Sepekan sebelum peringatan hari buruh migran sedunia tahun ini, ada peristiwa penting adopsi UN Global Compact for Safe, Orderly and Regular Migration oleh 164 negara anggota Perserikatan Bangsa-Bangsa di Marakesh, Marokko pada tanggal 10-11 Desember 2018. Kerangka kerja global ini bertujuan untuk memastikan agar buruh migran berdaulat dan bermartabat. Ini yang menjadi tema global International Migrant Day 2018: Migration With Dignity.
Kerangka kerja global untuk memastikan proses migrasi tenaga kerja berlangsung aman, teratur dan terjamin ini merespon kerentanan-kerentanan yang terus terjadi dan dialami kaum buruh migran sedunia. Kerentanan itu dihasilkan oleh tata kelola migrasi yang eksploitatif, kultur patriarkis yang menghasilkan kekerasan berbasis gender, ketimpangan dan sistem dunia yang tidak adil sehingga menghasilkan kebijakan yang diskriminatif serta menguatnya politik anti migran di berbagai belahan dunia yang makin mempersempit ruang gerak kaum buruh migran.
Demikian juga situasi buruh migran Indonesia, kerentanan yang dihadapi buruh migran Indonesia, terutama buruh migran perempuan, tak otomatis berhenti ketika setahun yang lalu Pemerintah Indonesia mengesahkan UU No. 18 Tahun 2017 tentang Pelindungan Pekerja Migran Indonesia. Akses keadilan masih jauh didapatkan oleh kaum buruh migran Indonesia. Vonis ringan yang dijatuhkan pada Suyantik (PRT migran yang dianiaya secara keji oleh majikannya) serta vonis bebas bagi pemilik PPTKIS yang memperbudak ratusan perempuan Indonesia di Industri Pengolahan Sarang Burung Walet MAXIM Malaysia memperlihatkan bahwa jalur peradilan (baik di Indonesia maupun Malaysia) masih menjauhkan buruh migran dari akses keadilan.
Eksekusi mati terhadap Zaini Misrin dan Tuti Tursilawati di Saudi Arabia juga masih memperlihatkan kondisi buruk yang dialami oleh buruh migran Indonesia di Saudi Arabia. Kasus ini memperlihatkan Saudi Arabia memang benar-benar kawasan yang tidak ramah bagi buruh migran. Rendahnya penghargaan terhadap hak hidup manusia, keangkuhan diplomasi Saudi Arabia yang ingkar pada tata krama hubungan antar bangsa (ditandai dengan mandatory consular notification) serta kepasrahan diplomasi politik Indonesia kepada Saudi Arabia (dengan dalih menghormati kedaulatan hukum negara setempat) akan terus menjadi tantangan berat bagi diplomasi pembebasan hukuman mati terhadap 13 buruh migran Indonesia. Batu sandungan yang juga jadi penghalang diplomasi pembebasan buruh migran Indonesia dari hukuman mati adalah masih adanya penerapan hukuman mati di Indonesia sehingga terkesan ambivalen.
Kematian tragis yang dialami Adelina Sau, PRT migran Indonesia asal Timor Tengah Selatan, NTT setelah mengalami penganiayaan biadab majikannya di Malaysia juga menjadi pembuka tabir derita panjang perempuan-perempuan muda NTT yang menjadi korban perdagangan manusia akibat proses perekrutan ugal-ugalan, korupsi yang merajalela di birokrasi serta mafia peradilan yang menyempurnakan impunitas bagi pelaku kejahatan perdagangan manusia di NTT. Menurut catatan para penggiat buruh migran dan anti trafficking di Nusa Tenggara Timur, hingga bulan Desember 2018 ini tercatat 100 mayat buruh migran asal NTT dipulangkan dari negara tempat bekerja melalui Bandara El Tari Kupang. Jumlah ini belum termasuk mayat-mayat yang belum/tidak bisa dipulangkan.
Upaya untuk mengakhiri kerentanan dan kekerasan hingga berujung kematian seperti yang dialami oleh buruh migran Indonesia tentu tak hanya berlandaskan pada instrumen legal semata, namun juga mensyaratkan adanya perubahan paradigma tata kelola perlindungan buruh migran, pelibatan proaktif semua pemangku kepentingan serta implementasi konkrit politik luar negeri yang memprioritaskan pada perlindungan warga negara Indonesia.
Angin segar yang sempat terhembus oleh terbitnya Undang-Undang No. 18 Tahun 2017 tentang Pelindungan Pekerja Migran Indonesia mulai tak terasa ketika pemerintah berjalan sangat lambat untuk menjalankan mandat membuat aturan turunannya. Selain lambat juga mulai meninggalkan keterlibatan masyarakat sipil dalam proses pembuatan aturan turunannya. Dari puluhan aturan yang harus dibuat dalam kurun waktu 2 tahun sejak diundangkan (perinciannya 11 Peraturan Pemerintah, 2 Peraturan Presiden, 12 Peraturan Menteri Ketenagakerjaan dan 3 Peraturan Kepala Badan), baru satu Peraturan Menteri dihasilkan, yaitu Peraturan Menteri Ketenagakerjaan RI No. 18 Tahun 2018 tentang Jaminan Sosial Pekerja Migran Indonesia.
