21 December 2024 23:49
Search
Close this search box.

Insya Allah Tuti Pulang..

Pada hari Rabu tertanggal 5 September 2018 lalu, di bawah terik matahari yang bikin udara sumuk (gerah, red) sekelibat terasa agak dingin ketika memasuki sebuah rumah bercat biru dengan pagar merah bata di pinggir jalan, di bawah kaki gunung Majalengka, tepatnya di Desa Cikeusik, Kecamatan Sukahaji.  Di halaman rumah ada beberapa pot bunga yang memperindah. Rumah itu adalah kediaman Iti Sarniti, ibunda Tuti Tursilawati, PRT migran yang sudah delapan tahun menanti keadilan di Arab Saudi dengan vonis hukum yang sudah incracht, yaitu “hukuman mati”.

Tuti divonis hukuman mati atas tuduhan pembunuhan berencana terhadap ayah majikannya. Fakta yang sesungguhnya adalah dia membela diri karena akan diperkosa saat baru bekerja selama 9 bulan, tepatnya pada 11 Mei 2010. Tuti diberangkatkan ke Arab Saudi pada tanggal 5 September 2009 oleh PT Arunda Bayu. Saat berangkat, Tuti meninggalkan anak berusia dua tahun dan kini sudah menginjak kelas 1 SMP. Hingga kini anaknya tidak diberi tahu tentang kasus ibunya. Ibunda Tuti juga pernah bekerja di Saudi selama 4 tahun.

Migrant CARE (saya, Melanie Subono, Nur Harsono, Ika Masruroh, Eko Maryono) dan Mediana bersilaturahmi ke Majalengka untuk memberikan dukungan. Ditemani oleh Disnaker Majalengka, SBMI Majalengka dan Kuwu (Kepala Desa, red) Cikeusik. Memasuki rumah Tuti, tak jauh dari pintu, terpampang empat pigura foto. Salah satu yang menyita perhatian saya adalah foto dengan ukuran 10R dengan bingkai yang sederhana, foto tersebut adalah potret Bu Iti dengan Tuti Tursilawati. Saya mendekati foto itu, nampak jelas mata Bu Iti dan Tuti yang sebam dan basah, hidung Tuti bahkan nampak memerah. Tak terbayangkan suasana haru di balik foto itu.

Foto itu diambil bulan Mei lalu, kata Bu Iti. Saat ia mengunjungi Tuti di penjara Arab Saudi dengan dampingan Kemlu RI bersama keluarga Eti Thoyib yang juga terancam hukuman mati. Kunjungannya bulan Mei lalu merupakan kunjungan ketiga, dimana sebelumnya dilakukan pada tahun 2010 dan 2012. Dengan berurai air mata, Bu Iti terus bertutur bahwa kunjungan Mei lalu merupakan kunjungan paling berkesan. Bisa mengunjungi Tuti di penjara selama 1,5 jam, dimana dalam kunjungan sebelumnya hanya bisa bertemu 10 menit. Tidak hanya itu, dalam kunjungannya yang ketiga kemarin, ia juga bisa memeluk Tuti dan berfoto dimana tidak bisa dilakukan pada kunjungan sebelumnya.

“Tuti kemarin minta dibawakan daster batik dan cemilan. Ibu membawakannya dua daster dan beberapa cemilan rengginang, keripik singkong dan opak. Bawaan cemilan itu langsung kita makan rame-rame di penjara. Tuti nampak senang,” tutur Bu Iti.

Dalam ruang tamu rumah Tuti yang tidak terlalu besar, sofa dijajar agak mepet. Posisi duduk saya yang agak berhadapan dengan Bu Iti mempertemukan lutut saya dan lutut Bu Iti. Saya mencoba merasakan apa yang dirasakannya. Tangan saya terus memegangi lengannya, air matanya tak henti-hentinya menetes. Seisi ruang tamu juga turut mengusap mata dengan tisu, pun demikian saya. Terutama saat Bu Iti dengan penuh isak mengatakan bahwa sudah 8 tahun beliau menghadapi situasi sulit ini, apakah Tuti bisa bebas atau tidak. Dari hari ke hari hanya doa dan tangis yang tak henti. Dengan agak lirih, bu Iti bergumam “Saya ikhlas apapun yang terjadi, tapi insya Allah Tuti bisa pulang”. Air mata kami tak terbendung, sesenggukan bersautan. Kami saling diam, jeda, menguatkan diri masing-masing dan mencoba terus menguatkan Bu Iti.

Beban Bu Iti semakin berat ketika tahun lalu, suaminya, ayah Tuti Tursilawati meninggal dunia karena sakit komplikasi yang juga disebabkan beban pikirannya akan kasus yang menimpa Tuti. Persis Bu Iti kehilangan tempat bersandar. Namun dalam kedukaan Bu Iti tetap semangat. “Saya harus sehat, biar Tuti tetap punya saya dalam menghadapi masalah ini,” ucap Bu Iti sambil terisak. Saya harus kuat, katanya. Kukatakan pada Bu Iti, beliau adalah perempuan kuat, pejuang. Saya juga seorang ibu dari dua anak perempuan. Saya belum tentu sekuat Bu Iti jika berada pada posisinya.

Setahun terakhir terasa sangat berat dilalui Bu Iti. Sehari-hari ia ditemani adiknya Tuti yang sudah berkeluarga dengan seorang anak perempuan yang masih kecil, kira-kira seusia dengan Sakwa, anak kedua saya. Cucunya itu merupakan pelipur lara.  Ibu Iti jarang keluar rumah karena stigma dan pertanyaan masyarakat seringkali menyakiti perasaanya. Jadi sudah dieksekusi ya? Pertanyaan semacam itu sering dilontarkan oleh beberapa orang. Bu Iti selalu menjelaskan bahwa pemerintah Indonesia masih terus berupaya dan Tuti masih rutin menelpon sebulan dua kali dari penjara. Kemlu RI juga rutin menelpon untuk mengabarkan perkembangan kasusnya. Namun sebagian orang yang tanpa sensitifitas tidak puas dengan penjelasan itu dan mengatakan bahwa mereka melihat media menginfokan bahwa Tuti sudah dieksekusi. Hal itu yang membuat Bu Iti trauma untuk keluar rumah.

Siang itu, saat kami tengah mengobrol, telpon dari Arab masuk dan itu dari penjara. Tuti memberi kabar bahwa dia sehat dan ibunya bercerita tentang kunjungan kami yang datang untuk memberikan dukungan.

Jam menunjukkan pukul 15.30 dan kami pamitan karena harus mengejar kereta terakhir ke Jakarta melalui stasiun Cirebon. Dari Majalengka membutuhkan 2,5 jam plus 30 menit untuk makan siang yang lumayan terlambat. Tiga toples kue kering dan air mineral yang dihidangkan di meja tamu rumah Tuti tak tersentuh sedikitpun karena semua orang larut pada kesedihan. Cat dinding rumah yang berwarna pink jadi tidak  nampak segar karena suasana mengharu biru. Saat pamitan saya memeluknya lama, air matanya tumpah menjadi-jadi menetes di baju saya.

Yang kuat ya Bu Iti, pemerintah tengah mengajukan PK, semoga dikabulkan. Dan masyarakat sipil seperti kami juga bisa mengawal prosesnya dan mengambil peran people to people diplomacy.

Majalengka, 5 September 2018
Anis Hidayah

FOTO: Anis Hidayah memeluk Ibunda Tuti Tursilawati, saat mengunjungi kediamannya di Majalengka

TERBARU