“Buruh migran bukan teroris, lho”, ucapan itu keluar dari kegundahan seorang buruh migran di Hong Kong, ketika penulis opini Wahyu Susilo berjumpa dengannya.
Buruh migran tersebut sudah lama malang melintang di organisasi buruh migran Indonesia. Tentu saja dia gundah-gulana, setelah media massa ramai memberitakan selepas lembaga kajian IPAC melansir temuan risetnya. Riset itu berisi antara lain tentang bagaimana puluhan buruh migran Indonesia di Hong Kong yang terpapar gagasan ekstremisme yang mengatasnamakan agama dan bahkan beberapa di antaranya disebut bersedia menjadi “pengantin” dalam beberapa rencana aksi terorisme.
Tentu saja, jumlah yang kecil itu tidak bisa untuk menggeneralisasi atau mendiskreditkan bahwa buruh migran secara keseluruhan mempunyai kecenderungan berpikiran ekstrem dan bersetuju pada aksi-aksi terorisme.
Namun tentu saja temuan dari kajian IPAC ini harus mendapatkan perhatian serius, tidak hanya dari institusi-institusi yang bekerja untuk counter-terorisme dan deradikalisasi tetapi juga dari institusi-institusi yang mengurusi tata kelola migrasi tenaga kerja dan tentu kelompok masyarakat sipil.
Mengapa di Asia Timur?
Pertanyaan lain yang muncul dari temuan kajian IPAC ini adalah “mengapa gagasan ekstremisme berkembang di kalangan buruh migran yang bekerja di kawasan Asia Timur, tetapi tidak di Asia Tenggara dan Timur Tengah, kawasan yang selama ini diidentikkan sebagai wilayah asal dan berkembangnya gagasan ekstremisme tersebut?
Temuan ini sebenarnya berkesuaian dengan hasil monitoring Migrant CARE terhadap aktivitas-aktivitas kelompok buruh migran yang tersusupi ide-ide radikalisme/ekstremisme agama di kawasan Asia Timur yang selama ini luput dari perhatian pemerintah negara tempat bekerja dan perwakilan Indonesia di luar negeri.
Kawasan Asia Timur adalah kawasan yang dianggap paling leluasa bagi ekspresi buruh migran dibanding wilayah Asia Tenggara apalagi Timur Tengah. Jika di kawasan Asia Tenggara dan Timur Tengah masih banyak dijumpai pembatasan-pembatasan bagi buruh migran untuk menikmati hari liburnya dan juga menggunakan alat komunikasinya, maka sebaliknya di kawasan Asia Timur, buruh migran relative bisa menikmati hari libur dan bebas berkomunikasi dengan smartphonenya.
“Kemewahan-kemewahan” inilah yang menjadi pertimbangan untuk menginfiltrasi gagasan-gagasan ekstremisme/radikalisme di kalangan buruh migran baik melalui media online maupun offline. Dalam menyebarluaskan pengaruh radikalisme/ekstremisme agama, selain menggunakan media konvensial seperti diskusi/ceramah dalam bentuk pertemuan publik dan ritual keagamaan lainnya, komunikasi interaksi diantara mereka juga memanfaatkan media online social media yang dengan mudah bisa diperoleh di smartphone mereka, bahkan diduga media inilah yang menjadi platform utama.
Metode ini tentu dianggap murah, mudah dan mampu menyebar sebagai viral tak hanya di ranah kerja para buruh migran tetapi juga bisa menyebar melintas batas hingga ke keluarga, komunitas dan kampung halaman. Dari pantauan Migrant CARE terhadap group-group Facebook yang beranggotakan buruh migran berbasis negara tujuan dan/atau kampung halaman, konten-konten hoax bertendensi ujaran kebencian dan informasi-informasi distortif sering kali muncul dan diposting untuk memancing reaksi dari anggota group.
Atas dasar informasi berbasis konten-konten hoax bertendensi ujaran kebencian dan informasi distortif, dan tentu juga dengan sentimen tafsir-tafsir keagamaan mampu mendorong beberapa buruh migran menyediakan dirinya untuk menjadi pelaku aktif aksi penyebaran informasi kebohongan (ujaran kebencian),bersedia menjadi kombatan di wilayah konflik, menyediakan diri menjadi proxy dari upaya pencucian uang untuk pendanaan terorisme dan bahkan mau dipinang menjadi “pengantin” eksekutor bom bunuh diri dengan janji-janji surga.