Hingga saat ini, Pemerintah Indonesia juga belum mempunyai skenario masa transisi dari UU No. 39 Tahun 2004 menuju UU No. 18 Tahun 2017 mengenai pelayanan penempatan ke luar negeri. Akibatnya hal ini dimanfaatkan dengan praktik perekrutan ugal-ugalan yang membuka ruang terjadinya pidana perdagangan manusia. Tak hanya itu, kebijakan satu kanal penempatan PRT migran di Timur Tengah oleh Kemenaker RI makin memperlihatkan inkonsistensi pemerintah Indonesia soal penempatan PRT migran Indonesia ke Saudi Arabia. Di satu sisi masih melanjutkan penghentian permanen, namun di sisi yang lain membuka ruang penempatan Pekerja Rumah Tangga (PRT) migran melalui kebijakan satu kanal yang disebut sebagai “uji coba penempatan”. Terminologi “uji coba penempatan” memperlakukan pekerja migran sebagai kelinci percobaan di negara yang tidak menghargai hak asasi pekerja migran.
Memasuki tahun politik 2019 yang ditandai dengan Pemilihan Legislatif dan Pemilihan Presiden, ada beberapa catatan terkait buruh migran dan pemilu. Hingga saat ini, daftar pemilih tetap yang disahkan Komisi Pemilihan Umum yang berjumlah 2.058.191 pemilih. Jumlah ini masih jauh dari jumlah riil buruh migran yang diperkirakan berjumlah 6,5 juta jiwa.
Ini memperlihatkan belum adanya keseriusan penyelenggara pemilu untuk menjamin hak politik buruh migran Indonesia. Juga terlihat belum adanya perhatian serius dari para calon legislatif yang berkontestasi di Dapil Luar Negeri tentang politik perlindungan buruh migran, sebagian besar masih melihat buruh migran sebagai obyek pemilih, bukan sebagai konstituen yang harus diperjuangkan aspirasinya. Dalam visi misi Capres-Cawapres, politik perlindungan warga negara memang dituliskan sebagai tawaran yang dijajakan sebagai daya tarik untuk pemilih. Namun demikian, perlu diuji dan diperdebatkan bagaimana cara pencapaiannya.
Tentu saja, selain cerita tentang kerentanan-kerentanan yang dihadapi buruh migran Indonesia, di sepanjang tahun 2018 ini juga ada inisiatif-inisiatif terkait perlindungan buruh migran yang layak disambut, diapresiasi dan didorong untuk diimplementasikan secara konkrit. Di level global, adopsi UN Global Compact for Safe, Orderly and Regular Migration oleh 164 negara diharapkan mampu memperkuat Konvensi Perlindungan Hak-Hak Buruh Migran dan Anggota Keluarganya tahun 1990 yang hanya diratifikasi oleh 54 negara.
Pada tingkat regional, kehendak untuk mengimplementasikan ASEAN Consensus on Protection and Promotion the Rights of Migrant Workers sebagaimana yang tertuang dalam poin ke-50 dalam Joint Communique ASEAN Summit 2018 di Singapura harus segera dituangkan dalam Bilateral Agreement antar negara ASEAN serta menjadi standard kebijakan perlindungan buruh migran di negara-negara ASEAN.
Terbitnya Permenaker No. 18 Tahun 2018 tentang Jaminan Sosial Pekerja Migran Indonesia patut diapresiasi. Aturan ini menyempurnakan upaya pemberian jaminan sosial ketenagakerjaan kepada buruh migran Indonesia oleh BPJS Ketenagakerjaan. Namun demikian, aturan ini harus terus dimonitor dan dievaluasi secara periodik untuk memastikan penyelenggaraan dan cakupan jaminan sosial ketenagakerjaan buruh migran Indonesia yang semakin kompleks permasalahannya.
Karena instrumen perlindungan buruh migran tidak hanya melalui skema jaminan sosial ketenagakerjaan, maka pemerintah Indonesia juga harus bersegera menerbitkan aturan-aturan turunan pelaksan UU No. 18/2017 agar segera terwujud perlindungan yang semakin komprehensif.
Di level kabupaten/kota dan desa, inisiatif perlindungan buruh migran juga terus berlangsung. Dalam DESBUMI Summit yang diselenggarakan tanggal 27-29 November 2018 sudah memberi bukti beberapa praktik baik (best practices) penyelenggaraan perlindungan buruh migran mulai dari desa hingga kabupaten/kota.
Amanat UU No. 18 Tahun 2017 yang mengubah orientasi migrasi tenaga kerja dari aktivitas bisnis menuju pelayanan publik juga harus mendorong pemerintah daerah mengintegrasikan proses penempatan dan perlindungan buruh migran pada pelayanan publik. Oleh karena itu, penyelenggaraan Layanan Terpadu Satu Atap (LTSA) untuk migrasi tenaga kerja tidak boleh bersifat top down. Inisiatif Pemerintah Kabupaten Banyuwangi yang mengintegrasikan LTSA dengan Mall Pelayanan Publik dan melibatkan Desa adalah salah satu wujud kebijakan yang patut diapreasiasi.
Oleh karena itu, merekognisi dan mereplikasi inisiatif-inisiatif lokal untuk perlindungan buruh migran adalah salah satu cara yang tepat bagi pemerintah Indonesia menjalankan mandat untuk memberikan kewenangan yang signifikan kepada pemerintah lokal (baik di tingkat Kabupaten/Kota hingga Desa) dalam memberikan perlindungan kepada buruh migran sesuai amanat UU No. 18/2017.
Selamat Hari Buruh Migran Sedunia, Wujudkan Buruh Migran Indonesia Yang Berdaulat dan Bermartabat !!!
Jakarta, 18 Desember 2018
Wahyu Susilo (Direktur Eksekutif Migrant CARE)
Kontak: +62 812-9307-964
Anis Hidayah (Ketua Pusat Studi dan Kajian Migrasi – Migrant CARE)
Kontak: +62 815-7872-2874