau sukarelawan PPLN (Panitia Pemilu Luar negeri).
Anis Hidayah, Ketua Pusat Kajian Migrasi Migrant CARE, menambahkan bahwa hal ini harus menjadi momentum untuk membongkar skandal calo suara di luar negeri. “Calo suara ini eksis dari Pemilu ke Pemilu,” ucap Anis. Migrant CARE sebagai pemantau pemilu independen yang terakreditasi oleh BAWASLU, satu-satunya organisasi masyarakat sipil yang melakukan pemantauan di luar negeri, tahun ini melakukan pemantauan Pemilu mencakup tiga negara tujuan utama Pekerja Migran Indonesia, yakni; Malaysia, Hong Kong dan Singapura.
Hal ini ditanggapi positif oleh Afifuddin, Anggota BAWASLU RI. “Kami mengucapkan terima kasih kepada teman-teman yang telah berdedikasi memantau Pemilu, khususnya di luar negeri,” tuturnya. Afif mengatakan, dirinya yang turut memantau Pemilu pendahuluan di Singapura tanggal 14 April silam, menyaksikan langsung betapa banyak hal-hal yang tidak terfikirkan dari pelaksanaan Pemilu di luar negeri. Misalnya soal syarat memilih, pekerja domestik kerap kali kesulitan mengakses dokumen yang ditahan oleh majikannya, dan tidak semua majikan koperatif, hal ini menjadi tantangan dalam Pemilu. Pun pendataan DPT yang tidak semudah di dalam negeri.
Hadar Nafis, Peneliti Senior NETGRIT (Network for Democracy and Electoral Integrity atau Jaringan Demokrasi dan Pemilu Berintegritas) melihat hal ini sebagai dinamika yang tidak bisa dihindari, namun ke depannya dapat diperbaiki. “Kita perlu cari model-model proses yang sederhana untuk mengatasi persoalan Pemilu di luar negeri, penggunaan teknologi harus kita tingkatkan misalnya seperti penyelenggaraan di Singapura yang sudah menggunakan barcode, jadi walaupun antriannya panjang tetap mengalir,” paparnya.
Berulang kali Warga Negara Indonesia dikecewakan oleh penyelenggara Pemilu Indonesia di luar negeri dengan berbagai kerumitan aturan yang menjadi penghambat (bottlenecking) tatkala mereka sudah siap sedia menjadi pemilih dalam pemilu pendahuluan. “Seharusnya penyelenggara pemilu Indonesia di luar negeri memiliki sensifitas terhadap karakter-karekter pemilih Indonesia di luar negeri yang berbeda dengan pemilih dalam negeri,” pungkas Wahyu.
Pemilu Bagi Masyarakat Adat
Dalam pandangan Abdi Akbar, Direktur Perluasan Partisipasi Politik Masyarakat Adat PB AMAN, Pemilu kali ini adalah Pemilu terberat yang pernah dilaksanaan oleh Indonesia. Beban kerja penyelenggara yang berat tidak diimbangi dengan pemahaman mereka di lapangan.
Selain itu, menurutnya dalam Pemilu tahun ini juga masih membuka ruang yang luas untuk politik uang. Abdi menuturkan temuannya, beberapa model politik uang bahkan membuka sistem paket (untuk memilih Capres-Cawapres dan Caleg tertentu). Ia juga mengkritisi celah yang terdapat dalam UU Nomot 7 Tahun 2017 Tentang Pemilihan Umum yang terbatas hanya mengatur pada waktu dan obyek saja.
Kesulitan-keulitan yang dihadapi masyarakat adat misalnya adalah kondisi kebanyakan dari mereka yang buta aksara, sedangkan di beberpa surat suara hanya mencantumkan tabel nama saja (tanpa gambar diri Caleg). Tantangan persoalan buta aksara ini merata dihadapi seluruh masyarakat adat di Kalimantan Selatan, Sulawesi, Nusa Tenggara Timur, Papua, dan lainnya.
Temuan pemantauan lainnya yaitu masa kampanye yang cukup panjang berimplikasi pada konflik di lapangan. Misal Abdi menuturkan di Kalimantan Tengah sempat terjadi persinggungan antara pendukung dua Paslon Presiden-Wakil Presiden, selain itu juga terjadi tindak kekerasan kepada penyelenggara dan pengawas Pemilu.
Abdi juga menyinggung soal syarat memilih yang mewajibkan memiliki E-KTP, padahal seperti kita ketahui tidak semua masyarakat memilikinya. Meski gugatan kepada MK dikabulkan dan persyaratan menggunakan E-KTP ini diubah, tetap saja menjadi tantangan tersendiri bagi masyarakat adat.
Baca juga:
Laporan Migrant CARE tentang Pemantauan Pemilu RI 2019 di Luar Negeri
Ini Dia Ragam Tantangan Penyelenggaraan Pemilu di Hongkong