Rentan terhadap ujaran kebencian
Untuk menyebut contoh: tertangkapnya Sri Rahayu Ningsih (pelaku penyebaran ujaran kebencian melalui jejaring SARACEN) dan DYN (terduga calon pelaku bom bunuh diri dengan media bom panci) adalah mantan buruh migran Indonesia yang mendapat pengaruh ide-ide radikalisme/ekstremisme saat bekerja di luar negeri. Ini membuktikan bahwa buruh migran adalah kelompok masyarakat yang rentan terpapar ujaran-ujaran kebencian dan bisa mengekspresikan pada tindak-tindak kekerasan.
Penulis berposisi bahwa sebenarnya mereka adalah kelompok-kelompok yang rentan terperangkap (dan dikorbankan) dalam tindak pidana kejahatan lintas-negara, seperti juga para buruh migran yang terjebak dalam sindikat perdagangan narkotika dijebak dan dipaksa untuk menjadi kurir narkoba.
Kerentanan kaum migran dalam perkara terorisme bukan hal yang baru, mereka adalah korban tak langsung dari terrorisme (dan kebijakan perang melawan terrorisme). Sejak war against terrorism dideklarasikan pasca Serangan 11 September 2001, kelompok migran menjadi sasaran dari kebijakan anti-terrorisme yang cenderung curiga dan diskriminatif terhadap kelompok-kelompok masyarakat yang bermobilitas antar negara. Dalam diri mereka juga melekat stigma negative yang sewaktu-waktu bisa dituduhkan kepada mereka ketika terjadi aksi kekerasan yang diidentifikasi sebagai aksi terorisme. Dalam perkembangannya, kebijakan ini melahirkan pendukung-pendukung yang kemudian bersekutu dalam ideologi populisme-kanan yang anti-migran dan Islamophobia. Kecenderungan inilah yang sedang menjamur diberbagai belahan bumi utara.
Banyak upaya antisipasi
Apa yang harus dilakukan untuk mencegah perluasan gagasan ekstremisme di kalangan buruh migran? Dibutuhkan peran aktif perwakilan RI di luar negeri dan tentu saja melibatkan organisasi-organisasi buruh migran Indonesia sebagai subyek utama. Model pendekatannya tidak boleh mengedepankan pola koersif/represif dan tetap harus berbasis pada pendekatan hak asasi manusia.
Victoria Park Hong Kong selama ini dirujuk sebagai melting pot buruh migran Indonesia untuk memanfaatkan hari liburnya. Setiap akhir pekan, ribuan buruh migran Indonesia menumpahkan semua ekspresinya disitu. Namun demikian, jarang sekali dijumpai upaya-upaya outreach dari perwakilan RI yang ada di Hong Kong mensosialisasikan hal-hal yang penting untuk diketahui buruh migran disitu. Upaya sosialisasi yang dilakukan perwakilan RI di Hong Kong hanya sebatas melalui media sosial, SMS gateway dan pertemuan-pertemuan di gedung KJRI yang memiliki keterbatasan daya muat.
Semestinya, hadirnya ribuan buruh migran Indonesia di Victoria Park setiap pekan bisa dimaksimalkan untuk tetap menanamkan nilai-nilai keIndonesiaan serta melakukan counter-information dari distorsi informasi yang selama ini dikonsumsi buruh migran Indonesia dari hoax yang memviral di kalangan buruh migran. Dari pantauan linimasa social media yang dimiliki KJRI Hong Kong juga tidak terlalu aktif menjangkau dan merespons diskusi yang berkembang di sosial media.
Di dalam negeri pun upaya mitigasi juga harus dilakukan dengan sebanyak mungkin kalangan, tidak hanya melalui kegiatan-kegiatan konvensional offline tetapi juga melalui aktivitas online. Upaya-upaya offline bisa dilakukan dengan aktivitas outreach dilakukan bersama komunitas dan keluarga buruh migran di wilayah-wilayah basis buruh migran, dan bisa juga memanfaatkan Help DeskBandara di Airport Soekarno Hatta untuk menyebarkan leaflet/kit informasi penangkal ekstremisme kepada calon buruh migran yang akan bekerja ke luar negeri.
Upaya-upaya online bisa dilakukan dengan memproduksi konten-konten penangkal ujaran kebencian yang didesiminasikan melalui media social yang memiliki daya jangkau meluas dan mensinergikan informasi-informasi pencegahan gagasan ekstremisme melalui aplikasi-aplikasi online yang telah disediakan oleh Kemenaker, Kemenlu dan organisasi-organisasi masyarakat sipil.
Artikel ini telah dipublikasi di Deutsche Welle