Nasib Perempuan Indonesia di Panggung Pemilu yang Maskulin

Ilustrasi Perempuan dalam Politik (sumber: gdbems.org)

Penampakan wajah maskulinitas Pemilu 2019 bukan hanya didominasi oleh dominasi kontestasi Presiden dan Wakil Presiden yang memang kandidatnya semua lelaki, tetapi juga oleh dominasi Caleg laki-laki yang mencapai hampir 60% dibanding Caleg perempuan yang mencapai 40%. Meski sudah melewati ambang batas 30% kuota perempuan, namun menurut kajian Perludem, prospek keterpilihan Caleg perempuan masih jauh dari harapan jika menilik dari urutan kandidasi penetapan daftar calon tetap. Mayoritas nomor urut teratas yang memiliki peluang keterpilihan yang tinggi masih didominasi caleg laki-laki.

Selain itu, maskulin Pemilu 2019 juga terlihat dari marginalisasi isu-isu terkait perempuan dalam perbincangan dan perdebatan tentang program dan konten kampanye para kandidat. Dalam dua perdebatan kandidat Pilpres 2019 baik di term 1 (tentang penegakan hukum, HAM dan terorisme) maupun term 2 (tentang energi, sumberdaya alam, infrastruktur dan lingkungan) sangat miskin sekali perdebatan tentang permasalahan yang dihadapi perempuan baik dalam bidang hukum, HAM, penanganan terorisme, akses terhadap sumberdaya alam dan infrastruktur serta dampak kerusakan lingkungan.

Wajah maskulin nampak di perdebatan term 1 dimana dari 6 panelis didominasi oleh (5) laki-laki dan hanya menyisakan 1 panelis perempuan Bivitri Susanti dan 1 moderator perempuan Ira Koesno. Satu-satunya konten perdebatan terkait perempuan hanya berupa pertanyaan atau tepatnya gugatan capres #01 Joko Widodo ke capres #02 Prabowo Subianto tentang tidak adanya perempuan yang menempati posisi strategis di kepemimpinan partai pimpinan Prabowo, Gerindra.

Dalam debat term 2 situasinya juga tidak berubah

Meski ada penambahan 2 panelis perempuan yaitu Yaya Hidayati (WALHI) dan Dewi Kartika (Konsorsium Pembaruan Agraria) namun perdebatan di term 2 yang berlangsung dinamis dan sengit ini sama sekali tidak menyisakan pertanyaan terkait dengan situasi kerentanan perempuan dalam thema-thema sumber daya alam, infrastruktur dan lingkungan.

Wajah maskulinitas juga mendominasi kontestasi perdebatan tentang Pemilu 2019 (terutama Pilpres 2019) di layar-layar televisi dan pangung-panggung yang disediakan oleh lembaga survey dan universitas. Sekali lagi, perempuan lebih sering hanya dihadirkan sebagai moderator ataupun penyiar berita, sementara agenda politik perempuan (yang tidak sekedar keterwakilan perempuan) makin terpinggirkan. Di lembaga survey, perempuan dihadirkan sebagai angka-angka statistik menjadi variable atas elektabilitas peningkat ataupun penurun prosentase keterpilihan.

Nurhadi-Aldo sekalipun

Maskulinitas juga dihadirkan oleh kalangan yang pesimis atas prospek Pemilu 2019 yang dianggap tidak menawarkan kebaruan politik. Ketidakpercayaan pada kandidat Pemilu 2019 (terutama kandidat Pilpres 2019) mendorong mereka mempromosikan parodi kandidat Nurhadi-Aldo (Dildo) dalam bentuk meme yang disebarkan melalui berbagai platform sosial media. Pada mulanya, inisiatif ini dianggap sebagai fenomena penyegaran dari aroma Pemilu 2019 yang itu-itu saja, namun dalam perjalanannya konten-konten meme parodi kandidat Nurhadi-Aldo terjebak dalam artikulasi yang seksisme, melecehkan perempuan hingga akhirnya meme parodi ini melakukan bunuh diri ketika dalam satu tampilannya mengekspresikan keterpaksaan diasosiasikan sebagai situasi perkosaan. Ini dinilai oleh para aktivis feminis sebagai upaya mempromosikan budaya perkosaan (rape-culture). Feminist Tunggal Pawestri dalam artikelnya di laman BBC Indonesia sejak dini sudah mewanti-wanti bahwa meme parodi kandidat ini memiliki kecenderungan menormalisasi kecabulan dan berpotensi melecehkan seksualitas dan perempuan.

