Eksekusi Tuti Wujud Kerentanan Pekerja Migran Perempuan di Arab Saudi

Tuti dihukum mati tanpa notifikasi. Alih-alih membayangkan ujung hidupnya, ia kira ada secercah harapan saat diberitahu akan segera mengakhiri masa tahanannya. Pulang ke kampung halaman, kembali ke keluarganya, adalah satu-satunya yang ia pikirkan. Segera ia meminta paspor untuk dibuatkan. Pagi itu, paspor sudah siap diberikan, tanpa disangka pegawai KBRI mendapat pemberitahuan bahwa Tuti telah dieksekusi mati.

*

Dalam Konferensi Pers Bersama yang diadakan di Kementerian Luar Negeri Republik Indonesia (Kemlu RI) kemarin (30/10/18), Lalu Muhammad Iqbal, Direktur Perlindungan Warga Negara Indonesia dan BHI (PWNI-BHI) Kemlu RI, menyampaikan belasungkawa sedalam-dalamnya. Ia yang baru saja tiba dari kediaman keluarga almarhum Tuti Tursilawati mengatakan bahwa keluarga telah ikhlas.

Kemenlu telah tiga kali memfasilitasi keluarga Tuti melakukan kunjungan ke Arab Saudi. Kali terakhir tanggal 4 April 2018 lalu, Ibunda Tuti Tursilawati bertemu Lembaga Permaafan Kota Thaif, Walikota Thaif, serta melepas rindu dengan anaknya yang saat itu masih dipenjara. Selama kurang lebih satu setengah jam mereka bicara dari hati ke hati.  Dari pertemuan itulah Tuti menceritakan kejadian yang sebenarnya kepada sang Ibu.

Bobby Alwi, Sekretaris Jenderal Serikat Buruh Migran Indonesia (SBMI) menyampaikan informasi yang didapatkannya dari pihak keluarga. Menurut pihak keluarga, Tuti mengaku sering mengalami pelecehan seksual. Peristiwa-peristiwa ini membuat dia merasa tidak terhormat dan tidak bermartabat, yang akhirnya membuat ia harus melakukan aksi di luar keinginannya. Aksi tersebut menyebabkan kematian ayah dari majikannya. Meskipun vonis yang diberikan adalah pembunuhan berencana, tetapi Bobby meyakini bahwa tindakan tersebut adalah bentuk pembelaan diri. Tuti telah membatah demikian di pengadilan, pun beberapa kali banding dan Peninjauan Kembai dilakukan, hingga seluruh majlis hakim diganti, hasilnya tetap sama. Tuti dijatuhi hukuman mati.

Dalam kesempatan ini Bobby mengkritik kondisi kerja yang buruk di Arab Saudi. Bagaimana tertutupnya keluarga disana sehingga mereka dapat melakukan apa saja tanpa intervensi, bahkan dari negara. Kondisi seperti ini yang membuat banyak pekerja migran khususnya Pekerja Rumah Tangga (PRT) rentan akan eksploitasi, kekerasan seksual, bahkan penganiayaan. Bobby juga mengkritik hakim di Arab Saudi yang tidak memiliki perspektif perempuan, lebih khususnya pekerja migran perempuan.

Anis Hidayah, Kepala Pusat Studi Kajian Migrasi Migrant CARE mengamini bahwa terdapat unsur melakukan pembelaan diri. Peristiwa serupa mengingatkan kita pada nama-nama Ruyati, Dasem, dan Yanti Iriyanti, mereka yang membela diri malah berujung pada eksekusi mati. Anis pun menyatakan bahwa perempuan yang bekerja di luar negeri memiliki kerentanan lebih dibandingkan dengan laki-laki. Kerentanan tersebut bukan hanya pada pelanggaran hak-hak normatif, tetapi juga Hak Asasi Manusia (HAM) dan bukan hanya terjadi di Arab Saudi tapi juga wilayah penempatan Pekerja Migran Indonesia lainnya.

Kasus ini menjadi tamparan bagi Pemerintah Indonesia yang akan melakukan ‘uji coba’ penempatan 30 ribu PRT migran ke Arab Saudi dalam enam bulan ke depan. Tatang Budi Utama Razak, selaku Sekretaris Utama BNP2TKI, lembaga yang menjadi operator kebijakan ini, memberikan klarifikasinya. Menurutnya, meski penghentian pengiriman tenaga kerja ke Timur Tengah secara bertahap telah dilakukan sejak tahun 2009, tetapi masih terjadi kebocoran karena permintaan (demand) yang tinggi. Pilot project ini dianggap sebagai solusi. Salah satu perubahan yang dilakukan adalah adanya jabatan dalam pekerjaan rumah tangga tersebut, misalnya tukang masak, pengasuh anak, dan lain sebagainya. Diupayakan juga agar pekerja tidak menginap di rumah majikan. Tetapi kesemua hal tersebut masih dalam proses pendalaman dan pembahasan.

Kasus-kasus yang menimpa Pekerja Migran Indonesia di Arab Saudi seharusnya dapat menjadi cerminan betapa kebijakan penempatan ini memerlukan kehati-hatian yang luar biasa untuk mengurangi kerentanan. Di sisi lain, pemerintah masih memiliki PR (Pekerjaan Rumah) menuntaskan aturan turunan dari UU PPMI.

Baru beberapa minggu silam, tepatnya tanggal 11 Oktober lalu, Tuti melakukan vidcall dengan keluarganya, terlihat kondisinya sehat tanpa ada indikasi apapun. Maka sangat disayangkan pelaksanaan hukuman mati terhadap almarhumah Tuti dilakukan tanpa notifikasi resmi kekonsuleran dari otoritas Arab Saudi kepada KBRI Riyadh atau KJRI Jeddah.

Sejak tahun 2011 tercatat ada sejumlah 103 Warga Negara Indonesia (WNI) yang terancam hukuman mati, dari jumlah tersebut 85 orang berhasil dibebaskan, dan 5 orang lainnya termasuk Tuti, dieksekusi mati. Saat ini ada 13 WNI terancam hukuman mati baik di wilayah kerja KBRI Riyadh maupun KJRI Jeddah. Hal ini sangat disesalkan mengingat hak untuk hidup merupakan hak yang paling fundamental bagi setiap manusia, karena menjadi dasar pemenuhan atas hak-hak asasi lainnya. Instrumen HAM mengkategorisasikan hak ini sebagai non-derogable right atau hak asasi yang tidak bisa dicabut dalam kondisi apapun.

Infografis - Kasus Tuti Tursilawati
Infografis – Kasus Tuti Tursilawati

TERBARU