Faktor lain yang mengukuhkan Pemilu yang maskulin adalah berpengaruhnya isu terkait agama dalam Pemilu 2019. Harus diakui, keterpengaruhan agama dalam proses pemilu juga akan memiliki faktor yang signifikan meminggirkan agenda-agenda perlindungan perempuan.

Jika selama ini para aktivis gerakan perempuan Indonesia sedang mengupayakan adanya penghentian praktik perkawinan anak dengan advokasi di berbagai level hingga meraih kemenangan kecil di putusan Mahkamah Konstitusi tanggal 13 Desember 2018, namun isu ini tidak mendapat perhatian utama dari para kandidat Pemilu Legislatif dan Pemilu Presiden karena dianggap sebagai isu sensitif di kalangan yang mayoritas muslim. Walau menurut berbagai catatan organisasi internasional seperti UNICEF tentang tingginya angka sunat perempuan di Indonesia dan Indonesia juga memiliki komitmen untuk pencapaian SDGs dalam upaya penghapusannya, namun agenda penghapusan sunat perempuan juga sama sekali tidak disuarakan oleh para kandidat Pemilu legislatif dan Pemilu presiden. Bagaimanapun juga isu sunat perempuan masih selalu dikaitkan dengan sensitivitas agama.

Tuntutan agar Indonesia segera memiliki Undang-Undang Penghapusan Kekerasan Seksual yang akhir-akhir ini disuarakan oleh kalangan perempuan Indonesia hingga akhirnya menjadi salah satu RUU Prioritas yang harus diselesaikan masa persidangan DPR tahun 2019, diresistensi oleh kalangan Islam konservatif dan dipropagandakan sebagai legislasi yang pro-LGBT dan perzinahan. Resistensi ini sangat terkait dalam upaya untuk menggiring opini para pemilih muslim menolak partai-partai yang mendukung pengesahan RUU Penghapusan Kekerasan Seksual.

Bagaimana dengan TKW?

Marginalisasi agenda perlindungan perempuan dalam Pemilu 2019 ini tentu saja juga makin meminggirkan agenda perlindungan buruh migran Indonesia yang mayoritas perempuan dalam Pemilu 2019. Menurut pemantauan Migrant CARE atas proses penetapan daftar pemilih Pemilu 2019, Komisi Pemilihan Umum hanya mampu menjangkau sekitar 30% (2,06 juta) pemilih di luar negeri dari seluruh jumlah warga negara Indonesia (yang mayoritas buruh migran perempuan) sekitar 6,5 juta. Selain dari sisi partisipasi, artikulasi politik buruh migran Indonesia juga belum mendapatkan tempat dalam politik representatif elektoral. Selama ini, suara pemilih luar negeri menjadi konstituensi anggota parlemen dari daerah Pemilihan DKI II (Jakarta Selatan, Jakarta Pusat dan Luar Negeri).

Berdasar pengalaman pemantauan kinerja anggota DPR-RI periode 2004-2009 dan Periode 2009-2014 mayoritas mereka yang terpilih dari daerah pemilihan ini tidak memiliki komitmen yang kuat untuk mengartikulasikan kepentingan dan agenda perlindungan buruh migran Indonesia. Oleh karena itu, Migrant CARE sejak Pemilu 2009, bersama eksponen diaspora dan penggerak pemilu demokratis, terus mengusulkan agar konstituensi pemilih di luar negeri mendapatkan hak politiknya dengan Dapil Luar Negeri, terpisah dari Dapil DKI II. 

Artikel ini telah dipublikasikan dalam Kolom Opini Deutsche Welle Indonesia, 8 Maret 2019, di sini.

TERBARU